Warga Batu Ampar Bali Sambangi Kantor Wantimpres, Perjuangkan Hak Atas Tanah yang Dicaplok

Rabu, 01 Februari 2023 - 21:37 WIB
loading...
Warga Batu Ampar Bali...
Warga Dusun Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, menyambangi Kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023). Foto ist
A A A
JAKARTA - Warga Dusun Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, menyambangi Kantor Dewan Pertimbangan Presiden ( Wantimpres ) di Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023). Mereka mengadu ke Wantimpres terkait tanah mereka yang dicaplok dan dibangun hotel di atasnya.



Nyoman Tirtawan, perwakilan warga mengatakan, kedatangan pihaknya diterima oleh Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Politik Hukum dan Agraria Dr. Bambang Slamet Riyadi.

"Kami melaporkan kepada tim ahli hukum Wantimpres, ada Bapak Bambang Slamet Riyadi. Kami 55 warga Batu Ampar yang memiliki bukti kepemilikan tanah dan membayar pajak dari dulu sampai sekarangz namun mereka diusir dan tanah mereka dicaplok dan dibangun hotel di atas tanah mereka," kata Nyoman.

Warga, kata Nyoman, telah mendiami tanah tersebut secara turun temurun. Bahkan para warga memiliki alas hak dan membayar semua kewajiban. Nyoman berharap Wantimpres segera melaporkan kasus tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Karena saya tahu Bapak Jokowi adalah pelayan rakyat sejati Saya yakin Bapak Jokowi tidak ingin ada rakyatnya menjadi korban para mafia," ujarnya.

Nyoman menjelaskan, sejak tahun 1952, warga Dusun Batu Ampar menerabas hutan belantara untuk bercocok tanam dan bermukim di atas tanah tersebut. Warga diberikan surat kepemilikan tanah pada tahun 1959 sebagai bukti legalitas oleh pemerintah.

Namun pada tahun 1976, lantaran pemerintah membutuhkan kapur sebagai bahan bangunan, maka diterbitkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) kepada Perusahaan Daerah Swatantra seluas 45 hektar di atas tanah pemukiman warga Dusun Batu Ampar itu.

Di dalam sertifikat HPL tertulis kalimat 'amanya hak berlaku sepanjang tanah yang dimaksud dipergunakan untuk proyek pengapuran'.

Secara de facto, proyek pengapuran berakhir tahun 1980-an. Kemudian Bupati Buleleng dan Kepala Kantor Agraria Buleleng bersurat kepada Menteri Dalam Negeri pada tahun 1982.

Hal tersebut dilakukan agar tanah yang terbit di atas sertifikat milik warga didistribusikan kepada 55 warga atas nama Raman dan kawan-kawan.

"Atas dasar itulah Menteri Dalam Negeri kemudian memutuskan dan menetapkan pendistribusian tanah tersebut kepada Raman dan kawan-kawan bersama 55 warga untuk dijadikan Hak Milk karena telah memenuhi syarat," tegasnya.

Dikatakan Nyoman, dari 55 warga yang diberikan SK Mendagri tahun 1982, baru 4 warga yang diproses penerbitan sertifikatnya yaitu Ketut Salin, Marwiyah, Pan Deresna dan Adna.

Sedangkan sisanya berjumlah 51 warga ditolak proses penerbitan sertifikatnya tanpa alasan yang jelas atau diperlakukan secara diskriminatif."Tahun 1990 warga diusir oleh oknum aparat dari tanah mereka tanpa diberikan uang sepeserpun," katanya.

Nyoman mendesak Tim ahli hukum bidang Agraria Wantimpres segera mengecek kebenaran kasus pencaplokan tanah tersebut.

"Saya harap segera mungkin dari sekretariat Wantimpres untuk mengecek kebenaran secara objektif baik melihat objek tanah sengketa, yang dirampas, dan memanggil para pihak BPN maupun Pemkab Buleleng," jelasnya.
(don)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1667 seconds (0.1#10.140)