Kisah Sultan Ageng Tirtayasa yang Terhasut Siasat Licik Pecah Belah Belanda
loading...
A
A
A
BANTEN - Kisah Sultan Ageng Tirtayasa yang terhasut oleh taktik pecah belah Belanda menarik untuk dikulik. Pasalnya, kerajaan Banten yang berdiri 1525 Masehi sempat mengalami masa kejayaan. Namun sejak Belanda masuk, kerajaan ini porak poranda.
Sebagaimana dikutip dalam buku "Untung Surapati: Melawan VOC Sampai Mati" karya Abdul Waid. Di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten sempat memiliki armada yang kuat dan menakjubkan.
Bahkan Kesultanan Banten sanggup menggaji para pekerja Eropa, mengamankan jalur pelayaran, dengan mengirimkan armada lautnya ke Kerajaan Sukadana (Kerajaan Tanjungpura) serta menaklukkannya di tahun 1661. Pada masa itu, Kerajaan Banten juga tengah berusaha keluar dari tekanan VOC yang sebelumnya memblokade kapal-kapal dagang ke arah Banten.
Pada tahun 1680 Masehi, terjadilah perebutan kekuasaan di internal kerajaan. Di mana Sultan Ageng Tirtayasa terlibat perebutan kekuasaan dengan putranya bernama Sultan Haji. Perselisihan antara ayah dan anak ini dimanfaatkan betul oleh VOC untuk memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara pun tak dapat dihindarkan lagi.
Sementara dalam memperkuat posisinya Sultan Haji, mengirimkan dua orang dutanya untuk menghadap Raja Inggris di London pada tahun 1682 Masehi. Tujuannya agar Sultan Haji mendapat dukungan dan bantuan persenjataan.
Pada bulan Februari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan bantuan di bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan di Tirtayasa.
Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar datang ke Istana.
Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat. Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan perlawanan.
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya.
Hal ini terlihat di berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.
Diketahui, VOC bukan saja ingin menguasai perdagangan tetapi juga menerapkan pajak yang tinggi terhadap rakyat Banten. Orang-orang Banten merasa harga diri mereka dilecehkan.
Mereka adalah penganut Islam kuat dan selalu memiliki semangat untuk menegakkan keadilan. Rakyat Banten menganggap orang-orang Belanda adalah orang-orang yang akan merusak tatanan kehidupan di tanah Banten
Sebagaimana dikutip dalam buku "Untung Surapati: Melawan VOC Sampai Mati" karya Abdul Waid. Di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten sempat memiliki armada yang kuat dan menakjubkan.
Bahkan Kesultanan Banten sanggup menggaji para pekerja Eropa, mengamankan jalur pelayaran, dengan mengirimkan armada lautnya ke Kerajaan Sukadana (Kerajaan Tanjungpura) serta menaklukkannya di tahun 1661. Pada masa itu, Kerajaan Banten juga tengah berusaha keluar dari tekanan VOC yang sebelumnya memblokade kapal-kapal dagang ke arah Banten.
Pada tahun 1680 Masehi, terjadilah perebutan kekuasaan di internal kerajaan. Di mana Sultan Ageng Tirtayasa terlibat perebutan kekuasaan dengan putranya bernama Sultan Haji. Perselisihan antara ayah dan anak ini dimanfaatkan betul oleh VOC untuk memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara pun tak dapat dihindarkan lagi.
Sementara dalam memperkuat posisinya Sultan Haji, mengirimkan dua orang dutanya untuk menghadap Raja Inggris di London pada tahun 1682 Masehi. Tujuannya agar Sultan Haji mendapat dukungan dan bantuan persenjataan.
Pada bulan Februari 1682 pecah perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Tanggal 6 Maret 1682 VOC mengirimkan bantuan di bawah pimpinan Saint Martin. Sultan Ageng Tirtayasa dipukul mundur dan bertahan di Tirtayasa.
Januari 1683 Sultan Ageng Tirtayasa, Pangeran Purbaya serta sejumlah pasukan Banten berada di Parijan, Tangerang. Mereka tetap melanjutkan perjuangan melawan VOC. Kemudian Sultan Haji mengirim surat kepada ayahnya agar datang ke Istana.
Tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng tiba di Istana dan diterima dengan baik, tetapi kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia. Tahun 1695 Sultan Ageng Tirtayasa wafat. Setelah Sultan Ageng wafat, sisa-sisa tentara Banten tetap mengadakan perlawanan.
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya.
Hal ini terlihat di berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa "Geger Cilegon" pada tahun 1886 di bawah pimpinan KH Wasyid dan "Pemberontakan Petani Banten" pada tahun 1888.
Diketahui, VOC bukan saja ingin menguasai perdagangan tetapi juga menerapkan pajak yang tinggi terhadap rakyat Banten. Orang-orang Banten merasa harga diri mereka dilecehkan.
Mereka adalah penganut Islam kuat dan selalu memiliki semangat untuk menegakkan keadilan. Rakyat Banten menganggap orang-orang Belanda adalah orang-orang yang akan merusak tatanan kehidupan di tanah Banten
(hri)