Keluarga Wartawan Korban Pembunuhan di Karo Datangi Komnas HAM, KPAI dan LPSK
loading...
A
A
A
KARO - Eva Meliani Pasaribu, anak dari almarhum Rico Sempurna Pasaribu, wartawan korban pembunuhan di Karo, Sumatera Utara mendatangi Komnas HAM, KPAI dan LPSK.
Kedatangannya untuk melaporkan dugaan pembunuhan berencana dalam kasus kebakaran rumah yang menyebabkan Rico Sempurna Pasaribu dan tiga anggota keluarganya tewas terbakar.
Eva yang datang bersama dengan kuasa hukum dari LBH Medan mendesak agar para pihak bisa mengusut tuntas kasus pembunuhan ayah dan keluarganya serta mendapatkan keadilan.
“Hari ini, 18 hari pasca kejadian, belum mendapatkan titik terang apa itu motif tindak pidana yang dilakukan, baik itu hasil otopsinya, hasil labfor. Kami meminta angle dari semua CCTV dan tidak ada yang dipotong-potong. Sampai sekarang semua itu tidak ada,” ujar Direktur LBH Medan, Irvan Sahputra, Senin (15/7/2024).
Irvan meminta secara tegas kepada Komnas HAM untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan secara langsung dan memanggil pihak-pihak terkait serta menindaklanjuti kasus ini.
“Ini kasus serius, perbuatan yang sangat keji, sadis, dan ini berkaitan dengan hak asasi dari keluarga korban. Kami bukan berharap, tapi meminta dengan tegas Koptu HB dipanggil,” ujarnya.
Irvan juga meminta Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan kepada Kapolda, Kapolres, Denpom dan Pangdam yang terkait dengan kasus ini agar memperoleh titik terang.
Eva M Pasaribu, anak korban mendesak perlu diusut tuntas secara cepat pihak-pihak yang terlibat dalam kematian keluarganya.
“Karena masalah yang menimpa itu bukan masalah pribadi, tapi masalah pemberitaan,” ujar Eva.
Selain melapor ke Komnas HAM, keluarga korban juga melapor pada KPAI. Pasalnya, dua dari empat korban tewasnya keluarga Rico dari kasus tersebut adalah anak-anak, yakni, SI (12 tahun, anak Rico) dan LS (3 tahun, cucu atau anak dari Eva).
“Ada dua korban anak yang tidak bersalah dan tidak ada sangkut pautnya dengan perkara ini dan menjadi korban,” ujar Arta Sigalingging, kuasa hukum dari LBH Medan.
Arta Sigalingging juga mendesak KPAI untuk memberikan atensi kepada perkara ini khususnya di Polda Sumut, mendorong kepada LPSK untuk mengabulkan permohonan Eva, serta menyelidiki kepada Polda Sumut kenapa dilimpahkan ke Polres Tanah Karo.
Vebrina Monicha, Divisi Hukum KontraS menilai kasus ini merupakan suatu bentuk upaya pembungkaman terhadap kebebasan menyampaikan pendapat yang berujung pada kematian.
“Kami melihat banyak kejanggalan bahkan intimidasi kepada pihak keluarga yang mana dilakukan oleh aparat penegak hukum sehingga membuat kasus ini bermuara pada proses menghalang-halangi bahkan menutupi fakta yang berkeadilan. Bisa kita katakan yang terjadi sekarang adalah upaya Obstruction of Justice (perintangan penyidikan)” ujar Vebrina.
Dia mendorong berbagai pihak terutama Kepolisian, Puspomad, Komnas HAM dan bahkan LPSK untuk dapat segera mengusut sampai tuntas dan memberikan perlindungan dan keadilan kepada keluarga korban.
Irvan juga menekankan bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
“Secara umum terbongkarnya kasus ini untuk juga melindungi kerja-kerja jurnalis dalam kerja-kerja jurnalistiknya,” ujarnya.
Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers mengatakan pengungkapan kasus ini membutuhkan keterlibatan multi pihak seperti Kepolisian, Puspomad dan Komnas HAM RI untuk mengurai motif dari tindak pidana yang dilakukan oleh terduga pelaku.
“Motif akan menjadi penting karena, apakah kasus ini terkait dengan pemberitaan atau bukan. Jika terkait dengan pemberitaan, kasus ini akan menjadi catatan hitam kebebasan pers di Indonesia,” ujarnya.
Ade mengingatkan kepada semua pihak, apabila terdapat kekeliruan atau keberatan terhadap pemberitaan, mekanisme yang harus dilakukan adalah hak jawab atau sengketa pers di Dewan Pers sebagaimana UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bukan kriminalisasi terlebih melakukan kekerasan kepada jurnalis.
Sebelumnya, keluarga korban sudah menempuh jalur hukum dengan membuat laporan polisi ke Polda Sumatera Utara.
Selama di Jakarta, Eva M Pasaribu sudah mencari keadilan ke pihak terkait. Sebelumnya sempat melaporkan ke Puspomad.
Peristiwa pembakaran rumah Rico yang merupakan Tribrata TV terjadi pada 27 Juni 2024 pada dini hari. Rumah di Jalan Nabung Surbakti, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara terbakar secara tiba-tiba. Kejadian ini menyebabkan Rico beserta tiga anggota keluarganya, Elparida Boru Ginting (istri), SI (anak) dan LS (cucu).
Investigasi KKJ menunjukkan Rico sempat menulis berita tentang aktivitas perjudian di daerah Karo yang melibatkan oknum prajurit TNI berinisial HB sebelum peristiwa tersebut. Selain itu, KKJ juga menyatakan terdapat percakapan yang menunjukkan Rico sempat bertemu dengan HB yang kemudian meminta berita itu diturunkan.
Rico juga disebut sempat meminta perlindungan ke Satreskrim Polres Tanah Karo. Tim kuasa hukum menyatakan telah menyerahkan bukti digital kepada Puspom TNI AD dalam laporan tersebut.
Kedatangannya untuk melaporkan dugaan pembunuhan berencana dalam kasus kebakaran rumah yang menyebabkan Rico Sempurna Pasaribu dan tiga anggota keluarganya tewas terbakar.
Eva yang datang bersama dengan kuasa hukum dari LBH Medan mendesak agar para pihak bisa mengusut tuntas kasus pembunuhan ayah dan keluarganya serta mendapatkan keadilan.
“Hari ini, 18 hari pasca kejadian, belum mendapatkan titik terang apa itu motif tindak pidana yang dilakukan, baik itu hasil otopsinya, hasil labfor. Kami meminta angle dari semua CCTV dan tidak ada yang dipotong-potong. Sampai sekarang semua itu tidak ada,” ujar Direktur LBH Medan, Irvan Sahputra, Senin (15/7/2024).
Irvan meminta secara tegas kepada Komnas HAM untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan secara langsung dan memanggil pihak-pihak terkait serta menindaklanjuti kasus ini.
“Ini kasus serius, perbuatan yang sangat keji, sadis, dan ini berkaitan dengan hak asasi dari keluarga korban. Kami bukan berharap, tapi meminta dengan tegas Koptu HB dipanggil,” ujarnya.
Irvan juga meminta Komnas HAM untuk melakukan pemeriksaan kepada Kapolda, Kapolres, Denpom dan Pangdam yang terkait dengan kasus ini agar memperoleh titik terang.
Eva M Pasaribu, anak korban mendesak perlu diusut tuntas secara cepat pihak-pihak yang terlibat dalam kematian keluarganya.
“Karena masalah yang menimpa itu bukan masalah pribadi, tapi masalah pemberitaan,” ujar Eva.
