Sekolah Damai di Aceh Tanamkan Nilai-nilai Perdamaian dan Toleransi
loading...
A
A
A
BANDA ACEH - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencanangkan program Sekolah Damai yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keberagaman.
Langkah ini sangat penting sebagai upaya menanggulangi bibit intoleransi, kekerasan dan perundungan di sekolah dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan terbebas dari sikap ekstremisme dan radikalisme di sekolah.
Direktur Pencegahan BNPT Prof Irfan Idris menegaskan pentingnya Sekolah Damai untuk menanamkan pengetahuan kepada guru dan siswa dalam mencegah penyebaran paham intoleransi, kekerasan dan perundungan.
“Sekolah Damai ini bertujuan menanamkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keberagaman, yang selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika agar para siswa mampu berpikir kritis, inklusif, dan tidak mudah terpengaruh oleh ajakan-ajakan ekstrem,” kata Irfan Idris saat pelatihan guru Sekolah Damai di SMKN 2, Banda Aceh, dikutip Jumat (1/11/2024).
Dia menegaskan bahwa sebagai institusi pendidikan, sekolah memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa. Namun tidak dipungkiri bahwa sekolah tidak kebal dari pengaruh negatif seperti radikalisme, intoleransi dan kekerasan yang dapat merusak tatanan sosial dan keamanan bangsa.
Kehadiran paham radikal di sekolah, tambah Irfan, umumnya muncul dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan lingkungan sekitar.
Pengaruh ini dapat menciptakan ketidakstabilan di kalangan siswa yang terpapar, memicu konflik, dan merusak nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya mereka tanamkan sejak dini.
“Untuk itu, para pendidik dituntut untuk berperan aktif dalam mengenali tanda-tanda radikalisme, intoleransi, dan kekerasan di lingkungan sekolah serta mengedepankan pendidikan karakter yang kokoh,” terangnya.
Lebih lanjut Irfan memaparkan survei yang dirilis oleh Setara Institute tahun 2023, kota Banda Aceh tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia yang berada di urutan ke-3 dengan skor 4,26.
“Data ini mengingatkan kita bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, aman, dan harmonis,” tambahnya.
Ia berharap dari pelatihan ini akan lahir agen-agen perdamaian yang mampu menyebarkan nilai-nilai positif tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di masyarakat.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, Marthunis menyatakan, sekolah harus menjadi sekolah yang bebas dari intoleransi, kekerasan, dan bullying karena 3 dosa besar ini harus dijauhkan dari lingkungan sekolah.
Menurutnya, sekolah harus menjadi habitat ideal bagi peserta didik, karena mandat yang bekerja di dunia pendidikan yaitu mencetak generasi yang membunyai pemahaman kebhinekaan yang tinggi.
“Kami pernah mendapat laporan adanya tindakan bullying di salah satu SMA. Ini merupakan tantangan bagi kita karena kasus bullying dan intoleransi semakin memuncak akibat arus informasi yang tinggi, tinggal kita sekarang bagaimana bisa mensiasati itu,” ujarnya.
Langkah ini sangat penting sebagai upaya menanggulangi bibit intoleransi, kekerasan dan perundungan di sekolah dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan terbebas dari sikap ekstremisme dan radikalisme di sekolah.
Direktur Pencegahan BNPT Prof Irfan Idris menegaskan pentingnya Sekolah Damai untuk menanamkan pengetahuan kepada guru dan siswa dalam mencegah penyebaran paham intoleransi, kekerasan dan perundungan.
“Sekolah Damai ini bertujuan menanamkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan keberagaman, yang selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika agar para siswa mampu berpikir kritis, inklusif, dan tidak mudah terpengaruh oleh ajakan-ajakan ekstrem,” kata Irfan Idris saat pelatihan guru Sekolah Damai di SMKN 2, Banda Aceh, dikutip Jumat (1/11/2024).
Dia menegaskan bahwa sebagai institusi pendidikan, sekolah memiliki peran strategis dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa. Namun tidak dipungkiri bahwa sekolah tidak kebal dari pengaruh negatif seperti radikalisme, intoleransi dan kekerasan yang dapat merusak tatanan sosial dan keamanan bangsa.
Kehadiran paham radikal di sekolah, tambah Irfan, umumnya muncul dari berbagai sumber, termasuk media sosial dan lingkungan sekitar.
Pengaruh ini dapat menciptakan ketidakstabilan di kalangan siswa yang terpapar, memicu konflik, dan merusak nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya mereka tanamkan sejak dini.
“Untuk itu, para pendidik dituntut untuk berperan aktif dalam mengenali tanda-tanda radikalisme, intoleransi, dan kekerasan di lingkungan sekolah serta mengedepankan pendidikan karakter yang kokoh,” terangnya.
Lebih lanjut Irfan memaparkan survei yang dirilis oleh Setara Institute tahun 2023, kota Banda Aceh tercatat sebagai salah satu kota dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia yang berada di urutan ke-3 dengan skor 4,26.
“Data ini mengingatkan kita bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, aman, dan harmonis,” tambahnya.
Ia berharap dari pelatihan ini akan lahir agen-agen perdamaian yang mampu menyebarkan nilai-nilai positif tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di masyarakat.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Aceh, Marthunis menyatakan, sekolah harus menjadi sekolah yang bebas dari intoleransi, kekerasan, dan bullying karena 3 dosa besar ini harus dijauhkan dari lingkungan sekolah.
Menurutnya, sekolah harus menjadi habitat ideal bagi peserta didik, karena mandat yang bekerja di dunia pendidikan yaitu mencetak generasi yang membunyai pemahaman kebhinekaan yang tinggi.
“Kami pernah mendapat laporan adanya tindakan bullying di salah satu SMA. Ini merupakan tantangan bagi kita karena kasus bullying dan intoleransi semakin memuncak akibat arus informasi yang tinggi, tinggal kita sekarang bagaimana bisa mensiasati itu,” ujarnya.
(shf)