Inisiatif Inklusif untuk Mengembangkan Akses Layanan Kesehatan di Sulawesi Selatan
loading...
A
A
A
Bagi para penyandang disabilitas di Sulawesi Selatan, mengikuti kegiatan kesehatan massal seperti vaksinasi Covid-19 tidak selalu mudah. Banyak tempat dan kegiatan vaksinasi yang belum ramah bagi penyandang disabilitas, sehingga menimbulkan tantangan tersendiri. Hal ini ditegaskan oleh Yoga Indar Dewa, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) di Sulawesi Selatan, yang seperti banyak penyandang disabilitas lainnya di Sulawesi Selatan, harus mempertimbangkan berbagai faktor dengan cermat sebelum mengikuti program vaksinasi.
Untunglah, selama kegiatan vaksinasi di Sulawesi Selatan, pemerintah setempat mendapat dukungan dari Kemitraan Indonesia Australia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) untuk melakukan uji coba model vaksinasi yang inklusif. Vaksinasi dilakukan di lima kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Maros, Pinrang, Enrekang, Bone, dan Gowa.
Prakarsa ini bertujuan untuk meningkatkan akses vaksinasi Covid-19 bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya penyandang disabilitas dan lansia. Model ini melibatkan penyandang disabilitas di setiap tahapan proses, memastikan kebutuhan spesifik mereka terpenuhi.
“Kami terlibat sejak awal, mulai dari pemilihan lokasi hingga memastikan bahwa lokasi aman,” kata Yoga saat diwawancara via telepon pada akhir Agustus 2024.
Yoga menjelaskan, penyandang disabilitas kerap mengalami kendala dalam mengakses fasilitas. Di Sulawesi Selatan misalnya, banyak lokasi acara yang berbentuk rumah panggung dengan banyak anak tangga sehingga sulit diakses oleh penyandang disabilitas. Yoga menyarankan untuk memilih lokasi vaksinasi yang minim anak tangga dan minim rintangan seperti selokan.
Penyandang disabilitas saat penerimaan vaksin Covid-19 di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Selama kegiatan vaksinasi yang didukung oleh AIHSP, hambatan akses seperti ini diperhitungkan dan ditangani sebagai bagian dari perencanaan kegiatan.
Para relawan memandu para penyandang disabilitas, membantu mereka keluar dari kendaraan menuju area vaksinasi dengan aman. Para relawan juga membantu mencari tempat duduk dan menghindari bahaya seperti selokan, untuk memastikan pelaksanaan yang lebih aman.
“Teman-teman saya bilang mereka tidak lagi bingung di tempat vaksinasi. Sebelumnya, mereka tidak yakin apa yang harus dilakukan atau kapan giliran mereka. Dengan adanya panduan yang diberikan, mereka merasa lebih tenang. Mereka juga menyadari bahwa vaksinasi tidak seseram yang digembar-gemborkan,” kenang Yoga.
Faluphy Mahmud, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Selatan, menyampaikan hal senada. Falupy Mahmud yang akrab disapa Lutfi, adalah mantan Ketua Ikatan Difabel Enrekang (IDE) selama vaksinasi massal Covid-19 beberapa tahun lalu.
Bagi para penyandang disabilitas di Enrekang, Sulawesi Selatan, wilayah dengan topografi pegunungan, tantangannya berbeda. "Mobilitas untuk mengikuti program vaksinasi sulit, sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda," katanya.
Lutfi menjelaskan, kondisi medan dan rumah panggung tradisional di Enrekang menghambat mobilitas penyandang disabilitas fisik sehingga sulit mengakses lokasi vaksinasi.
Sebelum ada dukungan AIHSP untuk program vaksinasi, kegiatan vaksinasi sering kali diadakan di lokasi-lokasi seperti kantor desa atau gedung-gedung publik yang tidak mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
“Akibatnya, banyak teman saya yang memiliki keterbatasan fisik merasa sangat kesulitan. Namun dengan adanya program AIHSP, proses vaksinasi menjadi jauh lebih nyaman bagi mereka,” kata Lutfi.
Ia meyakini bahwa melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan kegiatan vaksinasi merupakan bagian dari upaya menjadikan proses vaksinasi lebih inklusif. Mengingat penyandang disabilitas memiliki kebutuhan unik, yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh mereka, keterlibatan aktif sejak awal memastikan kebutuhan tersebut terpenuhi dan tantangan dapat diatasi. Sebagai Ketua IDE saat itu, Lutfi aktif melakukan edukasi ekstensif. Edukasi ini tidak hanya ditujukan kepada rekan sejawatnya, tetapi juga kepada pemangku kepentingan layanan kesehatan dan staf Puskesmas.
