Peringati Harlah Ansor, Anggota Dewan Ini Kenang Pengalaman Saat Jadi Banser
Sabtu, 25 April 2020 - 05:20 WIB
SURABAYA - Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) pada 24 April 2020 memperingati hari lahirnya yang ke-86. Badan Otonom Nahdlatul Ulama (NU) di bidang kepemudaan ini mempunyai sejarah panjang. Banyak tokoh yang lahir dari organisasi ini, baik eksekutif maupun legislatif.
Salah satunya adalah Chusainuddin. Anggota DPRD Jatim dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) ini bahkan pernah menjadi anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Bahkan ia didapuk menjadi komandan Banser yang merupakan kader inti Ansor.
"Sekitar tahun 1998 saya didaulat memimpin Banser se Kabupaten Tulungagung. Saat itu jumlah anggota Banser di Tulungagung mencapai 5500 personil," kenang pria yang akrab disapa Mas Udin ini.
Bendahara DPW PKB Jatim ini mengisahkan di masa orde baru NU dan banom-banom dipinggirkan oleh penguasa. Saat itu penguasa dan aparat masih sangat represif. Karena itu, pemuda NU takutnya menggunakan atribut Ansor dan Banser.
Chusainuddin mengaku awal dirinya masuk Banser karena perintah KH. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Pesulukan Thariqoh Agung (PETA) Tulungagung. Ketika itu ia dan seluruh santri PETA diperintahkan masuk Ansor.
"Saat itu semua santri PETA yang jumlahnya ribuan bergabung di GP Ansor, termasuk saya. Tapi saat awal kita masih menggunakan nama ANO yaitu Anak Nahdlatul Ulama untuk menghindari represif penguasa," ujarnya.
Chusainuddin mengaku banyak bekal yang ia dapatkan saat aktif sebagai Banser di GP Ansor Tulungagung. Baik bekal fisik, mental maupun wawasan berorganisasi. Semua itu landasannya ikhlas dan tawadhu pada kiai.
Pria asal kelurahan Botoran, Tulungagung ini mengaku pernah nekat meninggalkan istrinya untuk mengikuti diklan selama seminggu. Padahal saat itu, istrinya baru sebulan melahirkan anak pertama.
"Saya di Ansor seangkatan dengan Kasatkornas Banser Almarhum Ir. Alfa Isnaeni dan Prof Akhyak, guru besar IAIN Tulungagung. Kita semua modalnya ikhlas dan patuh kiai. Atribut, seragam, pelatihan semua pakai uang sendiri," tutur suami Yuli Nadhifah Triswati, anggota DPRD Tulungagung
Salah satunya adalah Chusainuddin. Anggota DPRD Jatim dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) ini bahkan pernah menjadi anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Bahkan ia didapuk menjadi komandan Banser yang merupakan kader inti Ansor.
"Sekitar tahun 1998 saya didaulat memimpin Banser se Kabupaten Tulungagung. Saat itu jumlah anggota Banser di Tulungagung mencapai 5500 personil," kenang pria yang akrab disapa Mas Udin ini.
Bendahara DPW PKB Jatim ini mengisahkan di masa orde baru NU dan banom-banom dipinggirkan oleh penguasa. Saat itu penguasa dan aparat masih sangat represif. Karena itu, pemuda NU takutnya menggunakan atribut Ansor dan Banser.
Chusainuddin mengaku awal dirinya masuk Banser karena perintah KH. Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh Pondok Pesantren Pesulukan Thariqoh Agung (PETA) Tulungagung. Ketika itu ia dan seluruh santri PETA diperintahkan masuk Ansor.
"Saat itu semua santri PETA yang jumlahnya ribuan bergabung di GP Ansor, termasuk saya. Tapi saat awal kita masih menggunakan nama ANO yaitu Anak Nahdlatul Ulama untuk menghindari represif penguasa," ujarnya.
Chusainuddin mengaku banyak bekal yang ia dapatkan saat aktif sebagai Banser di GP Ansor Tulungagung. Baik bekal fisik, mental maupun wawasan berorganisasi. Semua itu landasannya ikhlas dan tawadhu pada kiai.
Pria asal kelurahan Botoran, Tulungagung ini mengaku pernah nekat meninggalkan istrinya untuk mengikuti diklan selama seminggu. Padahal saat itu, istrinya baru sebulan melahirkan anak pertama.
"Saya di Ansor seangkatan dengan Kasatkornas Banser Almarhum Ir. Alfa Isnaeni dan Prof Akhyak, guru besar IAIN Tulungagung. Kita semua modalnya ikhlas dan patuh kiai. Atribut, seragam, pelatihan semua pakai uang sendiri," tutur suami Yuli Nadhifah Triswati, anggota DPRD Tulungagung
(msd)
tulis komentar anda