HKI Keluhkan Maraknya Premanisme Berkedok Ormas
loading...

Keberadaan Ormas yang tidak jelas asal-usulnya menjadi sorotan publik karena kerap melakukan aksi premanisme yang merugikan masyarakat maupun dunia usaha. Foto/Ilustrasi/Dok.SindoNews
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang tidak jelas asal-usulnya terus menjadi sorotan publik. Sebab ormas tersebut kerap melakukan aksi premanisme yang merugikan masyarakat maupun dunia usaha.
Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia menyatakan banyak investor resah dengan aktivitas ormas di kawasan industri, seperti melakukan demonstrasi, penyegelan, dan sebagainya. Ormas tersebut melakukan demonstrasi lantaran meminta "jatah" dalam pembangunan atau aktivitas pabrik.
Gangguan keamanan ini memicu kerugian hingga ratusan triliun rupiah akibat investasi yang batal dan keluar dari kawasan industri. Kerugian ratusan triliun ini pun sempat viral di media sosial dan menjadi perbincangan warganet.
"Kalau dihitung semuanya, ngitungnya bukan cuma yang keluar, tapi yang nggak jadi masuk juga. Itu bisa ratusan triliun rupiah," kata Ketua Umum HKI, Sanny Iskandar dalam sebuah diskusi baru-baru ini di Jakarta.
Lebih lanjut, dia menuturkan, wilayah yang sering terjadi premanisme ormas berada di Bekasi, Karawang, Jawa Timur, dan Batam.
Namun, ternyata bukan hanya kawasan industri saja yang menjadi sasaran ormas. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengaku banyak anggotanya yang mendapatkan perlakuan intimidasi dari ormas saat mengambil unit kendaraan nasabah atau konsumen yang menunggak cicilan. Adapun salah satu daerah yang menjadi sorotan APPI yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ketua APPI, Suwandi Wiratno mengungkapkan bahwa sesuai dengan ketentuan undang-undang, debitur yang lalai dalam pembayaran dan tidak menanggapi somasi wajib menyerahkan kendaraannya.
"Karena dia tidak melakukan hal-hal yang menjadi kewajibannya dan tidak menanggapi surat somasi, ya dilakukan eksekusi," tuturnya.
Meskipun perusahaan pembiayaan memiliki hak untuk menarik kendaraan sesuai dengan ketentuan hukum dan pengadilan, namun faktanya banyak debitur bersikap tidak kooperatif dan malah melakukan intimidasi terhadap perusahaan pembiayaan.
Setelah ditelusuri, banyak debitur yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat yang didirikan oleh individu atau kelompok masyarakat, yang memengaruhi anggotanya dalam melakukan pembayaran cicilan serta menghalangi proses eksekusi.
"Nah, pada saat eksekusi dilakukan, yang terjadi kita diintimidasi sama komunitas, rupanya debitur sudah bergabung di situ," katanya.
Sejalan dengan Suwandi, Presiden Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF), Ristiawan Suherman mengaku intimidasi yang dilakukan ormas dalam eksekusi unit kendaraan nasabah dapat berdampak pada kenaikan kredit macet.
"Dampak yang dirasakan bagi multifinance bila muncul kredit macet dari nasabah, salah satunya yakni berpengaruh ke angka NPF perusahaan. Rasio NPF menjadi salah satu hal penting sebagai bentuk upaya perusahaan dalam menjaga kesehatan portofolionya," ucapnya.
Dampak berantainya, kenaikan kredit macet ini tentu akan berdampak pada kemampuan perusahaan pembiayaan dalam melakukan kewajiban pembayaran pinjaman kepada perbankan, di mana pinjaman perusahaan pembiayaan banyak berasal dari perbankan.
Kondisi ini tentu saja membuat perusahaan pembiayaan lebih selektif dan berpikir dua kali untuk menyalurkan pembiayaan ke daerah yang rawan konflik dengan ormas atau LSM. Seretnya pembiayaan kendaraan ujung-ujungnya akan mengganggu perekonomian juga karena salah satu pendapatan pemerintah daerah masih mengandalkan pajak kendaraan bermotor. Selain itu aktivitas usaha masyarakat juga akan terganggu karena mereka kesulitan mendapatkan akses pembiayaan.
Oleh sebab itu, bila ada selisih paham, sudah seharusnya diselesaikan berdasarkan prosedur penyelesaian yang telah diatur oleh OJK, bukan dengan meminta perlindungan dibalik ormas atau LSM.
"Dalam hal ini POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan & UU Jaminan Fidusia," tukasnya.
Bila melanggar ketentuan tersebut, bisa dipastikan konsumen akan berurusan dengan pengadilan dan terancam pidana. Contohnya, WR, oknum nasabah asal Padang yang divonis 10 bulan penjara akibat menggelapkan objek jaminan Fidusia.