Ia menyebutkan, sejak AIHSP mulai mendukung program tersebut, penyandang disabilitas menjadi fokus utama upaya vaksinasi. “Sebelumnya, upaya vaksinasi tidak difokuskan pada penyandang disabilitas, sehingga banyak yang terabaikan,” ujarnya.
Saat diundang pemerintah untuk berpartisipasi dengan dukungan AIHSP, Lutfi mengatakan mereka awalnya berfokus pada peningkatan kesadaran dan mendidik masyarakat tentang standar disabilitas.
“Dulu pemerintah kurang paham, bahkan menggunakan istilah-istilah lama seperti ‘cacat’ yang sering kita dengar. Pemerintah seharusnya menggunakan istilah yang lebih manusiawi seperti ‘penyandang disabilitas’ atau ‘difabel’,” katanya.
Ia juga menyebutkan, saat proses vaksinasi, beberapa penyandang disabilitas membutuhkan perlengkapan khusus, seperti kursi roda atau alat transportasi. Dalam kasus seperti ini, akan lebih efektif jika tenaga kesehatan mendatangi mereka secara langsung karena keterbatasan mobilitas mereka. "Kunjungan door to door diperlukan karena beberapa teman saya tidak bisa keluar rumah dengan mudah, terutama yang tinggal di rumah panggung. Lebih mudah jika tenaga kesehatan yang dating ke rumah mereka," jelasnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah peran AIHSP dalam memfasilitasi komunikasi yang efektif dengan para penyandang disabilitas. Lutfi mencontohkan, teman-temannya yang tuna netra atau tuna rungu kerap kesulitan mengakses informasi karena sebagian besar informasi ditujukan kepada orang-orang yang bukan penyandang disabilitas. Akibatnya, misinformasi, khususnya hoaks, lebih marak di kalangan penyandang disabilitas, sehingga membatasi partisipasi mereka dalam program vaksinasi.
“Salah satu program yang paling bermanfaat dengan AIHSP adalah bagaimana mereka membantu kami membangun komunikasi yang lebih baik dengan rekan-rekan kami, membuat konten yang disesuaikan khusus untuk kami,” ungkapnya.
Menariknya, dalam kegiatan vaksinasi ini, para penyandang disabilitas juga dilatih untuk membuat konten terkait Covid-19 yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Petugas vaksinasi Covid-19 mengunjungi rumah warga di Kabupaten Maros untuk memberikan vaksinasi dalam upaya memastikan inklusivitas dan aksesibilitas.
“Kontennya dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan kami. Mereka membuat konten sambil ditutup matanya atau dengan telinga tertutup. Kontennya harus bisa dipahami bahkan dengan keterbatasan ini. Jika tidak, mereka harus mengulanginya,” jelasnya dengan antusias.
Dengan konten ini, ia bisa mengakses informasi yang akurat, sehingga edukasi vaksin menjadi lebih efektif. Melihat manfaatnya yang signifikan, Lutfi berharap pemerintah bisa mengadopsi metode ini dalam semua programnya, terutama program kesehatan.
“Harus ada keterlibatan aktif dan bermakna dari para penyandang disabilitas,” Lutfi menegaskan.
Ia mengakui bahwa AIHSP telah membantu dirinya dan rekan-rekannya untuk tumbuh dan berkembang secara signifikan.
“Mereka yang berpotensi, diberdayakan untuk memanfaatkan keterampilannya. Banyak inisiatif yang dilakukan, termasuk memfasilitasi forum-forum yang mengakomodasi penyandang disabilitas. Jika ini terus berlanjut, maka akan sangat bermanfaat,” katanya.
Pendekatan pelibatan penyandang disabilitas ini mendorong Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang disabilitas, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2016. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk penyandang disabilitas, peraturan tersebut dimutakhirkan dan menghasilkan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk Penyandang Disabilitas Tahun 2023-2026.
RAD tersebut mengamanatkan praktik inklusif di semua bidang, termasuk ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik, sekaligus memperkuat kerangka hukum untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas.
