Sultan Jamin Sabda Raja Tak Pengaruhi Danais Yogyakarta
A
A
A
YOGYAKARTA - Sri Sultan Hamengku Bawono X menganggap keputusannya (sabda raja) yang merubah nama Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono tidak berpengaruh apapun dengan dana keistimewaan (Danais) Yogyakarta.
Sebab, keputusan tersebut bukan bersifat pemerintahan tetapi lebih ke intern keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Tidak akan ada pengaruh apapun,” kata Sultan saat di Bantul, Kamis (7/5/2015).
Menurutnya, Undang-undang Keistimewaan (UUK) lebih adalah urusan pemerintahan yaitu pemerintah Republik Indonesia melalui Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sehingga jika ada kekhawatiran dari beberapa pihak termasuk adik-adiknya bawah perubahan nama dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono akan berpengaruh.
Dia menilai kekhawatiran tersebut tidak memiliki dasar, karena dia menganggap Danais tetap bisa dicairkan dan dipertanggungjawabkan tanpa perubahan nama tersebut.
Asalkan, dana tersebut dipergunakan sesuai dengan keterangan perundang-undangan yang berlaku dan mengikuti berbagai prosedur yang telah disepakati sebelumnya. “Yo Danais masih seperti dulu. Tidak perlu khawatir,”ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sejarah, Purbakala dan Museum Dinas Kebudayaan DIY, Erlina Hidayati mengatakan, sepanjang untuk melestarikan kebudayaan yang ada di Yogyakarta, Danais tetap bisa dicairkan atau digunakan. Penggunaannya pun sudah diatur dalam UUK yang telah disahkan tahun lalu tersebut.
“Bisa untuk pemugaran benda cagar budaya atau yang pasti untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” timpalnya.
Paguyuban Dukuh Semar Sembogo berharap agar apa yang terjadi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak berpengaruh terhadap pencairan Danais.
Hanya saja mereka menilai, dana keistimewaan (Danais) selama ini tidak menyentuh masyarakat luas. Mereka menuntut Danais ikut disalurkan melalui perangkat desa.
Anggota Paguyuban Dukuh Semar Sembogo DIY dari Kabupaten Sleman Sujarko mengungkapkan selama ini, Danais yang dikucurkan pemerintah ratusan miliar untuk mendanai kegiatan dilakukan secara top down alias tidak berasal dari usulan dan kebutuhan masyarakat. Danais tersebut dinilai hanya dinikmati kalangan seniman.
"Tiba-tiba di desa ini ada kegiatan wayang kulit yang diselenggarakan kelompok seni atau pemerintah jadi top down," ujar Sujarko.
Padahal kata dia, kegiatan melestarikan budaya tidak hanya soal penampilan pentas seni. Misalnya berupa kegiatan gotong royong di setiap dusun.
Pemerintah dapat mendanai kegiatan gotong royong atau kerja bakti di masyarakat dengan danais melalui perangkat desa agar dana hasil Undang-Undang Keistimewaan (UUK) itu dapat dirasakan masyarakat luas.
Sebelumnya, GBPH Yudhoningrat mengatakan, selain berimplikasi pada kekisruhan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, apa yang dilakukan oleh Sri Sultan HB X juga berimplikasi besar terhadap dana keistimewaan.
Sebab, Danais disebutkan sesuai undang-undang harus ada pengesahan dari Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X bukan Sri Sultan Hamengku Bawono.
Jika itu tetap dilakukan, maka hal tersebut termasuk dengan korupsi karena tidak sesuai dengan Undang-undang Keistimewaan (UUK).
Implikasinya nanti danais yang telah digelontorkan harus dikembalikan. Jika itu nanti terjadi maka dia mengaku akan sangat malu, karena keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menjadi panutan masyarakat luas tersandung masalah korupsi.
“Bisa-bisa mulut dan omongan saya sudah tidak dipercaya lagi,” tandas GBPH Yudhoningrat.
Sebab, keputusan tersebut bukan bersifat pemerintahan tetapi lebih ke intern keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
“Tidak akan ada pengaruh apapun,” kata Sultan saat di Bantul, Kamis (7/5/2015).
Menurutnya, Undang-undang Keistimewaan (UUK) lebih adalah urusan pemerintahan yaitu pemerintah Republik Indonesia melalui Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sehingga jika ada kekhawatiran dari beberapa pihak termasuk adik-adiknya bawah perubahan nama dari Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawono akan berpengaruh.
Dia menilai kekhawatiran tersebut tidak memiliki dasar, karena dia menganggap Danais tetap bisa dicairkan dan dipertanggungjawabkan tanpa perubahan nama tersebut.
Asalkan, dana tersebut dipergunakan sesuai dengan keterangan perundang-undangan yang berlaku dan mengikuti berbagai prosedur yang telah disepakati sebelumnya. “Yo Danais masih seperti dulu. Tidak perlu khawatir,”ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sejarah, Purbakala dan Museum Dinas Kebudayaan DIY, Erlina Hidayati mengatakan, sepanjang untuk melestarikan kebudayaan yang ada di Yogyakarta, Danais tetap bisa dicairkan atau digunakan. Penggunaannya pun sudah diatur dalam UUK yang telah disahkan tahun lalu tersebut.
“Bisa untuk pemugaran benda cagar budaya atau yang pasti untuk melestarikan kebudayaan Jawa,” timpalnya.
Paguyuban Dukuh Semar Sembogo berharap agar apa yang terjadi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak berpengaruh terhadap pencairan Danais.
Hanya saja mereka menilai, dana keistimewaan (Danais) selama ini tidak menyentuh masyarakat luas. Mereka menuntut Danais ikut disalurkan melalui perangkat desa.
Anggota Paguyuban Dukuh Semar Sembogo DIY dari Kabupaten Sleman Sujarko mengungkapkan selama ini, Danais yang dikucurkan pemerintah ratusan miliar untuk mendanai kegiatan dilakukan secara top down alias tidak berasal dari usulan dan kebutuhan masyarakat. Danais tersebut dinilai hanya dinikmati kalangan seniman.
"Tiba-tiba di desa ini ada kegiatan wayang kulit yang diselenggarakan kelompok seni atau pemerintah jadi top down," ujar Sujarko.
Padahal kata dia, kegiatan melestarikan budaya tidak hanya soal penampilan pentas seni. Misalnya berupa kegiatan gotong royong di setiap dusun.
Pemerintah dapat mendanai kegiatan gotong royong atau kerja bakti di masyarakat dengan danais melalui perangkat desa agar dana hasil Undang-Undang Keistimewaan (UUK) itu dapat dirasakan masyarakat luas.
Sebelumnya, GBPH Yudhoningrat mengatakan, selain berimplikasi pada kekisruhan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, apa yang dilakukan oleh Sri Sultan HB X juga berimplikasi besar terhadap dana keistimewaan.
Sebab, Danais disebutkan sesuai undang-undang harus ada pengesahan dari Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X bukan Sri Sultan Hamengku Bawono.
Jika itu tetap dilakukan, maka hal tersebut termasuk dengan korupsi karena tidak sesuai dengan Undang-undang Keistimewaan (UUK).
Implikasinya nanti danais yang telah digelontorkan harus dikembalikan. Jika itu nanti terjadi maka dia mengaku akan sangat malu, karena keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menjadi panutan masyarakat luas tersandung masalah korupsi.
“Bisa-bisa mulut dan omongan saya sudah tidak dipercaya lagi,” tandas GBPH Yudhoningrat.
(sms)