Dalam keterangan BFI Finance Padang, oknum debitur WR mengakui objek jaminan fidusia, yakni unit Mitsibushi All New Pajero tahun 2016 sudah tidak berada dalam penguasaan debitur sehingga dilaporkan ke pihak Kepolisian. Ada juga debitur Summit Oto Finance, M Ardi yang divonis penjara 10 bulan oleh pengadilan karena mengalihkan motor yang dijadikan jaminan utang pembiayaannya.
Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia menyatakan banyak investor resah dengan aktivitas ormas di kawasan industri, seperti melakukan demonstrasi, penyegelan, dan sebagainya. Ormas tersebut melakukan demonstrasi lantaran meminta "jatah" dalam pembangunan atau aktivitas pabrik.
Gangguan keamanan ini memicu kerugian hingga ratusan triliun rupiah akibat investasi yang batal dan keluar dari kawasan industri. Kerugian ratusan triliun ini pun sempat viral di media sosial dan menjadi perbincangan warganet.
"Kalau dihitung semuanya, ngitungnya bukan cuma yang keluar, tapi yang nggak jadi masuk juga. Itu bisa ratusan triliun rupiah," kata Ketua Umum HKI, Sanny Iskandar dalam sebuah diskusi baru-baru ini di Jakarta.
Lebih lanjut, dia menuturkan, wilayah yang sering terjadi premanisme ormas berada di Bekasi, Karawang, Jawa Timur, dan Batam.
Namun, ternyata bukan hanya kawasan industri saja yang menjadi sasaran ormas. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengaku banyak anggotanya yang mendapatkan perlakuan intimidasi dari ormas saat mengambil unit kendaraan nasabah atau konsumen yang menunggak cicilan. Adapun salah satu daerah yang menjadi sorotan APPI yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ketua APPI, Suwandi Wiratno mengungkapkan bahwa sesuai dengan ketentuan undang-undang, debitur yang lalai dalam pembayaran dan tidak menanggapi somasi wajib menyerahkan kendaraannya.
"Karena dia tidak melakukan hal-hal yang menjadi kewajibannya dan tidak menanggapi surat somasi, ya dilakukan eksekusi," tuturnya.
Meskipun perusahaan pembiayaan memiliki hak untuk menarik kendaraan sesuai dengan ketentuan hukum dan pengadilan, namun faktanya banyak debitur bersikap tidak kooperatif dan malah melakukan intimidasi terhadap perusahaan pembiayaan.
Setelah ditelusuri, banyak debitur yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat yang didirikan oleh individu atau kelompok masyarakat, yang memengaruhi anggotanya dalam melakukan pembayaran cicilan serta menghalangi proses eksekusi.
"Nah, pada saat eksekusi dilakukan, yang terjadi kita diintimidasi sama komunitas, rupanya debitur sudah bergabung di situ," katanya.
Sejalan dengan Suwandi, Presiden Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF), Ristiawan Suherman mengaku intimidasi yang dilakukan ormas dalam eksekusi unit kendaraan nasabah dapat berdampak pada kenaikan kredit macet.
"Dampak yang dirasakan bagi multifinance bila muncul kredit macet dari nasabah, salah satunya yakni berpengaruh ke angka NPF perusahaan. Rasio NPF menjadi salah satu hal penting sebagai bentuk upaya perusahaan dalam menjaga kesehatan portofolionya," ucapnya.
Dampak berantainya, kenaikan kredit macet ini tentu akan berdampak pada kemampuan perusahaan pembiayaan dalam melakukan kewajiban pembayaran pinjaman kepada perbankan, di mana pinjaman perusahaan pembiayaan banyak berasal dari perbankan.
Kondisi ini tentu saja membuat perusahaan pembiayaan lebih selektif dan berpikir dua kali untuk menyalurkan pembiayaan ke daerah yang rawan konflik dengan ormas atau LSM. Seretnya pembiayaan kendaraan ujung-ujungnya akan mengganggu perekonomian juga karena salah satu pendapatan pemerintah daerah masih mengandalkan pajak kendaraan bermotor. Selain itu aktivitas usaha masyarakat juga akan terganggu karena mereka kesulitan mendapatkan akses pembiayaan.
Oleh sebab itu, bila ada selisih paham, sudah seharusnya diselesaikan berdasarkan prosedur penyelesaian yang telah diatur oleh OJK, bukan dengan meminta perlindungan dibalik ormas atau LSM.
"Dalam hal ini POJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan & UU Jaminan Fidusia," tukasnya.
Bila melanggar ketentuan tersebut, bisa dipastikan konsumen akan berurusan dengan pengadilan dan terancam pidana. Contohnya, WR, oknum nasabah asal Padang yang divonis 10 bulan penjara akibat menggelapkan objek jaminan Fidusia.
Dalam keterangan BFI Finance Padang, oknum debitur WR mengakui objek jaminan fidusia, yakni unit Mitsibushi All New Pajero tahun 2016 sudah tidak berada dalam penguasaan debitur sehingga dilaporkan ke pihak Kepolisian. Ada juga debitur Summit Oto Finance, M Ardi yang divonis penjara 10 bulan oleh pengadilan karena mengalihkan motor yang dijadikan jaminan utang pembiayaannya.
(shf)
Lihat Juga :