Ini merupakan langkah maju yang signifikan bagi pemerintah provinsi dan membawa kabar baik bagi Lutfi, Yoga, dan banyak penyandang disabilitas lainnya di Sulawesi Selatan.
Lihat Juga: Debat Perdana Pilgub Sulsel 2024: Pasangan Calon Siap Memperjuangkan Kesejahteraan dan Pelayanan Publik
Untunglah, selama kegiatan vaksinasi di Sulawesi Selatan, pemerintah setempat mendapat dukungan dari Kemitraan Indonesia Australia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) untuk melakukan uji coba model vaksinasi yang inklusif. Vaksinasi dilakukan di lima kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Maros, Pinrang, Enrekang, Bone, dan Gowa.
Prakarsa ini bertujuan untuk meningkatkan akses vaksinasi Covid-19 bagi kelompok yang terpinggirkan, khususnya penyandang disabilitas dan lansia. Model ini melibatkan penyandang disabilitas di setiap tahapan proses, memastikan kebutuhan spesifik mereka terpenuhi.
“Kami terlibat sejak awal, mulai dari pemilihan lokasi hingga memastikan bahwa lokasi aman,” kata Yoga saat diwawancara via telepon pada akhir Agustus 2024.
Yoga menjelaskan, penyandang disabilitas kerap mengalami kendala dalam mengakses fasilitas. Di Sulawesi Selatan misalnya, banyak lokasi acara yang berbentuk rumah panggung dengan banyak anak tangga sehingga sulit diakses oleh penyandang disabilitas. Yoga menyarankan untuk memilih lokasi vaksinasi yang minim anak tangga dan minim rintangan seperti selokan.
Penyandang disabilitas saat penerimaan vaksin Covid-19 di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Selama kegiatan vaksinasi yang didukung oleh AIHSP, hambatan akses seperti ini diperhitungkan dan ditangani sebagai bagian dari perencanaan kegiatan.
Para relawan memandu para penyandang disabilitas, membantu mereka keluar dari kendaraan menuju area vaksinasi dengan aman. Para relawan juga membantu mencari tempat duduk dan menghindari bahaya seperti selokan, untuk memastikan pelaksanaan yang lebih aman.
“Teman-teman saya bilang mereka tidak lagi bingung di tempat vaksinasi. Sebelumnya, mereka tidak yakin apa yang harus dilakukan atau kapan giliran mereka. Dengan adanya panduan yang diberikan, mereka merasa lebih tenang. Mereka juga menyadari bahwa vaksinasi tidak seseram yang digembar-gemborkan,” kenang Yoga.
Faluphy Mahmud, Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Selatan, menyampaikan hal senada. Falupy Mahmud yang akrab disapa Lutfi, adalah mantan Ketua Ikatan Difabel Enrekang (IDE) selama vaksinasi massal Covid-19 beberapa tahun lalu.
Bagi para penyandang disabilitas di Enrekang, Sulawesi Selatan, wilayah dengan topografi pegunungan, tantangannya berbeda. "Mobilitas untuk mengikuti program vaksinasi sulit, sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda," katanya.
Lutfi menjelaskan, kondisi medan dan rumah panggung tradisional di Enrekang menghambat mobilitas penyandang disabilitas fisik sehingga sulit mengakses lokasi vaksinasi.
Sebelum ada dukungan AIHSP untuk program vaksinasi, kegiatan vaksinasi sering kali diadakan di lokasi-lokasi seperti kantor desa atau gedung-gedung publik yang tidak mudah diakses oleh penyandang disabilitas.
“Akibatnya, banyak teman saya yang memiliki keterbatasan fisik merasa sangat kesulitan. Namun dengan adanya program AIHSP, proses vaksinasi menjadi jauh lebih nyaman bagi mereka,” kata Lutfi.
Ia meyakini bahwa melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan kegiatan vaksinasi merupakan bagian dari upaya menjadikan proses vaksinasi lebih inklusif. Mengingat penyandang disabilitas memiliki kebutuhan unik, yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh mereka, keterlibatan aktif sejak awal memastikan kebutuhan tersebut terpenuhi dan tantangan dapat diatasi. Sebagai Ketua IDE saat itu, Lutfi aktif melakukan edukasi ekstensif. Edukasi ini tidak hanya ditujukan kepada rekan sejawatnya, tetapi juga kepada pemangku kepentingan layanan kesehatan dan staf Puskesmas.
