Jejak Perlawanan Multatuli di Kebon Sayur
A
A
A
Wilayah Maimun menyimpan banyak riwayat tentang perkembangan dan kemajuan awal Tanah Deli menjadi Kota Medan yang metropolitan.
Istana Maimun, kita sematkan sebagai sebuah mahakarya sejarah yang masih bisa disaksikan. Tapi tahukah Anda, di belakang istana itu, ada sebuah kawasan bernama Kebon Sayur atau lebih tenar dengan sebutan Multatuli sebagai salah satu sisa jejak perlawanan kolonialisme Belanda. Dalam memoarnya berjudul “Emak”, Daoed Joeseof, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menceritakan kehebatan ibunda dan kehidupan masa kecilnya di Kota Medan tempo dulu.
Dituliskan, Daoed pernah diajak pamannya ke kawasan Kebon Sayur yang kini lebih dikenal sebagai kawasan Multatuli. Di sana, sang paman, yang seorang aktivis pergerakan, ingin menunjukkan kepada Daoed bahwa ada seseorang dengan nama Multatuli menulis buku tentang ketidakadilan yang dilakukan Belanda di Hindia Belanda-nama Indonesia kala itu-. Multatuli sendiri seorang Belanda.
Saidjah dan Adinda adalah dua tokoh yang diangkat Multatuli dalam karya sastranya, sebagai orang yang mengalami ketidakadilan itu. Saidjah dan Adinda dia tulis saat menyaksikan ketidakadilan ketika dirinya bertugas di Lebak, Banten.
Kata Pakcik Daoed, Multatuli mendapat simpati dari kalangan orang Indonesia, begitu juga sebagian Belanda. “Buktinya namanya (Multatuli) diabadikan sebagai nama jalan di mana banyak orang Belanda yang tinggal di kawasan itu,” kata Pakcik Daoed, seperti ditulis dalam buku “Emak”.
Nama jalan itu masih dipakai sampai sekarang. Jalan Multatuli berada di Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun. Sebagian besar masyarakat setempat masih menamakan kawasan ini sebagai Kebon Sayur (Bonsay).
Selain Multatuli, Saijah juga dijadikan nama jalan. Letaknya tepat berada di belakang perkantoran PTPN IV, di seberang Jalan Multatuli. Lalu siapakah Multatuli, bagi pegiat sejarah dan sastra, nama ini bukanlah asing. Multatuli memiliki nama asli Eduard Douwes Dekker. Dia lahir pada 2 Februari 1820 di Amsterdam, Belanda.
Multatuli diambil dari bahasa latin, bahasa yang ditekuni Dekker ini yang berarti banyak yang telah kupikul (Viel Habe Ich Getragen ). Nama Multatuli dia pakai sebagai nama pena, dalam melahirkan karya sastranya, yang disebut Pramoedya Ananta Toer, sebagai pembunuh kolonialisme. Ketika Dekker berusia 18 tahun, dia diangkat sebagai pegawai administrasi bagian juru tulis di Batavia.
Selanjutnya dia bertugas di Sumatera (Natal), Sulawesi, dan Maluku. Pada 1856, dia ditempatkan di Banten, Jawa Barat. Di sini dia menyaksikan sendiri sistem kerja paksa. Petani semakin miskin, kelaparan di mana-mana. Hal yang menyebalkan dirinya, kesewenangan para bangsawan Jawa yang bersekongkol dengan penjajah Belanda. Akibat kolaborasi kaum bangsawan sendiri dan penjajah itu, petani yang menderita.
Multatuli melihat ketidakadilan itu, lalu dia melayangkan surat protes kepada gubernur jenderal. Protes Multatuli justru menjadi bumerang. Dia tidak boleh menentang kekuasaan. Ujungnya pada 1857 dia dibuang ke Eropa. Untuk tinggal di negerinya sendiri juga tidak mungkin. Sejak 1860, sebagian besar hidupnya sampai meninggalnya berada di Jerman.
Sejumlah ketidakadilan ini kemudian ditulis Multatuli dalam sejumlah karyanya. Lantas, bagaimana relasi Kebon Sayur dengan Multatuli? Dari sejumlah warga setempat yang ditemui, mereka sendiri kurang tahu bagaimana penamaan Kebon Sayur dan Multatuli bermula. “Dari dulu sebutannya memang Kebon Sayur, ya Multatuli juga. Saya kurang tahu persis. Dulu (zaman penjajahan Belanda) banyak orang Banten yang tinggal di sini. Kakek buyut (kakek dari ayah) saya salah satunya,” kata Suryadi 60, warga setempat.
