Konflik Internal Bangsawan Bikin Kerajaan Sunda Kerap Berganti Ibu Kota
loading...
A
A
A
Serangkaian konflik internal dan pergantian kekuasaan yang sering terjadi membuat ibu kota di Kerajaan Sunda sering kali berpindah-pindah. Pemindahan ibu kota biasanya dilakukan oleh raja baru sebagai langkah antisipasi terhadap serangan musuh atau kemungkinan pemberontakan.
Fenomena ini telah berlangsung sejak masa ketika Kerajaan Sunda dan Galuh masih berdiri sebagai entitas terpisah. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Galuh pernah memindahkan ibu kotanya pada tahun 852 Masehi.
Pada masa itu, Rakryan Wuwus, keturunan Banga, menguasai Galuh dan menikah dengan putri Raja Galuh.
Sebaliknya, adik perempuan Rakryan Wuwus menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggantikan sisinya sebagai Raja Sunda ke-9 dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana.
Menurut bukuMenemukan Kerajaan Sundakarya Saleh Danasasmita, kehadiran Raja Sunda dari Galuh di Pakuan belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Situasi serupa terjadi ketika Sanjaya dan Tamperan, yang berasal dari Sunda, memerintah di Galuh.
Ketegangan ini akhirnya memicu pembunuhan Prabu Darmaraksa oleh seorang menteri Sunda yang fanatik. Setiap raja baru di Sunda selalu mempertimbangkan lokasi pusat pemerintahan, yang menyebabkan ibu kota kerajaan berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya.
Antara tahun 895 hingga 1311, wilayah Jawa Barat seringkali diramaikan oleh perpindahan rombongan kerajaan. Misalnya, ayah Sri Jayabupati memerintah di Galuh, Sri Jayabupati sendiri memerintah di Pakuan, dan putranya kembali ke Galuh.
Dua raja berikutnya, yaitu raja Sunda ke-22 dan ke-23, memerintah di Pakuan. Namun, raja ke-24 memerintah di Galuh, dan raja ke-25, Prabu Guru Darmasiksa, awalnya berkedudukan di Saunggalah sebelum akhirnya pindah ke Pakuan.
Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dimakamkan di Taman, Ciamis. Meskipun perpindahan ibu kota ini terlihat merepotkan, namun hal ini memiliki dampak positif dalam memperkuat identitas etnis di Jawa Barat.
Tradisi di Galuh dan Sunda memang memiliki perbedaan yang signifikan.
Ada yang mengatakan bahwa orang Galuh lebih dekat dengan air, sementara orang Sunda lebih erat dengan gunung. Yang satu memiliki mitos buaya, sementara yang lainnya memiliki mitos harimau. Bahkan, tradisi penyemayaman jenazah pun berbeda-beda.
Fenomena ini telah berlangsung sejak masa ketika Kerajaan Sunda dan Galuh masih berdiri sebagai entitas terpisah. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Galuh pernah memindahkan ibu kotanya pada tahun 852 Masehi.
Pada masa itu, Rakryan Wuwus, keturunan Banga, menguasai Galuh dan menikah dengan putri Raja Galuh.
Baca Juga
Sebaliknya, adik perempuan Rakryan Wuwus menikah dengan putra Galuh yang kemudian menggantikan sisinya sebagai Raja Sunda ke-9 dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana.
Menurut bukuMenemukan Kerajaan Sundakarya Saleh Danasasmita, kehadiran Raja Sunda dari Galuh di Pakuan belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Situasi serupa terjadi ketika Sanjaya dan Tamperan, yang berasal dari Sunda, memerintah di Galuh.
Ketegangan ini akhirnya memicu pembunuhan Prabu Darmaraksa oleh seorang menteri Sunda yang fanatik. Setiap raja baru di Sunda selalu mempertimbangkan lokasi pusat pemerintahan, yang menyebabkan ibu kota kerajaan berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya.
Antara tahun 895 hingga 1311, wilayah Jawa Barat seringkali diramaikan oleh perpindahan rombongan kerajaan. Misalnya, ayah Sri Jayabupati memerintah di Galuh, Sri Jayabupati sendiri memerintah di Pakuan, dan putranya kembali ke Galuh.
Dua raja berikutnya, yaitu raja Sunda ke-22 dan ke-23, memerintah di Pakuan. Namun, raja ke-24 memerintah di Galuh, dan raja ke-25, Prabu Guru Darmasiksa, awalnya berkedudukan di Saunggalah sebelum akhirnya pindah ke Pakuan.
Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah dan dimakamkan di Taman, Ciamis. Meskipun perpindahan ibu kota ini terlihat merepotkan, namun hal ini memiliki dampak positif dalam memperkuat identitas etnis di Jawa Barat.
Tradisi di Galuh dan Sunda memang memiliki perbedaan yang signifikan.
Ada yang mengatakan bahwa orang Galuh lebih dekat dengan air, sementara orang Sunda lebih erat dengan gunung. Yang satu memiliki mitos buaya, sementara yang lainnya memiliki mitos harimau. Bahkan, tradisi penyemayaman jenazah pun berbeda-beda.
(ams)