Pantang Terapkan Pola Jarkoni, Memasak Sendiri Jadi Pilihan
A
A
A
Prof Ida Yustina selaku guru besar di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara (FKM USU) bukanlah penganut jarkonialias iso ngajari, ora iso ngalakoni(bisa mengajari, tapi tidak bisa mempraktikkan).
Sebaliknya, Prof Ida selain mengajarkan tentang pola hidup dan makan sehat kepada para mahasiswanya, juga menerapkan pola hidup dan makanan sehat di rumahnya setiap hari. Di rumah, sebagai ibu rumah tangga, Prof Ida Yustina lebih memilih untuk memasak dengan menggunakan bumbu penyedap masak dengan bahan alami, tanpa menggunakan penyedap rasa buatan.
“Saya lebih memilih membuat bumbu masakan sendiri tanpa menggunakan penyedap rasa buatan pabrik. Jadi, semua bumbunya benar-benar alami. Saya juga sangat tegas dalam mendidik kedua anak saya untuk tidak terbiasa membeli makanan di luar. Karena saya selalu mengupayakan untuk memasak setiap hari di rumah,” paparnya kepada KORAN SINDO MEDAN, Jumat (17/04).
Alhasil kedua anaknya jarang sakit. “Jadi, ketika salah seorang anak saya tiba-tiba sakit perut dan sebagainya, saya bisa menebak bahwa dia telah membeli makanan di luar dan itu benar Ketika saya menanyakan hal itu kepada anak saya. Mungkin perutnya tidak bisa menerima ketika dia memakan dengan menggunakan bumbu penyedap rasa buatan pabrik, karena perutnya sudah terbiasa menerima makanan yang alami,” jelasnya.
Untuk melengkapi pola makan sehat di keluarganya, Prof Ida Yustina juga lebih memilih membeli sayursayuran organik. Walau harganya lebih mahal dua kali lipat dibandingkan dengan harga sayursayuran nonorganik, manfaatnya jauh lebih besar.Namun sayang, baru sedikit masyarakat yang menyadari manfaat sayursayuran organik dan dampak bahaya dari sayur-sayuran nonorganik.
Selama ini, hanya kelompok masyarakat tertentu saja yang memanfaatkan sayuran organik. Ada kelompok masyarakat yang sadar akan manfaat sayuran organik itu, namun tidak mempunyai daya beli. Ada juga masyarakat yang tidak sadar terhadap manfaat sayuran organik namun memiliki daya beli. “Bayangkan saja, bila memakan sayuran nonorganik yang sering disemprot dengan pestisida, berbahan kimia, ditambah lagi dengan menggunakan penyedap rasa buatan pabrik yang mengandung bahan pengawet.
Maka kinerja organ tubuh kita akan lebih mudah melemah. Itulah sebabnya banyak penderita kanker usus di usia muda. Padahal, kanker usus itu bisa menyebabkan kematian,” jelasnya. Parahnya lagi, Prof Ida Yustina menambahkan tren masyarakat saat ini suka mengajak keluarganya untuk makan di restoran cepat saji.
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa restoran cepat saji menunjukkan modernitas dan bergengsi. “Belum lagi makanan dari restoran cepat saji. Masyarakat beranggapan dengan memakan di restoran cepat saji itu menunjukkan status sosialnya. Padahal itulah yang cepat merusak derajat kesehatan.
Saya heran masyarakat malah suka dengan simbol-simbol Amerika yang mendominasi restoran cepat saji. Kondisi itu bertolak belakang dengan negara- negara di timur tengah seperti Yordania, Israel, Mesir. Kebetulan saya pernah berkunjung ke negara-negara itu. Jarang sekali saya menemukan restoran cepat saji di negara-negara itu, karena masyarakatnya mengutamakan makanan lokal. Masyarakat kita malah kebablasan.
Padahal, ada banyak makanan lokal yang bergizi seperti daun ubi tumbuk dan lainnya,” paparnya. Begitu juga dengan pola hidup sehat, Prof Ida Yustina mengungkapkan bahwa dia sangat memusuhi rokok. Itu pun diterapkannya di rumah tangganya, sehingga kedua anak lelakinya yang sudah beranjak dewasa dan suaminya tidak merokok.“Asap rokok itu sangat berdampak bagi orang yang tidak merokok,” pungkasnya.
