Bencana Akibat Perubahan Iklim Makin Nyata, BMKG: Segera Lakukan Mitigasi

Kamis, 09 Februari 2023 - 12:28 WIB
loading...
Bencana Akibat Perubahan...
Hasil monitoring BMKG dalam 40 tahun terakhir mengindikasikan curah hujan ekstrem di Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan, baik dalam hal frekuensi maupun intensitas (magnitude). Foto ilustrasi
A A A
JAKARTA - Hasil monitoring BMKG dalam 40 tahun terakhir mengindikasikan curah hujan ekstrem di Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan, baik dalam hal frekuensi maupun intensitas (magnitude). Ini mengakibatkan tingginya angka bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor , kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), serta kekeringan.

Ancaman itu semakin besar, mengingat, berdasarkan hasil kajian menggunakan data pemodelan proyeksi iklim oleh BMKG, menunjukkan bahwa di masa depan akan terjadi peningkatan intensitas kebasahan di beberapa daerah, walaupun mungkin tidak merata.



Di lain sisi, durasi dry spell atau jumlah hari kering juga mengalami peningkatan sebesar 20%-30% dibandingkan pada periode referensi (1986-2005). Tidak seperti iklim dan cuaca yang sulit untuk diintervensi, lingkungan adalah sesuatu yang bisa kita kontrol.

"Oleh karena itu, BMKG mengadakan program literasi iklim kepada masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian terhadap perubahan iklim," kata Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari pada webinar ‘Darurat Bencana Hidrometeorologi: Komitmen Implementasi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim’ Rabu (8/2/2023).

Hal itu, jelas dia, perlu dilakukan agar masyarakat bisa memahami proses dan dampak perubahan iklim. "Dan sedapat mungkin mampu mengubah pola hidup saat ini yang memicu peningkatan emisi,” jelas dia.

Senada dengan Supari, Peneliti Klimatologi dan Oseanografi BRIN dan Penulis Utama Laporan Penilaian Keenam IPCC Intan Suci Nurhati mengatakan, jika merujuk Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2022, kondisi iklim global saat ini sangat mengkhawatirkan.

Dijelaskannya, perubahan iklim yang semakin intens, akan berakibat pada penyerapan karbon di laut dan hutan menjadi kurang maksimal. "Banyak yang belum menyadari bahwa kondisi laut yang memburuk juga mempengaruhi situasi cuaca di darat, yang mengakibatkan bencana hidrometeorologi sering terjadi,” ujar Intan.

Selain itu, Intan juga mengungkapkan bahwa dalam Laporan IPCC, anomali hidrometeorologi yang terjadi di darat juga dipengaruhi dari fenomena dinamika laut. Salah satu contohnyaadalah marine heatwave atau gelombang panas laut yang berimplikasi pada menghangatnya permukaan air laut, sehingga menyebabkan rusaknya organisme laut dan ekosistem darat.

"Pemerintah dan masyarakat setempat meningkatkan kewaspadaan akan potensi cuaca dan iklim ekstrem dengan terus mencari informasi yang relevan, serta melakukan penataan lingkungan dengan lebih baik untuk mencegah terjadinya bencana," jelas dia.

Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan BNPB Dodi Yuleova menjelaskan, merujuk data BNPB empat tahun ke belakang, dari 2018 hingga 2022, korban meninggal dan mengungsi akibat bencana hidrometeorologi terus bertambah. Kerugian akibat kerusakan yang ditimbulkannya mencapai angka Rp31,5 triliun.

Dalam pelaksanaannya, Dodi mengaku mengalami tantangan, di antaranya faktor cuaca yang dinilai mudah sekali berubah. Dia menciptakan, saat ini sejatinya sudah masuk musim kemarau, tetapi beberapa daerah masih mengalami hujan dengan intensitas tinggi.

"Kami melakukan analisis atau kajian terhadap potensi ancaman bahaya dengan memanfaatkan data lintas kementerian/lembaga. Selanjutnya, memberikan arahan kepada BPBD tingkat kabupaten dan kota untuk upaya kesiapsiagaan setempat daan mengaktifkan Tim Reaksi Cepat (TRC) agar berkoordinasi dengan pusat, khususnya untuk daerah yang sangat rawan bencana hidrometeorologi,” beber dia.

Mengantisipasi kerugian besar, ia menyarankan masyarakat membentuk tim siaga desa yang bertugas untuk pemantauan dan identifikasi berbekal pengetahuan kebencanaan, seperti membuat rencana operasi, membuat peta risiko desa dan keterampilan dalam respons darurat, dan memastikan kelancaran jalinan komunikasi ke BPBD kecamatan dan desa.

"Di tingkat keluarga, rencana kesiapsiagaan dapat berupa rute evakuasi, respon evakuasi, tas siaga bencana, kontak petugas, dan lainnya," papar dia.

Sementara itu, gerakan untuk adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim masih mengalami banyak tantangan karena belum adanya UU Perubahan Iklim yang bisa menjadiacuan dan payung kebijakan untuk aksi yang dilakukan untuk mencapai target yang ditetapkan.

WALHI memandang, menyikapi kondisi iklim saat ini, perlu mendorong tanggung jawab pelaku usaha yang secara jelas berkontribusi besar menyumbang emisi CO 2, yang memicu terjadinya krisis iklim yang telah menjadi bencana bagi masyarakat dunia khususnya masyarakat yang berada di pulau kecil seperti Kepulauan Seribu di Jakarta.

Hal itu salah satunya dilakukan dengan melakukan gugatan bersama perwakilan masyarakat terdampak krisis iklim di Pulau Pari Kabupaten, Kepulauan Seribu.

Gugatan iklim itu juga sekaligus bagian dari upaya WALHI untuk membangun kesadaran publik tentang krisis iklim dan penting agar semua orang peduli dan ikut ambil bagian. Meningkatnya kejadian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, abrasi pantai dan lainnya akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga perlu menjadi perhatian.

Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek pembangunan dan investasi yang katanya sebagai solusi atas krisis iklim, tetapi nyatanya semakin memperparah keadaan," Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan WKR, Eksekutif Nasional WALHI Uslaini Chaus.

"Salah satunya adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan yang justru mengalami gagal tanam dan gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dan komoditi yang dibudidayakan. Hal ini bukannya meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi tapi justru berkontribusi pada pelepasan karbon dan mengganggu kestabilan lingkungan,” lanjut dia.

Program untuk mitigasi perubahan iklim seperti FoLU Net Sink dan peningkatan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) yang ambisius, lanjut dia, hendaknya diselaraskan dengan kebijakan pemerintah."Dengan demikian, pengalihfungsian hutan dan mangrove untuk proyek pembangunan strategis tertentu tidak kembali terjadi,” kata Uslaini.
(don)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2138 seconds (0.1#10.140)