Sultan Mahmud Badaruddin II, Harimau Palembang yang Menolak Tunduk hingga Diasingkan

Jum'at, 01 Mei 2020 - 05:00 WIB
loading...
Sultan Mahmud Badaruddin II, Harimau Palembang yang Menolak Tunduk hingga Diasingkan
Benteng Oranje, Ternate, tempat Sultan Mahmud Badaruddin II ditahan dan diasingkan.
A A A
PALEMBANG - Bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, persisnya pada Minggu pagi 24 Juni 1821, di saat masyarakat Palembang tengah makan sahur, pasukan Belanda dipimpin Mayjen Hendrick Merkus De Kock menyerbu Kesultanan Palembang Darussalam.

Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira orang Belanda tak balik menyerang. Apalagi tiga pertempuran sebelumnya, Belanda selalu kalah dan balik ke Batavia.

Setelah melalui perlawanan yang hebat di pertempuran keempat ini, pada 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda.

Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibar bendera Merah Putih Biru (rod, wit, en blau) di Kuto Besak Kuto Besak, hingga resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.

Meskipun mengalami kekalahan, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II, penguasa Kesultanan Palembang Darussalam kala itu, tidak pernah membuat surat Kalah Perang ataupun Penyerahan Kekuasaan (Lange Verklaring atau pun Korte Verklaring) ketika Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang.

"SMB II termasuk ahli perang. Selama masa pemerintahannya, SMB II telah menanamkan semangat perjuangan yang tak pernah menyerah. Penggambaran sikap ini dikatakan oleh orang Inggris sebagai harimau yang tidak pernah jinak (never a tame tiger) hal ini didasarkan pada pengalaman Inggris yang selalu kewalahan ketika menghadapi SMB II," tulis Kemas AR Panji, dosen sejarah Universitas PGRI Palembang, dalam 'Sultanku Mahmud Badaruddin II'.

Bahkan Jenderal Meares dari Inggris yang sangat berambisi untuk menangkap SMB II, justru sang Jendral yang tewas dalam satu pertempuran di daerah hulu kota Palembang.

Stempel yang biasa digunakan oleh SMB II selama masa pemerintahannya dan pada saat kekuasaannya berusaha dilucuti oleh tentara Belanda.

Tapi stempel tidak diserahkan sebagai bukti bahwa SMB II tidak mau tunduk kepada pemerintahan kolonial Belanda di Palembang. Pada saat ini stempel disimpan oleh salah satu Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam.

SMB II menjadi Sultan ke-VIII menggantikan ayahnya di Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) pada 1803-1819.

Selama masa perjuangannya untuk menjaga negeri ini tercatat beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda.

Konflik dimulai sejak ditemukan Timah di Bangka pada pertengahan abad ke-18. Sejak itu Pulau Bangka menjadi perebutan bangsa Eropa.

Sir Thomas Stamford Raffles adalah orang pertama mulai mengadakan pendekatan dengan SMB II. Lalu melalui surat pada 3 maret 1811, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang.

Tetapi, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Meskipun pada akhirnya terjalin kerja sama Inggris-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.

Tidak berhasil dengan bujukannya, Inggris melancarkan strategi lain. Pada 14 September 1811, terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Aur.

Belanda menuduh Inggris yang memprovokasi Palembang supaya mengusir Belanda. Sebaliknya, Inggris menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.

Raffles yang terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, masih berharap dapat berunding dengan SMB II.

Tetapi SMB II tidak lagi menghiraukan maksud Inggris. Akibatnya, Inggris mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II.

Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.

Inggris kemudian mengangkat Raden Husin Diauddin (Adik SMB II) menjadi Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II, pada 14 Mei 1812.

Bangka yang telah dikuasai Inggris diganti namanya Duke of York s Island, yang kemudian dinamakan Minto (saat ini dikenal dengan nama Mentok), di pulau ini ditempatkan Jenderal Meares sebagai Residen Palembang.

Meares berambisi menangkap SMB II yang telah mengungsi ke pedalaman dan menyusun kekuatan di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812, ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas.

Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robinson. Pengganti Meares ini kemudian melakukan serangkaian perundingan.

SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813, hingga Agustus 1813. Sementara itu, Robinson dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.

Setelah Konvensi London 13 Agustus 1814 yang mengharuskan Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803, pada 19 Agustus 1816 Palembang diserahkan kembali pada Belanda.

Penyerahan ini terjadi dan Raffles diganti oleh John Fendal (Belanda) yang kemudian mengangkat Edelheer Mutinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengangkat kembali SMB II naik tahta pada 7 Juni 1818.

Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Inggris justru diasingkan oleh Mutinghe untuk keluar dari Palembang menuju Batavia.

Sultan Mahmud Badaruddin II, Harimau Palembang yang Menolak Tunduk hingga Diasingkan


Awal Mula Perang Dahsyat di Palembang

Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas, Mutinghe dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia.

Sekembalinya ke Palembang, Mutinghe menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda.

Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB II mulai menyerang Belanda.

Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (Perang Palembang) yang pecah pada 12 Juni 1819.

Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda.

Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.

Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur JenderalG.A.G.Ph. van der Capellenmerundingkannya dengan LaksamanaConstantijn Johan Wolterbeekdan MayjenHendrik Merkus de Kockdan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan.

Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.

SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh.

Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.

Pertempuran sungai dimulai pada 21 Oktober1819oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek.

Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada30 Oktober1819.

SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan.

Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelarAhmad Najamuddin III.

SMB II lengser dan bergelarsusuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.

Setelah melalui penggarapan bangsawan (susuhunan Husin Diauddin dan sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom) dan orang Arab Palembang melalui pekerjaanspionase, dan tempat-tempat pertahanan di sepanjang sungai Musi sudah diketahui oleh Belanda serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Pada 16 Mei1821armada Belanda sudah memasuki perairan Musi.

Kontak senjata pertama terjadi pada11 Juni1821 hingga menghebatnya pertempuran pada20 Juni1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan.

De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan. Bertepatan dengan bulan suci Ramadan atau di saat masyarakat Palembang tengah bersantap sahur inilah, Belanda menyerang dan berhasil memenangi pertempuran.

Namun karena tetap tak mau tunduk dengan kolonial Belanda, akhirnya SMB II beserta keluarga dan pengikut setianya dibuang dengan menaiki kapal Dageraad tujuan Batavia, pada Selasa malam, 3 Syawal 1236 H (13 Juli 1821). Dari Batavia, rombongan SMB II lalu diasingkan ke Ternate, Maluku Utara.

Awal pengasingan di Ternate, SMB II dikurung dalam sel berukuran sangat kecil. Sel ini berlokasi di dalam Benteng Oranje, sebuah benteng pertahanan milik Belanda yang sekaligus untuk menyimpan rempah-rempah hasil rampasan dari sejumlah daerah di timur Indonesia. Dalam sel ini, SMB II hanya bisa berbaring, duduk, namun tidak bisa berdiri.

SMB II meninggal di Ternate pada 26 November 1862. Untuk menghargai jasa-jasanya diberikan tanda jasa sebagai Pahlawan Nasional yang dikukuhkan oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 063/TK/tahun 1984 tertanggal 29 oktober 1984.

Selain itu namanya kini diabadikan sebagai nama Bandara Internasional di Palembang, dan wajahnya dijadikan gambar utama mata uang rupiah pecahan 10.000 yang dikeluarkan Bank Indonesia pada 20 Oktober 2005.
(boy)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1210 seconds (0.1#10.140)