Dicky Irawan
Kota Medan
Sebaliknya, Prof Ida selain mengajarkan tentang pola hidup dan makan sehat kepada para mahasiswanya, juga menerapkan pola hidup dan makanan sehat di rumahnya setiap hari. Di rumah, sebagai ibu rumah tangga, Prof Ida Yustina lebih memilih untuk memasak dengan menggunakan bumbu penyedap masak dengan bahan alami, tanpa menggunakan penyedap rasa buatan.
“Saya lebih memilih membuat bumbu masakan sendiri tanpa menggunakan penyedap rasa buatan pabrik. Jadi, semua bumbunya benar-benar alami. Saya juga sangat tegas dalam mendidik kedua anak saya untuk tidak terbiasa membeli makanan di luar. Karena saya selalu mengupayakan untuk memasak setiap hari di rumah,” paparnya kepada KORAN SINDO MEDAN, Jumat (17/04).
Alhasil kedua anaknya jarang sakit. “Jadi, ketika salah seorang anak saya tiba-tiba sakit perut dan sebagainya, saya bisa menebak bahwa dia telah membeli makanan di luar dan itu benar Ketika saya menanyakan hal itu kepada anak saya. Mungkin perutnya tidak bisa menerima ketika dia memakan dengan menggunakan bumbu penyedap rasa buatan pabrik, karena perutnya sudah terbiasa menerima makanan yang alami,” jelasnya.
Untuk melengkapi pola makan sehat di keluarganya, Prof Ida Yustina juga lebih memilih membeli sayursayuran organik. Walau harganya lebih mahal dua kali lipat dibandingkan dengan harga sayursayuran nonorganik, manfaatnya jauh lebih besar.Namun sayang, baru sedikit masyarakat yang menyadari manfaat sayursayuran organik dan dampak bahaya dari sayur-sayuran nonorganik.
Selama ini, hanya kelompok masyarakat tertentu saja yang memanfaatkan sayuran organik. Ada kelompok masyarakat yang sadar akan manfaat sayuran organik itu, namun tidak mempunyai daya beli. Ada juga masyarakat yang tidak sadar terhadap manfaat sayuran organik namun memiliki daya beli. “Bayangkan saja, bila memakan sayuran nonorganik yang sering disemprot dengan pestisida, berbahan kimia, ditambah lagi dengan menggunakan penyedap rasa buatan pabrik yang mengandung bahan pengawet.
Maka kinerja organ tubuh kita akan lebih mudah melemah. Itulah sebabnya banyak penderita kanker usus di usia muda. Padahal, kanker usus itu bisa menyebabkan kematian,” jelasnya. Parahnya lagi, Prof Ida Yustina menambahkan tren masyarakat saat ini suka mengajak keluarganya untuk makan di restoran cepat saji.
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa restoran cepat saji menunjukkan modernitas dan bergengsi. “Belum lagi makanan dari restoran cepat saji. Masyarakat beranggapan dengan memakan di restoran cepat saji itu menunjukkan status sosialnya. Padahal itulah yang cepat merusak derajat kesehatan.
Saya heran masyarakat malah suka dengan simbol-simbol Amerika yang mendominasi restoran cepat saji. Kondisi itu bertolak belakang dengan negara- negara di timur tengah seperti Yordania, Israel, Mesir. Kebetulan saya pernah berkunjung ke negara-negara itu. Jarang sekali saya menemukan restoran cepat saji di negara-negara itu, karena masyarakatnya mengutamakan makanan lokal. Masyarakat kita malah kebablasan.
Padahal, ada banyak makanan lokal yang bergizi seperti daun ubi tumbuk dan lainnya,” paparnya. Begitu juga dengan pola hidup sehat, Prof Ida Yustina mengungkapkan bahwa dia sangat memusuhi rokok. Itu pun diterapkannya di rumah tangganya, sehingga kedua anak lelakinya yang sudah beranjak dewasa dan suaminya tidak merokok.“Asap rokok itu sangat berdampak bagi orang yang tidak merokok,” pungkasnya.
Dicky Irawan
Kota Medan
(bbg)