Gagal Nikahi Putri Raja Sunda, Hayam Wuruk Makin Getol Blusukan ke Penjuru Majapahit

Senin, 20 Januari 2025 - 05:05 WIB
loading...
Gagal Nikahi Putri Raja...
Gagal menikahi putri Raja Sunda Dyah Pitaloka Citraresmi tak membuat Raja Majapahit Hayam Wuruk mengurung diri. Dia justru makin getol blusukan ke penjuru Kerajaan Majapahit. Foto: Ist/AI
A A A
GAGALmenikahi putri Raja Sunda Dyah Pitaloka Citraresmi tak membuat Raja Majapahit Hayam Wuruk mengurung diri. Dia justru makin getol blusukan ke penjuru Kerajaan Majapahit.

Kegagalan menikahi Dyah Pitaloka yang diawali terjadinya Perang Bubat sempat menjadikan hubungan buruk Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang terjadi lantaran Gajah Mada ingin menaklukkan Kerajaan Sunda.

Dalam peperangan itu, rombongan pernikahan Kerajaan Sunda tewas semuanya, termasuk orang tua Dyah Pitaloka, serta para pejabat penting Kerajaan Sunda.



Gajah Mada menganggap momen pernikahan Hayam Wuruk dengan putri Raja Sunda menjadi jalan menaklukkan Kerajaan Sunda secara politis. Hal ini kemudian berimbas pada Gajah Mada dijadikan kambing hitam kegagalan pernikahan Hayam Wuruk.

Usai Perang Bubat, Hayam Wuruk berusaha bangkit agar tak semakin terpuruk. Dia masih meneruskan tradisi blusukan ke wilayah kekuasaannya. Blusukan kali ini diarahkan menuju timur ibu kota Kerajaan Majapahit.

Selain menyerap aspirasi masyarakatnya, Hayam Wuruk ingin memastikan keamanan wilayah kekuasaannya. Apalagi wilayah Lamajang yang dituju Raja Majapahit kerap dilanda peperangan dan ketidakstabilan keamanan serta politik. Kunjungan ketiga dilakukan sang Raja Majapahit pasca-Perang Bubat.

Kunjungan ini membawa serta Gajah Mada yang sempat diistirahatkan usai kesalahannya di Perang Bubat. Mansur Hidayat pada penjelasannya di buku "Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru", kunjungan terjadi pada 1359 Masehi ke wilayah bekas Kerajaan Lamajang Tigang Juru.

Kunjungan ke Lamajang ini juga diikuti menteri, tanda, pendeta, pujangga, abdi istana, dan dikawal ribuan pasukan. Rombongan besar ini melakukan kunjungan diplomasi yang sangat penting, karena merupakan wilayah yang kerap terjadi pergolakan.

Pada kunjungannya ini rombongan Kerajaan Majapahit memakan waktu 3 bulan dengan menelusuri wilayah timur ibu kota Majapahit. Rombongan bergerak menuju Malang dan Pasuruan yang merupakan wilayah inti Kerajaan Majapahit.

Berturut-turut rombongan melintasi Pawijungan yang diperkirakan di Bantaran (Probolinggo selatan), yang kemudian menuruni Pesawahan (daerah Sawaran) dengan melintasi sawah kemudian menuju Jaladipa, Talapika, dan Padali yang saat ini bisa diidentifikasi menjadi daerah Ranu Bedali (Ranuyoso dan Klakah sekarang).

Setelah itu, melintasi Arnon (Biting/Kutorenon) yang merupakan ibu kota langsung menuju Panggulan (diperkirakan Panjunan atau Sukodono sekarang) menuju Tepasena (diperkirakan Purwosono sekarang) dan menuju Kota Rembang yang diperkirakan daerah Candipuro, di mana ini merupakan kompleks bekas ibu kota Lamajang pada masa lebih kuno.

Rombongan Kerajaan Majapahit meneruskan perjalanannya sambil blusukan ke rakyatnya. Rombongan pada akhirnya sampai di Dampar yang terdapat di pinggir pantai. Di sinilah rombongan beristirahat cukup lama dengan santai sambil menikmati pemandangan indahnya pesisir pantai.

Dari Dampar, rombongan berjalan ke arah Timur menuju Patunjungan (Desa Tunjungrejo, Kecamatan Yosowilangun) dan di Kasogatan Bajraka, yang termasuk wilayah Taladwaja di mana banyak penghuninya mengungsi akibat seringnya terjadi peperangan.

Masyarakat memilih mengungsi demi menghindari kehadiran rombongan besar karena peperangan antara Majapahit dan Lamajang belum reda setelah berlangsung 43 tahun lamanya.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2508 seconds (0.1#10.24)