Ketika NU Kecewa, Tarik Diri lalu Jadi Partai Politik hingga Pecundangi Masyumi

Rabu, 08 Februari 2023 - 05:49 WIB
loading...
Ketika NU Kecewa, Tarik...
Jam’iyah Nahdlatul Ulama telah memasuki usia satu abad. Sebelum berdiri sebagai partai politik dan lantas kembali ke khittah 1926, NU dalam perjalanan sejarahnya pernah menjadi konstituen Masyumi. (Ist)
A A A
BLITAR - Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) telah memasuki usia satu abad. Sebelum berdiri sebagai partai politik dan lantas kembali ke khittah 1926, NU dalam perjalanan sejarahnya pernah menjadi konstituen Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Warga NU berada dalam satu barisan dengan kelompok Islam modernis, yakni Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).

Kehadiran NU sebagai kekuatan tradisional menjadikan Masyumi partai Islam terbesar di Indonesia sekaligus tandingan serius partai sekuler seperti PNI, PSI dan PKI.

Namun di tengah perjalanan terjadi dinamika politik yang keras. Perbedaan pandangan yang terus menajam membuat NU dan Masyumi mengalami pecah kongsi.

Puncak ketegangan NU dan Masyumi berlangsung pada awal tahun 1952. Seiring berakhirnya kabinet PNI-Masyumi yang dipimpin Sukiman pada 25 Februari 1952, posisi NU mulai dipinggirkan.

Pada kabinet baru, upaya NU mempertahankan jatah menteri agama mulai diganggu. Dengan berbagai alasan, yakni salah satunya NU sudah sembilan kali menerima jatah (sejak 1946), Masyumi mengisyaratkan mendukung calon dari Muhammadiyah.

Sementara bagi NU, posisi kementerian agama adalah vital karena merupakan lembaga penting yang melayani kebutuhan spiritual masyarakat.

“Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek penting dalam kehidupan Islam, termasuk pendidikan agama, pengaturan masalah perkawinan, waris dan perceraian serta pengawasan terhadap urusan-urusan haji- semuanya merupakan lahan tradisional para kiai NU,” demikian yang tertulis dalam buku Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 (2003).

Sebelum muncul persoalan pembagian jatah kekuasaan di kabinet, benih ketegangan antara NU dengan Masyumi, yakni terutama dengan kelompok Moh Natsir, sudah mulai terasa pada akhir tahun 1949.

Ketegangan itu dipicu adanya perubahan kepemimpinan, kebijakan, peraturan dan sikap partai terhadap ulama tradisionalis. Semua perubahan yang merugikan NU itu adalah hasil Kongres Masyumi ke-4 pada Desember 1949 di Yogyakarta.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3058 seconds (0.1#10.140)