Selain melapor ke Komnas HAM, keluarga korban juga melapor pada KPAI. Pasalnya, dua dari empat korban tewasnya keluarga Rico dari kasus tersebut adalah anak-anak, yakni, SI (12 tahun, anak Rico) dan LS (3 tahun, cucu atau anak dari Eva).
“Ada dua korban anak yang tidak bersalah dan tidak ada sangkut pautnya dengan perkara ini dan menjadi korban,” ujar Arta Sigalingging, kuasa hukum dari LBH Medan.
Arta Sigalingging juga mendesak KPAI untuk memberikan atensi kepada perkara ini khususnya di Polda Sumut, mendorong kepada LPSK untuk mengabulkan permohonan Eva, serta menyelidiki kepada Polda Sumut kenapa dilimpahkan ke Polres Tanah Karo.
Vebrina Monicha, Divisi Hukum KontraS menilai kasus ini merupakan suatu bentuk upaya pembungkaman terhadap kebebasan menyampaikan pendapat yang berujung pada kematian.
“Kami melihat banyak kejanggalan bahkan intimidasi kepada pihak keluarga yang mana dilakukan oleh aparat penegak hukum sehingga membuat kasus ini bermuara pada proses menghalang-halangi bahkan menutupi fakta yang berkeadilan. Bisa kita katakan yang terjadi sekarang adalah upaya Obstruction of Justice (perintangan penyidikan)” ujar Vebrina.
Dia mendorong berbagai pihak terutama Kepolisian, Puspomad, Komnas HAM dan bahkan LPSK untuk dapat segera mengusut sampai tuntas dan memberikan perlindungan dan keadilan kepada keluarga korban.
Irvan juga menekankan bahwa kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
“Secara umum terbongkarnya kasus ini untuk juga melindungi kerja-kerja jurnalis dalam kerja-kerja jurnalistiknya,” ujarnya.
Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers mengatakan pengungkapan kasus ini membutuhkan keterlibatan multi pihak seperti Kepolisian, Puspomad dan Komnas HAM RI untuk mengurai motif dari tindak pidana yang dilakukan oleh terduga pelaku.
“Motif akan menjadi penting karena, apakah kasus ini terkait dengan pemberitaan atau bukan. Jika terkait dengan pemberitaan, kasus ini akan menjadi catatan hitam kebebasan pers di Indonesia,” ujarnya.
Ade mengingatkan kepada semua pihak, apabila terdapat kekeliruan atau keberatan terhadap pemberitaan, mekanisme yang harus dilakukan adalah hak jawab atau sengketa pers di Dewan Pers sebagaimana UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bukan kriminalisasi terlebih melakukan kekerasan kepada jurnalis.
Sebelumnya, keluarga korban sudah menempuh jalur hukum dengan membuat laporan polisi ke Polda Sumatera Utara.
Selama di Jakarta, Eva M Pasaribu sudah mencari keadilan ke pihak terkait. Sebelumnya sempat melaporkan ke Puspomad.
Peristiwa pembakaran rumah Rico yang merupakan Tribrata TV terjadi pada 27 Juni 2024 pada dini hari. Rumah di Jalan Nabung Surbakti, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara terbakar secara tiba-tiba. Kejadian ini menyebabkan Rico beserta tiga anggota keluarganya, Elparida Boru Ginting (istri), SI (anak) dan LS (cucu).
Investigasi KKJ menunjukkan Rico sempat menulis berita tentang aktivitas perjudian di daerah Karo yang melibatkan oknum prajurit TNI berinisial HB sebelum peristiwa tersebut. Selain itu, KKJ juga menyatakan terdapat percakapan yang menunjukkan Rico sempat bertemu dengan HB yang kemudian meminta berita itu diturunkan.
Rico juga disebut sempat meminta perlindungan ke Satreskrim Polres Tanah Karo. Tim kuasa hukum menyatakan telah menyerahkan bukti digital kepada Puspom TNI AD dalam laporan tersebut.
(shf)