Kisah Prabu Brawijaya V Jatuh Cinta kepada Dewi Sari, Muslimah Cantik Putri Raja Cermain
Minggu, 01 September 2024 - 06:45 WIB
Di tengah gemuruh kejayaan Majapahit, Prabu Brawijaya V duduk termenung di atas singgasananya. Hatinya diliputi kegamangan yang mendalam. Sebagai pemimpin besar yang dikenal akan kekuatan dan kebijaksanaannya, kali ini ia berada di persimpangan jalan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Keputusannya tak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga membawa dampak besar bagi seluruh kerajaan.
Prabu Brawijaya V adalah seorang penganut Buddha yang taat, sama seperti banyak rakyatnya yang mengamalkan ajaran Hindu-Buddha. Namun, segalanya berubah saat ia bertemu dengan Dewi Sari, putri cantik dari Raja Cermain. Dewi Sari, dengan kerudung yang menutupi kepalanya dan tatapan lembutnya, membuat Sang Prabu jatuh hati pada pandangan pertama. Kecantikan Dewi Sari tidak hanya mempesona matanya, tetapi juga menggetarkan hatinya, seolah ada kekuatan yang tak dapat ia lawan.
Ketika Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Raja Cermain mengunjungi Majapahit untuk berdakwah, Prabu Brawijaya V dengan penuh perhatian mendengarkan penjelasan mereka tentang Islam. Namun, meskipun penjelasan mereka mendalam, pikiran Sang Prabu terus-menerus terganggu oleh bayangan Dewi Sari. Wajahnya yang anggun, langkahnya yang lembut, dan ketenangan yang terpancar dari dirinya membuat Prabu Brawijaya V sulit untuk berkonsentrasi pada ajaran baru yang disampaikan.
Dalam keheningan malam, Prabu Brawijaya V merenung. "O... Dewi Sari," bisiknya lirih. "Adakah ini yang disebut cinta sejati? Belum pernah aku merasakan perasaan sekuat ini."
Ketika pagi tiba, Prabu Brawijaya V akhirnya membuat keputusan. Di hadapan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Raja Cermain, ia menyatakan keinginannya untuk memeluk agama Islam, tetapi dengan satu syarat: Dewi Sari harus menjadi permaisurinya.
Raja Cermain dan Syaikh Maulana Malik Ibrahim saling pandang, mengetahui bahwa Prabu Brawijaya V belum sepenuhnya memahami inti dari ajaran Islam yang suci. Namun, mereka tetap menghargai keputusannya, meski ada sedikit kekecewaan. Mereka sadar bahwa dakwah Islam tidaklah selalu tentang hasil, tetapi lebih pada usaha dan niat yang tulus.
Namun, Dewi Sari menolak permintaan Sang Prabu. Dengan tegas, ia berkata, "Agama bukanlah alat tukar, dan cinta tidak seharusnya merusak kesucian keimanan. Jika Tuan ingin memeluk Islam, lakukanlah karena panggilan hati, bukan karena cinta kepada dunia."
Penolakan ini menghancurkan hati Prabu Brawijaya V. Ia merasa terpukul, tetapi juga mulai menyadari kebesaran jiwa Dewi Sari. Dalam diam, ia mulai merenungkan makna cinta dan keimanan yang sejati. Namun, sebelum ia sempat mengambil keputusan lebih lanjut, kabar duka datang dari Leran. Dewi Sari, sang pujaan hati, telah meninggal dunia karena wabah yang melanda rombongan dari Cermain.
Prabu Brawijaya V merasakan kesedihan yang mendalam. Ia memerintahkan upacara pemakaman yang megah untuk Dewi Sari di desa Leran, sebagai bentuk penghormatan terakhirnya. Setelah kepergian Dewi Sari, Prabu Brawijaya V menyerahkan daerah Gresik kepada Syaikh Maulana Malik Ibrahim, sebagai bentuk kebijaksanaan untuk menjaga perdamaian antara rakyat Majapahit yang beragam.