Diakui, karya-karya Multatuli kala itu seperti Max Havelaar atau Saidjah dan Adinda, menggemparkan Kerajaan Belanda. “Tulisan itu bentuk perlawanan atas penindasan masyarakat Indonesia oleh Belanda,” kata sejarawan Universitas Sumatera Utara (USU), Budi Agustono.
Menurut Budi, Kebon Sayur merupakan istilah yang dikembangkan kolonial Belanda untuk penamaan sebuah kawasan yang banyak didiami buruh Tionghoa yang datang ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. “Itu merupakan istilah bangsa Belanda. Banyak buruh-buruh migran Cina yang tinggal di sekitar perkebunan milik Belanda. Ketika habis kontrak kerja, mereka biasanya menanam sayur,” ungkapnya.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya USU ini, lazimnya mereka mengusahakan tanah-tanah bekas kebun tembakau, yang didapatkan dari kalangan Melayu (Kesultanan) untuk menanam sayur. “Bekas lahan tembakau diistirahatkan, tidak bisa ditanam tembakau terus. Makanya, ada istilah Kebon Sayur di banyak tempat di Indonesia, bukan hanya di Medan,” ucapnya.
Budi Agustono punya dua pendapat soal penyebutan dan penamaan Jalan Multatuli. Pertama , dia sepakat dengan Daoed Joesoef yang menyebutkan penamaan Multatuli di kawasan itu karena apresiasi terhadap perjuangan dan karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), pada masa kolonial Belanda.
“Di kawasan itu dulu memang jadi wilayah tempat tinggal orang-orang Belanda. Mungkin itu yang memicu penamaan Multatuli karena memang karyanya terkenal di Belanda maupun di Hindia Belanda (Indonesia),” ujarnya.
Kekuasaan kolonial memang sengaja menempatkan permukiman berdasarkan garis etnik. “Supaya mudah dikontrol. Bukan kita yang buat itu, tapi penjajah. Makanya kita masuk dengar ada Kampung Madras, Kampung Jawa, Kampung Karo,” ucapnya.
Kedua , ketika perkebunan dibuka, banyak pekerja yang datang ke Sumatera Timur. Saat itu orang Karo, Simalungun, Melayu, menolak kerja di kebun. Buruh Tionghoa kemudian mendominasi, memunculkan kekhawatiran ketidakstabilan politik di perkebunan.
“Kemudian buruh China dikurangi. Masuklah pekerja kebun dari Bawean, Jawa Timur; dan Banten ke sini. Kawasan Kebon Sayur Multatuli itu bisa jadi salah satu tempat bermukimnya buruh Banten di masa lalu,” ucapnya.
Banyaknya orang Banten di sana, mungkin juga membawa cerita tentang kemasyhuran tulisan Multatuli tentang Saidjah dan Adinda yang memang berlatar belakang kehidupan di Banten. Argumentasi ini dikuatkan dengan adanya nama Jalan Saijah di belakang Kantor PTPN IV. “Bisa jadi juga seperti itu. Tapi yang jelas, kehidupan di Kebon Sayur itu keras. Sebab, penindasan-penindasan ala kolonial terjadi di sana. Multatuli yang menuliskan itu agar dunia tahu kejamnya kolonialisme, meskipun dia menerima akibatnya,” ujarnya.
Gambaran yang diekspresikan Multatuli dalam tulisannya, pernah juga ditulis oleh Van Der Bran. Dia juga menulis penindasan Belanda terhadap pekerja perkebunan Sumatera Timur. Dalam bahasa Indonesia, buku itu berjudul “Jutawan Dari Deli”. “Dia menulis bagaimana buruh dilakukan semena-mena di Tanah Deli. Dia pun dipulangkan ke Belanda. Kurang lebih sama, menggemparkannya dengan tulisan Multatuli, hanya locus (tempat kejadian) saja yang berbeda,” ujarnya.
Kini, Kebon Sayur memang kalah tenar dibanding sebutan Multatuli. Lambat laun, wilayah Kebon Sayur mengecil. Menurut Dody, 45, warga setempat, jika dulu (tahun 1990-an) Kebon Sayur meliputi Lorong I - Lorong XI, kini tinggal Lorong III - Lorong VIII. “Sisanya sudah hilang berganti ruko,” ucapnya.
Tapi bagi yang sejak dulu tinggal di sana, istilah Kebon Sayur tidak akan pernah hilang. Dengan banyaknya ruko di sana, kawasan Kebon Sayur adalah wilayah padat penduduk yang rentan dan selalu banjir jika Sungai Deli meluap. “Tapi kami bahagia di sini,” tandas Dody.
