Kami Hanya Ingin Mendapat Perlakuan Sama
A
A
A
SEMARANG - Menjalani hidup sebagai minoritas memang tidak mudah. Untuk memperoleh eksistensi, mereka harus berjuang keras dan siap menghadapi berbagai macam benturan dalam hidup, termasuk stigma negatif masyarakat.
Itulah yang dirasakan anggota Komunitas Perkumpulan Waria Semarang (Perwaris). Selama ini mereka terus berjuang melawan stigma negatif masyarakat terhadap waria. “Stigma negatif masyarakat terhadap waria sudah terjadi sejak zaman batu. Sampai sekarang pun masih banyak masyarakat yang memandang kami sebelah mata,” kata Ketua Komunitas Perwaris Silvy Yudi Mutiari kepada KORAN SINDO kemarin.
Hal itulah yang menjadi salah satu alasan didirikannya komunitas Perwaris di Kota Semarang, 2 Mei 2008. Dengan begitu, anggota Perwaris dapat bersatu berjuang mendapatkan pengakuan dari masyarakat. “Yang selama ini kami perjuangkan adalah pengakuan dari masyarakat bahwa kami waria adalah bagian dari mereka. Untuk itu, kami memiliki hak dan kewajiban yang sama dan kami tidak ingin diistime wakan oleh masyarakat seperti yang terjadi selama ini,” kata waria kelahiran Semarang, 16 Agustus 1980 ini.
Menjadi seorang waria bukanlah pilihan. Dari 130 anggota Perwaris, alasan menjadi waria karena bentuk ekspresi dari mereka. “Kami tidak pernah memilih untuk jadi seperti ini, ini adalah ekspresi kami yang merasa bahwa jiwa kami terperangkap dalam fisik yang salah,” ujar Silvy. Sayangnya, hal itu tidak dapat diterima oleh masyarakat. Mereka menganggap bahwa jalan hidup yang dijalani kaum waria saat ini salah.
“Untuk itu, keberadaan komunitas Perwaris ini juga sebagai media untuk meluruskan anggapan masyarakat itu. Pada kenyataannya inilah jalan hidup kami. Yang kami inginkan adalah marilah bersama-sama saling menghargai keberagaman dan perbedaan,” tandasnya.
Selain menjadi tempat berjuang bareng kaum waria memperoleh pengakuan, komunitas Perwaris juga selalu menjadi tempat bagi anggotanya menghadapi berbagai masalah. Di komunitas itu pula berbagai kegiatan untuk perlindungan dan pendampingan waria dilakukan.
“Kami rutin melakukan penyuluhan dan pendampingan kepada waria yang mengidap penyakit HIV/AIDS serta selalu melakukan pemeriksaan rutin tentang HIV/AIDS. Selain itu, kami juga melakukan berbagai kegiatan untuk mendorong bakat minat anggota seperti pelatihan keyboard, pelatihan bahasa asing, pelatihan menari, salon, dan sebagainya. Diharapkan dengan pelatihan-pelatihan itu anggota dapat mandiri dalam ekonomi,” papar Silvy.
Pembina komunitas Perwaris Semarang Vivi Hariyudha mengatakan, selama ini waria selalu dipandang sebelah mata. Untuk itu, dia selalu berpesan kepada teman-teman anggota Perwaris agar melakukan berbagai hal positif untuk mengubah stigma negatif itu.
“Saya selalu mengingatkan agar mereka terus berkarya dengan kemampuan dan potensi masing-masing. Buktikan bahwa waria juga dapat berprestasi. Sehingga nantinya stigma negatif masyarakat dapat terkikis dan menghilangkan diskriminasi yang selama ini terjadi,” ucapnya.
Andika Prabowo
Itulah yang dirasakan anggota Komunitas Perkumpulan Waria Semarang (Perwaris). Selama ini mereka terus berjuang melawan stigma negatif masyarakat terhadap waria. “Stigma negatif masyarakat terhadap waria sudah terjadi sejak zaman batu. Sampai sekarang pun masih banyak masyarakat yang memandang kami sebelah mata,” kata Ketua Komunitas Perwaris Silvy Yudi Mutiari kepada KORAN SINDO kemarin.
Hal itulah yang menjadi salah satu alasan didirikannya komunitas Perwaris di Kota Semarang, 2 Mei 2008. Dengan begitu, anggota Perwaris dapat bersatu berjuang mendapatkan pengakuan dari masyarakat. “Yang selama ini kami perjuangkan adalah pengakuan dari masyarakat bahwa kami waria adalah bagian dari mereka. Untuk itu, kami memiliki hak dan kewajiban yang sama dan kami tidak ingin diistime wakan oleh masyarakat seperti yang terjadi selama ini,” kata waria kelahiran Semarang, 16 Agustus 1980 ini.
Menjadi seorang waria bukanlah pilihan. Dari 130 anggota Perwaris, alasan menjadi waria karena bentuk ekspresi dari mereka. “Kami tidak pernah memilih untuk jadi seperti ini, ini adalah ekspresi kami yang merasa bahwa jiwa kami terperangkap dalam fisik yang salah,” ujar Silvy. Sayangnya, hal itu tidak dapat diterima oleh masyarakat. Mereka menganggap bahwa jalan hidup yang dijalani kaum waria saat ini salah.
“Untuk itu, keberadaan komunitas Perwaris ini juga sebagai media untuk meluruskan anggapan masyarakat itu. Pada kenyataannya inilah jalan hidup kami. Yang kami inginkan adalah marilah bersama-sama saling menghargai keberagaman dan perbedaan,” tandasnya.
Selain menjadi tempat berjuang bareng kaum waria memperoleh pengakuan, komunitas Perwaris juga selalu menjadi tempat bagi anggotanya menghadapi berbagai masalah. Di komunitas itu pula berbagai kegiatan untuk perlindungan dan pendampingan waria dilakukan.
“Kami rutin melakukan penyuluhan dan pendampingan kepada waria yang mengidap penyakit HIV/AIDS serta selalu melakukan pemeriksaan rutin tentang HIV/AIDS. Selain itu, kami juga melakukan berbagai kegiatan untuk mendorong bakat minat anggota seperti pelatihan keyboard, pelatihan bahasa asing, pelatihan menari, salon, dan sebagainya. Diharapkan dengan pelatihan-pelatihan itu anggota dapat mandiri dalam ekonomi,” papar Silvy.
Pembina komunitas Perwaris Semarang Vivi Hariyudha mengatakan, selama ini waria selalu dipandang sebelah mata. Untuk itu, dia selalu berpesan kepada teman-teman anggota Perwaris agar melakukan berbagai hal positif untuk mengubah stigma negatif itu.
“Saya selalu mengingatkan agar mereka terus berkarya dengan kemampuan dan potensi masing-masing. Buktikan bahwa waria juga dapat berprestasi. Sehingga nantinya stigma negatif masyarakat dapat terkikis dan menghilangkan diskriminasi yang selama ini terjadi,” ucapnya.
Andika Prabowo
(ftr)