Prabu Brawijaya V mungkin tidak mendapatkan cinta yang ia harapkan, tetapi ia belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, melainkan tentang memahami dan menghormati. Dalam kesedihan dan kehilangan, ia menemukan makna sejati dari cinta dan iman.
Prabu Brawijaya V adalah seorang penganut Buddha yang taat, sama seperti banyak rakyatnya yang mengamalkan ajaran Hindu-Buddha. Namun, segalanya berubah saat ia bertemu dengan Dewi Sari, putri cantik dari Raja Cermain. Dewi Sari, dengan kerudung yang menutupi kepalanya dan tatapan lembutnya, membuat Sang Prabu jatuh hati pada pandangan pertama. Kecantikan Dewi Sari tidak hanya mempesona matanya, tetapi juga menggetarkan hatinya, seolah ada kekuatan yang tak dapat ia lawan.
Ketika Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Raja Cermain mengunjungi Majapahit untuk berdakwah, Prabu Brawijaya V dengan penuh perhatian mendengarkan penjelasan mereka tentang Islam. Namun, meskipun penjelasan mereka mendalam, pikiran Sang Prabu terus-menerus terganggu oleh bayangan Dewi Sari. Wajahnya yang anggun, langkahnya yang lembut, dan ketenangan yang terpancar dari dirinya membuat Prabu Brawijaya V sulit untuk berkonsentrasi pada ajaran baru yang disampaikan.
Dalam keheningan malam, Prabu Brawijaya V merenung. "O... Dewi Sari," bisiknya lirih. "Adakah ini yang disebut cinta sejati? Belum pernah aku merasakan perasaan sekuat ini."
Ketika pagi tiba, Prabu Brawijaya V akhirnya membuat keputusan. Di hadapan Syaikh Maulana Malik Ibrahim dan Raja Cermain, ia menyatakan keinginannya untuk memeluk agama Islam, tetapi dengan satu syarat: Dewi Sari harus menjadi permaisurinya.
Raja Cermain dan Syaikh Maulana Malik Ibrahim saling pandang, mengetahui bahwa Prabu Brawijaya V belum sepenuhnya memahami inti dari ajaran Islam yang suci. Namun, mereka tetap menghargai keputusannya, meski ada sedikit kekecewaan. Mereka sadar bahwa dakwah Islam tidaklah selalu tentang hasil, tetapi lebih pada usaha dan niat yang tulus.
Namun, Dewi Sari menolak permintaan Sang Prabu. Dengan tegas, ia berkata, "Agama bukanlah alat tukar, dan cinta tidak seharusnya merusak kesucian keimanan. Jika Tuan ingin memeluk Islam, lakukanlah karena panggilan hati, bukan karena cinta kepada dunia."
Penolakan ini menghancurkan hati Prabu Brawijaya V. Ia merasa terpukul, tetapi juga mulai menyadari kebesaran jiwa Dewi Sari. Dalam diam, ia mulai merenungkan makna cinta dan keimanan yang sejati. Namun, sebelum ia sempat mengambil keputusan lebih lanjut, kabar duka datang dari Leran. Dewi Sari, sang pujaan hati, telah meninggal dunia karena wabah yang melanda rombongan dari Cermain.
Prabu Brawijaya V merasakan kesedihan yang mendalam. Ia memerintahkan upacara pemakaman yang megah untuk Dewi Sari di desa Leran, sebagai bentuk penghormatan terakhirnya. Setelah kepergian Dewi Sari, Prabu Brawijaya V menyerahkan daerah Gresik kepada Syaikh Maulana Malik Ibrahim, sebagai bentuk kebijaksanaan untuk menjaga perdamaian antara rakyat Majapahit yang beragam.
Prabu Brawijaya V mungkin tidak mendapatkan cinta yang ia harapkan, tetapi ia belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, melainkan tentang memahami dan menghormati. Dalam kesedihan dan kehilangan, ia menemukan makna sejati dari cinta dan iman.
(hri)
tulis komentar anda