Fakhrur rozi
Istana Maimun, kita sematkan sebagai sebuah mahakarya sejarah yang masih bisa disaksikan. Tapi tahukah Anda, di belakang istana itu, ada sebuah kawasan bernama Kebon Sayur atau lebih tenar dengan sebutan Multatuli sebagai salah satu sisa jejak perlawanan kolonialisme Belanda. Dalam memoarnya berjudul “Emak”, Daoed Joeseof, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menceritakan kehebatan ibunda dan kehidupan masa kecilnya di Kota Medan tempo dulu.
Dituliskan, Daoed pernah diajak pamannya ke kawasan Kebon Sayur yang kini lebih dikenal sebagai kawasan Multatuli. Di sana, sang paman, yang seorang aktivis pergerakan, ingin menunjukkan kepada Daoed bahwa ada seseorang dengan nama Multatuli menulis buku tentang ketidakadilan yang dilakukan Belanda di Hindia Belanda-nama Indonesia kala itu-. Multatuli sendiri seorang Belanda.
Saidjah dan Adinda adalah dua tokoh yang diangkat Multatuli dalam karya sastranya, sebagai orang yang mengalami ketidakadilan itu. Saidjah dan Adinda dia tulis saat menyaksikan ketidakadilan ketika dirinya bertugas di Lebak, Banten.
Kata Pakcik Daoed, Multatuli mendapat simpati dari kalangan orang Indonesia, begitu juga sebagian Belanda. “Buktinya namanya (Multatuli) diabadikan sebagai nama jalan di mana banyak orang Belanda yang tinggal di kawasan itu,” kata Pakcik Daoed, seperti ditulis dalam buku “Emak”.
Nama jalan itu masih dipakai sampai sekarang. Jalan Multatuli berada di Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun. Sebagian besar masyarakat setempat masih menamakan kawasan ini sebagai Kebon Sayur (Bonsay).
Selain Multatuli, Saijah juga dijadikan nama jalan. Letaknya tepat berada di belakang perkantoran PTPN IV, di seberang Jalan Multatuli. Lalu siapakah Multatuli, bagi pegiat sejarah dan sastra, nama ini bukanlah asing. Multatuli memiliki nama asli Eduard Douwes Dekker. Dia lahir pada 2 Februari 1820 di Amsterdam, Belanda.
Multatuli diambil dari bahasa latin, bahasa yang ditekuni Dekker ini yang berarti banyak yang telah kupikul (Viel Habe Ich Getragen ). Nama Multatuli dia pakai sebagai nama pena, dalam melahirkan karya sastranya, yang disebut Pramoedya Ananta Toer, sebagai pembunuh kolonialisme. Ketika Dekker berusia 18 tahun, dia diangkat sebagai pegawai administrasi bagian juru tulis di Batavia.
Selanjutnya dia bertugas di Sumatera (Natal), Sulawesi, dan Maluku. Pada 1856, dia ditempatkan di Banten, Jawa Barat. Di sini dia menyaksikan sendiri sistem kerja paksa. Petani semakin miskin, kelaparan di mana-mana. Hal yang menyebalkan dirinya, kesewenangan para bangsawan Jawa yang bersekongkol dengan penjajah Belanda. Akibat kolaborasi kaum bangsawan sendiri dan penjajah itu, petani yang menderita.
Multatuli melihat ketidakadilan itu, lalu dia melayangkan surat protes kepada gubernur jenderal. Protes Multatuli justru menjadi bumerang. Dia tidak boleh menentang kekuasaan. Ujungnya pada 1857 dia dibuang ke Eropa. Untuk tinggal di negerinya sendiri juga tidak mungkin. Sejak 1860, sebagian besar hidupnya sampai meninggalnya berada di Jerman.
Sejumlah ketidakadilan ini kemudian ditulis Multatuli dalam sejumlah karyanya. Lantas, bagaimana relasi Kebon Sayur dengan Multatuli? Dari sejumlah warga setempat yang ditemui, mereka sendiri kurang tahu bagaimana penamaan Kebon Sayur dan Multatuli bermula. “Dari dulu sebutannya memang Kebon Sayur, ya Multatuli juga. Saya kurang tahu persis. Dulu (zaman penjajahan Belanda) banyak orang Banten yang tinggal di sini. Kakek buyut (kakek dari ayah) saya salah satunya,” kata Suryadi 60, warga setempat.
