Dedi Mulyadi: Tidak Ada Sukses dengan Mengeluh, Hidup Harus Berjuang Tanpa Putus Asa
Senin, 18 November 2024 - 22:26 WIB
BANDUNG - Calon Gubernur (Cagub) Jawa Barat Nomor Urut 4 Dedi Mulyadi hadir sebagai keynote speaker dalam acara diskusi Kongres Muda Edisi Jawa Barat Istimewa di Armor Genuine Forest Caffe, Jalan Leuwipanjang, Kota Bandung, Senin (18/11/2024). Kegiatan yang digelar Partai Perindo bersama Menata Indonesia dan PoliticsReborn itu berlangsung seru.
Acara itu dihadiri ratusan anak muda Kota Bandung dan Jawa Barat, dari kalangan mahasiswa, pegiat komunitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga pelajar SMA. Kepada anak muda yang hadir, Kang Dedi, sapaan akrab Dedi Mulyadi berpesan agar berjuang mewujudkan cita-cita, pantang menyerah, dan kuat menghadapi tekanan.
Dalam kesempatan itu, Kang Dedi menceritakan latar belakang keluarganya. Kang Dedi lahir dari keluarga sangat sederhana. Ayah pensiunan TNI berpangkat Prajurit Kepala (Praka) dan ibu hanya mengurus rumah tangga yang memiliki sembilan anak.
"Saya membeli domba dari menjual cincin yang diperoleh saat dikhitan umur 5 tahun. Waktu itu, ibu saya bertahan membeli cincin daripada menuruti kemauan saya membeli sepeda. Kalau ibu saya mengalah, tentu saya tidak akan menjadi seperti saat ini," kata Kang Dedi.
Dari cincin itu, akhirnya membeli domba. Karena memelihara domba, setiap hari Dedi pergi ke sawah mencari belalang. Kemudian mencari rumput dan kayu bakar untuk memasak di rumah.
Saat sekolah dasar (SD), Kang Dedi tidak pakai sepatu dan seragam. Baju SD yang dikenakan pun belel. Kalau kancingnya terlepas, Kang Dedi menggantinya dengan kancing yang didapat dari mana saja. Sehingga, kancing baju seragam Kang Dedi warna warni.
"Sambil sekolah, saya jualan es yang diambil dari tetangga. Hasilnya dikumpulkan untuk biaya sekolah," ujarnya.
Masuk SMP, jarak dari rumah 10 kilometer (km), Kang Dedi membeli sepeda untuk ke sekolah dengan menjual domba. "Jadi strugle. Apakah saya minder? Tidak. Mereka pinter matematika, saya pinter ngomong. Temen saya pinter bahasa Inggris, saya pinter bahasa Sunda. Kalau ulangan bahasa Sunda saya bisa, mereka enggak bisa," tutur Kang Dedi.
Acara itu dihadiri ratusan anak muda Kota Bandung dan Jawa Barat, dari kalangan mahasiswa, pegiat komunitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga pelajar SMA. Kepada anak muda yang hadir, Kang Dedi, sapaan akrab Dedi Mulyadi berpesan agar berjuang mewujudkan cita-cita, pantang menyerah, dan kuat menghadapi tekanan.
Dalam kesempatan itu, Kang Dedi menceritakan latar belakang keluarganya. Kang Dedi lahir dari keluarga sangat sederhana. Ayah pensiunan TNI berpangkat Prajurit Kepala (Praka) dan ibu hanya mengurus rumah tangga yang memiliki sembilan anak.
"Saya membeli domba dari menjual cincin yang diperoleh saat dikhitan umur 5 tahun. Waktu itu, ibu saya bertahan membeli cincin daripada menuruti kemauan saya membeli sepeda. Kalau ibu saya mengalah, tentu saya tidak akan menjadi seperti saat ini," kata Kang Dedi.
Dari cincin itu, akhirnya membeli domba. Karena memelihara domba, setiap hari Dedi pergi ke sawah mencari belalang. Kemudian mencari rumput dan kayu bakar untuk memasak di rumah.
Saat sekolah dasar (SD), Kang Dedi tidak pakai sepatu dan seragam. Baju SD yang dikenakan pun belel. Kalau kancingnya terlepas, Kang Dedi menggantinya dengan kancing yang didapat dari mana saja. Sehingga, kancing baju seragam Kang Dedi warna warni.
"Sambil sekolah, saya jualan es yang diambil dari tetangga. Hasilnya dikumpulkan untuk biaya sekolah," ujarnya.
Masuk SMP, jarak dari rumah 10 kilometer (km), Kang Dedi membeli sepeda untuk ke sekolah dengan menjual domba. "Jadi strugle. Apakah saya minder? Tidak. Mereka pinter matematika, saya pinter ngomong. Temen saya pinter bahasa Inggris, saya pinter bahasa Sunda. Kalau ulangan bahasa Sunda saya bisa, mereka enggak bisa," tutur Kang Dedi.
tulis komentar anda