Teh Asli Sumut, Riwayatmu Kini
A
A
A
Sejatinya tradisi minum teh pamornya tidak kalah dengan budaya minum kopi. Baik di kediaman masing-masing, di rumah-rumah makan, hingga di perkantoran ataupun sekolah, sering dapat dilihat masyarakat menyeruput teh hangat.
Tradisi lama yang kini ngetrend lagi, membuat sejumlah pengusaha membuka rumahrumah teh di setiap sudut kota. Namun, dari sejumlah rumah teh yang ada, belum ada rumah teh yangkhususmenyajikantehkhas asal Sumatera Utara (Sumut). Padahal, jika ditelusuri lebih dalam lagi.
Sumatera Utara memiliki teh khasnya sendiri. Siapa yang tidak mengenal perkebunan teh Sidamanik milik PT Perkebunan Nusantara IV. Perkebunan dengan luas areal HGU2.243 hektare (ha) yang sekaligus menjadi salah satu tujuan objek wisata bagi masyarakat Sumut. Namun sayangnya seiring waktu luas areal perkebunan teh menyusut.
Humas PTPN 1V, Syahrul Aman Siregar mengatakan, konsumsi masyarakat terhadap teh khas Sumut masih sangat minim. Hal itu, dikarenakan sudah banyak yang beralih mengonsumsi kopi. Tidak hanya itu, berkurangnya luas lahan tanam juga dikarenakan harga jual teh tidak bisa melebih dari harga pokok. “Saat ini, harga jualnya hanya USD1,2 sen sampai USD1,3 sen per kilonya.
Belum mendukung untuk menutupi harga pokok. Harusnya, untuk menutupi harga pokok dan mendapat margin, minimal harga jual yang diharapkan USD2,3 sen per kilonya. Kondisi seperti ini terjadi sejak tahun 2014 sampai sekarang,” katanya. Namun, bagi pecinta teh khas Sumut, jangan khawatir. Karena, meskipun luas tanamnya berkurang, PTPN IV tetap mempertahankan komoditas teh melalui replanting terhadap teh yang telah berumur lebih besar 50 tahun.
Selain itu melakukan tanaman teh dengan klon unggul. Dengan harapan produksi tinggi, mutu bagus, tahan terhadap iklim, responsip terhadap pupuk dan lainlain. Ekonom M Ishak menuturkan, potensi teh Sumut sebenarnya tidak kalah dibanding dengan teh dari Tiongkok. Namun, lantaran indikasi ekspor tinggi, otomatis produksi-produksi yang tidak memenuhi kriteria dipasarkan di lokal.
Sehingga teh-teh yang beredar di pasar Sumut adalah teh dengan kualitas rendah. Sayangnya, in-dikasi serupa tidak berlaku pada saat impor dilakukan, tidak digunakan standar tinggi seperti dilakukan di pasar dunia. Menurut Ishak, kondisi ini terjadi lantaran manajemen ekonomi makro kita tidak tertata secara baik. Pasar tidak didukung pemerintah maupun swasta.
Padahal semestinya, swasta dan pemerintah harus mampu membuat rangsangan untuk meningkatkan perkebunan lokal. Sehingga produk berkualitas yang dihasilkan, bisa memenuhi permintaan pasar luar negeri dan memberikan produk berkualitas juga di dalam negeri.
“Kalau saya lihat sekarang, potensi teh akan semakin lebih baik dibanding kopi yang mengandung kafein tinggi. Lantaran orang sudah mulai cenderung minum teh dibanding kopi. Karena kini orang sudah lebih peduli kepada kesehatan,” terangnya.
Lia anggia nasution/ siti amelia
Tradisi lama yang kini ngetrend lagi, membuat sejumlah pengusaha membuka rumahrumah teh di setiap sudut kota. Namun, dari sejumlah rumah teh yang ada, belum ada rumah teh yangkhususmenyajikantehkhas asal Sumatera Utara (Sumut). Padahal, jika ditelusuri lebih dalam lagi.
Sumatera Utara memiliki teh khasnya sendiri. Siapa yang tidak mengenal perkebunan teh Sidamanik milik PT Perkebunan Nusantara IV. Perkebunan dengan luas areal HGU2.243 hektare (ha) yang sekaligus menjadi salah satu tujuan objek wisata bagi masyarakat Sumut. Namun sayangnya seiring waktu luas areal perkebunan teh menyusut.
Humas PTPN 1V, Syahrul Aman Siregar mengatakan, konsumsi masyarakat terhadap teh khas Sumut masih sangat minim. Hal itu, dikarenakan sudah banyak yang beralih mengonsumsi kopi. Tidak hanya itu, berkurangnya luas lahan tanam juga dikarenakan harga jual teh tidak bisa melebih dari harga pokok. “Saat ini, harga jualnya hanya USD1,2 sen sampai USD1,3 sen per kilonya.
Belum mendukung untuk menutupi harga pokok. Harusnya, untuk menutupi harga pokok dan mendapat margin, minimal harga jual yang diharapkan USD2,3 sen per kilonya. Kondisi seperti ini terjadi sejak tahun 2014 sampai sekarang,” katanya. Namun, bagi pecinta teh khas Sumut, jangan khawatir. Karena, meskipun luas tanamnya berkurang, PTPN IV tetap mempertahankan komoditas teh melalui replanting terhadap teh yang telah berumur lebih besar 50 tahun.
Selain itu melakukan tanaman teh dengan klon unggul. Dengan harapan produksi tinggi, mutu bagus, tahan terhadap iklim, responsip terhadap pupuk dan lainlain. Ekonom M Ishak menuturkan, potensi teh Sumut sebenarnya tidak kalah dibanding dengan teh dari Tiongkok. Namun, lantaran indikasi ekspor tinggi, otomatis produksi-produksi yang tidak memenuhi kriteria dipasarkan di lokal.
Sehingga teh-teh yang beredar di pasar Sumut adalah teh dengan kualitas rendah. Sayangnya, in-dikasi serupa tidak berlaku pada saat impor dilakukan, tidak digunakan standar tinggi seperti dilakukan di pasar dunia. Menurut Ishak, kondisi ini terjadi lantaran manajemen ekonomi makro kita tidak tertata secara baik. Pasar tidak didukung pemerintah maupun swasta.
Padahal semestinya, swasta dan pemerintah harus mampu membuat rangsangan untuk meningkatkan perkebunan lokal. Sehingga produk berkualitas yang dihasilkan, bisa memenuhi permintaan pasar luar negeri dan memberikan produk berkualitas juga di dalam negeri.
“Kalau saya lihat sekarang, potensi teh akan semakin lebih baik dibanding kopi yang mengandung kafein tinggi. Lantaran orang sudah mulai cenderung minum teh dibanding kopi. Karena kini orang sudah lebih peduli kepada kesehatan,” terangnya.
Lia anggia nasution/ siti amelia
(bbg)