Diakui, karya-karya Multatuli kala itu seperti Max Havelaar atau Saidjah dan Adinda, menggemparkan Kerajaan Belanda. “Tulisan itu bentuk perlawanan atas penindasan masyarakat Indonesia oleh Belanda,” kata sejarawan Universitas Sumatera Utara (USU), Budi Agustono.
Menurut Budi, Kebon Sayur merupakan istilah yang dikembangkan kolonial Belanda untuk penamaan sebuah kawasan yang banyak didiami buruh Tionghoa yang datang ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. “Itu merupakan istilah bangsa Belanda. Banyak buruh-buruh migran Cina yang tinggal di sekitar perkebunan milik Belanda. Ketika habis kontrak kerja, mereka biasanya menanam sayur,” ungkapnya.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya USU ini, lazimnya mereka mengusahakan tanah-tanah bekas kebun tembakau, yang didapatkan dari kalangan Melayu (Kesultanan) untuk menanam sayur. “Bekas lahan tembakau diistirahatkan, tidak bisa ditanam tembakau terus. Makanya, ada istilah Kebon Sayur di banyak tempat di Indonesia, bukan hanya di Medan,” ucapnya.
Budi Agustono punya dua pendapat soal penyebutan dan penamaan Jalan Multatuli. Pertama , dia sepakat dengan Daoed Joesoef yang menyebutkan penamaan Multatuli di kawasan itu karena apresiasi terhadap perjuangan dan karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker), pada masa kolonial Belanda.
“Di kawasan itu dulu memang jadi wilayah tempat tinggal orang-orang Belanda. Mungkin itu yang memicu penamaan Multatuli karena memang karyanya terkenal di Belanda maupun di Hindia Belanda (Indonesia),” ujarnya.
Kekuasaan kolonial memang sengaja menempatkan permukiman berdasarkan garis etnik. “Supaya mudah dikontrol. Bukan kita yang buat itu, tapi penjajah. Makanya kita masuk dengar ada Kampung Madras, Kampung Jawa, Kampung Karo,” ucapnya.
Kedua , ketika perkebunan dibuka, banyak pekerja yang datang ke Sumatera Timur. Saat itu orang Karo, Simalungun, Melayu, menolak kerja di kebun. Buruh Tionghoa kemudian mendominasi, memunculkan kekhawatiran ketidakstabilan politik di perkebunan.
“Kemudian buruh China dikurangi. Masuklah pekerja kebun dari Bawean, Jawa Timur; dan Banten ke sini. Kawasan Kebon Sayur Multatuli itu bisa jadi salah satu tempat bermukimnya buruh Banten di masa lalu,” ucapnya.
Banyaknya orang Banten di sana, mungkin juga membawa cerita tentang kemasyhuran tulisan Multatuli tentang Saidjah dan Adinda yang memang berlatar belakang kehidupan di Banten. Argumentasi ini dikuatkan dengan adanya nama Jalan Saijah di belakang Kantor PTPN IV. “Bisa jadi juga seperti itu. Tapi yang jelas, kehidupan di Kebon Sayur itu keras. Sebab, penindasan-penindasan ala kolonial terjadi di sana. Multatuli yang menuliskan itu agar dunia tahu kejamnya kolonialisme, meskipun dia menerima akibatnya,” ujarnya.
Gambaran yang diekspresikan Multatuli dalam tulisannya, pernah juga ditulis oleh Van Der Bran. Dia juga menulis penindasan Belanda terhadap pekerja perkebunan Sumatera Timur. Dalam bahasa Indonesia, buku itu berjudul “Jutawan Dari Deli”. “Dia menulis bagaimana buruh dilakukan semena-mena di Tanah Deli. Dia pun dipulangkan ke Belanda. Kurang lebih sama, menggemparkannya dengan tulisan Multatuli, hanya locus (tempat kejadian) saja yang berbeda,” ujarnya.
Kini, Kebon Sayur memang kalah tenar dibanding sebutan Multatuli. Lambat laun, wilayah Kebon Sayur mengecil. Menurut Dody, 45, warga setempat, jika dulu (tahun 1990-an) Kebon Sayur meliputi Lorong I - Lorong XI, kini tinggal Lorong III - Lorong VIII. “Sisanya sudah hilang berganti ruko,” ucapnya.
Tapi bagi yang sejak dulu tinggal di sana, istilah Kebon Sayur tidak akan pernah hilang. Dengan banyaknya ruko di sana, kawasan Kebon Sayur adalah wilayah padat penduduk yang rentan dan selalu banjir jika Sungai Deli meluap. “Tapi kami bahagia di sini,” tandas Dody.
Fakhrur rozi
(ftr)