Ia menyebutkan, sejak AIHSP mulai mendukung program tersebut, penyandang disabilitas menjadi fokus utama upaya vaksinasi. “Sebelumnya, upaya vaksinasi tidak difokuskan pada penyandang disabilitas, sehingga banyak yang terabaikan,” ujarnya.
Saat diundang pemerintah untuk berpartisipasi dengan dukungan AIHSP, Lutfi mengatakan mereka awalnya berfokus pada peningkatan kesadaran dan mendidik masyarakat tentang standar disabilitas.
“Dulu pemerintah kurang paham, bahkan menggunakan istilah-istilah lama seperti ‘cacat’ yang sering kita dengar. Pemerintah seharusnya menggunakan istilah yang lebih manusiawi seperti ‘penyandang disabilitas’ atau ‘difabel’,” katanya.
Ia juga menyebutkan, saat proses vaksinasi, beberapa penyandang disabilitas membutuhkan perlengkapan khusus, seperti kursi roda atau alat transportasi. Dalam kasus seperti ini, akan lebih efektif jika tenaga kesehatan mendatangi mereka secara langsung karena keterbatasan mobilitas mereka. "Kunjungan door to door diperlukan karena beberapa teman saya tidak bisa keluar rumah dengan mudah, terutama yang tinggal di rumah panggung. Lebih mudah jika tenaga kesehatan yang dating ke rumah mereka," jelasnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah peran AIHSP dalam memfasilitasi komunikasi yang efektif dengan para penyandang disabilitas. Lutfi mencontohkan, teman-temannya yang tuna netra atau tuna rungu kerap kesulitan mengakses informasi karena sebagian besar informasi ditujukan kepada orang-orang yang bukan penyandang disabilitas. Akibatnya, misinformasi, khususnya hoaks, lebih marak di kalangan penyandang disabilitas, sehingga membatasi partisipasi mereka dalam program vaksinasi.
“Salah satu program yang paling bermanfaat dengan AIHSP adalah bagaimana mereka membantu kami membangun komunikasi yang lebih baik dengan rekan-rekan kami, membuat konten yang disesuaikan khusus untuk kami,” ungkapnya.
Menariknya, dalam kegiatan vaksinasi ini, para penyandang disabilitas juga dilatih untuk membuat konten terkait Covid-19 yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Petugas vaksinasi Covid-19 mengunjungi rumah warga di Kabupaten Maros untuk memberikan vaksinasi dalam upaya memastikan inklusivitas dan aksesibilitas.
“Kontennya dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan kami. Mereka membuat konten sambil ditutup matanya atau dengan telinga tertutup. Kontennya harus bisa dipahami bahkan dengan keterbatasan ini. Jika tidak, mereka harus mengulanginya,” jelasnya dengan antusias.
Dengan konten ini, ia bisa mengakses informasi yang akurat, sehingga edukasi vaksin menjadi lebih efektif. Melihat manfaatnya yang signifikan, Lutfi berharap pemerintah bisa mengadopsi metode ini dalam semua programnya, terutama program kesehatan.
“Harus ada keterlibatan aktif dan bermakna dari para penyandang disabilitas,” Lutfi menegaskan.
Ia mengakui bahwa AIHSP telah membantu dirinya dan rekan-rekannya untuk tumbuh dan berkembang secara signifikan.
“Mereka yang berpotensi, diberdayakan untuk memanfaatkan keterampilannya. Banyak inisiatif yang dilakukan, termasuk memfasilitasi forum-forum yang mengakomodasi penyandang disabilitas. Jika ini terus berlanjut, maka akan sangat bermanfaat,” katanya.
Pendekatan pelibatan penyandang disabilitas ini mendorong Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang disabilitas, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 5 Tahun 2016. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk penyandang disabilitas, peraturan tersebut dimutakhirkan dan menghasilkan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk Penyandang Disabilitas Tahun 2023-2026.
RAD tersebut mengamanatkan praktik inklusif di semua bidang, termasuk ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik, sekaligus memperkuat kerangka hukum untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas.
Ini merupakan langkah maju yang signifikan bagi pemerintah provinsi dan membawa kabar baik bagi Lutfi, Yoga, dan banyak penyandang disabilitas lainnya di Sulawesi Selatan.
Lihat Juga: Debat Perdana Pilgub Sulsel 2024: Pasangan Calon Siap Memperjuangkan Kesejahteraan dan Pelayanan Publik
(unt)