KTT ASEAN Sepakat Perangi TPPO, Kepala BP2MI: Negara-negara Jangan Kompromi terhadap Kejahatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - KTT ke-42 ASEAN 2023 di Labuan Bajo mengeluarkan deklarasi siap memerangi Tindak Pidana Perdagangan Orang ( TPPO ). Deklarasi tersebut memperkuat semangat dan komitmen negara-negara ASEAN. Negara-negara ASEAN harus tegas dan tidak kompromi terhadap kejahatan TPPO yang merupakan kejahatan kemanusiaan.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Ramdhani dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran’, Senin (15/5/2023).
Menurut Benny, deklarasi ini memberikan kemajuan dan langkah progresif dalam memberikan akses keadilan hukum, advokasi, pemberian bantuan, dan pendidikan terkait migrasi aman.
“Hanya saja, perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dihadapkan pada berbagai masalah di dalam negeri. Padahal telah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang mengatur perlindungan administrasi dan perlindungan teknis bagi pekerja migran,” ujar Benny.
Dia mengatakan, Pasal 8 ayat 1 UU 18 Tahun 2017 menjelaskan bahwa setiap pekerja migran yang bekerja secara resmi di negara penempatan harus memenuhi persyaratan yang diatur oleh undang-undang Indonesia. Mereka tidak hanya harus mengikuti pendidikan, pelatihan, sertifikat kompetensi, dan dokumen resmi, termasuk visa kerja.
“Namun, modus yang digunakan oleh pekerja migran ilegal biasanya menggunakan visa turis, visa umroh, atau visa ziarah ke Timur Tengah, bukan visa kerja,” tandas Benny.
Diketahui, World Bank pada 2017 mencatat ada sekitar 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Namun, data BP2MI hanya mencatat data sekitar 4,6 juta orang tersebut secara rinci, termasuk asal mereka, lokasi saat ini, jenis pekerjaan, gaji, tanggal keberangkatan dan kepulangan, serta koordinat tempat tinggal mereka.
Dari data tersebut, sekitar 4,4 juta orang Indonesia yang berada di luar negeri berangkat secara tidak resmi. Selama tiga tahun, sebanyak 92 ribu orang dideportasi, 1.900 jenazah dipulangkan ke Indonesia, dan rata-rata dua peti jenazah harus ditangani setiap kali pemulangan, yang semuanya merupakan korban dari perjalanan ilegal.
Selain itu, kata Benny, ada sekitar 3.600 orang yang menderita penyakit fisik, kehilangan ingatan, serta depresi ringan dan berat. "Pemandangan ini menggambarkan betapa naifnya jika negara sebesar Indonesia, yang menghormati kemanusiaan, dituduh melakukan pembiaran dan tidak mampu melawan sindikat TPPO,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Ramdhani dalam Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema ‘Deklarasi ASEAN Melindungi Pekerja Migran’, Senin (15/5/2023).
Menurut Benny, deklarasi ini memberikan kemajuan dan langkah progresif dalam memberikan akses keadilan hukum, advokasi, pemberian bantuan, dan pendidikan terkait migrasi aman.
“Hanya saja, perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dihadapkan pada berbagai masalah di dalam negeri. Padahal telah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang mengatur perlindungan administrasi dan perlindungan teknis bagi pekerja migran,” ujar Benny.
Dia mengatakan, Pasal 8 ayat 1 UU 18 Tahun 2017 menjelaskan bahwa setiap pekerja migran yang bekerja secara resmi di negara penempatan harus memenuhi persyaratan yang diatur oleh undang-undang Indonesia. Mereka tidak hanya harus mengikuti pendidikan, pelatihan, sertifikat kompetensi, dan dokumen resmi, termasuk visa kerja.
“Namun, modus yang digunakan oleh pekerja migran ilegal biasanya menggunakan visa turis, visa umroh, atau visa ziarah ke Timur Tengah, bukan visa kerja,” tandas Benny.
Diketahui, World Bank pada 2017 mencatat ada sekitar 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Namun, data BP2MI hanya mencatat data sekitar 4,6 juta orang tersebut secara rinci, termasuk asal mereka, lokasi saat ini, jenis pekerjaan, gaji, tanggal keberangkatan dan kepulangan, serta koordinat tempat tinggal mereka.
Dari data tersebut, sekitar 4,4 juta orang Indonesia yang berada di luar negeri berangkat secara tidak resmi. Selama tiga tahun, sebanyak 92 ribu orang dideportasi, 1.900 jenazah dipulangkan ke Indonesia, dan rata-rata dua peti jenazah harus ditangani setiap kali pemulangan, yang semuanya merupakan korban dari perjalanan ilegal.
Selain itu, kata Benny, ada sekitar 3.600 orang yang menderita penyakit fisik, kehilangan ingatan, serta depresi ringan dan berat. "Pemandangan ini menggambarkan betapa naifnya jika negara sebesar Indonesia, yang menghormati kemanusiaan, dituduh melakukan pembiaran dan tidak mampu melawan sindikat TPPO,” ujarnya.