Daripada Beli Kaus Selalu Hitam Mending Jualan Saja
A
A
A
Tak semua hobi dapat dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan. Tri Aprianto Adhiwardono, warga Semarang, salah satu yang bisa memanfaatkan hobinya sebagai mata pencaharian.
Dari kesukaannya terhadap musik underground, Adhi, sapaan akrabnya, berhasil mendirikan usaha pernakpernik aliran musik cadas tersebut. Bagaimana kisahnya? Adhi merintis penjualan kaus bertema musik cadas sejak 2007. Usaha ini dilakoni setelah mendapatkan restu dan sedikit modal dari sang ibunda yang kala itu heran melihat anaknya sering menggunakan kaus bertema musik underground.
Modal awal Rp250.000 hasil pemberian ibunda itu, kemudian digunakan Adhi membeli 10 potong kaus untuk kemudian dijual di sejumlah event musik underground di Semarang. “Waktu itu ibu saya bilang, daripada kamu kalau beli kaus warnanya selalu hitam, mendingan jualan kaus sekalian.
Setelah dikasih modal sama ibu, saya langsung belanja ke Bandung dan memperoleh 10 potong,” kata Semarang 22 April 1979 silam ini. Modal awal plus keuntungannya kemudian dibelanjakan lagi untuk membeli kaus dan menjualnya. Terus seperti itu, hingga akhirnya, alumnus Universitas Semarang (USM) itu memantapkan diri keluar dari pekerjaan utama sebagai penjaga konter handphone untuk fokus berjualan pernak-pernik musik cadas itu.
“Dari keluar kerja itu, saya dapat pesangon Rp5 juta. Uang pesangon itu langsung saya gunakan untuk kulakan lagi,” ujarnya. Pria yang sejak SMP hobi berat mendengarkan musik bising itu memang mantap di jalurnya, yakni menggeluti dunia fashion musik bawah tanah. Dari ketekunan dan keuletannya, kini Adhi yang tinggal di Rusun Pekunden ini memiliki distro sendiri dengan brand Madness.
Namanya kini melambung di telinga para generasi muda penikmat musik underground. Tak hanya kaus, distro milik Adhi juga menyediakan merchandise atau atributatribut yang sering dipakai oleh penikmat musik underground . Seperti beragam aksesori seram dan berbau tengkorak. Setidaknya sudah ada sekitar 900-an produk tercatat di katalog distronya yang tersebar di beberapa kota.
Kepercayaan dari beberapa nama besar di jagat underground juga telah diperoleh Adhi. Dia juga dipercaya sebagai official marchandise dari band-band underground Seringai, Noxa, Tengkorak. “Tidak hanya dari dalam negeri, banyak juga yang dari luar negeri, seperti Qatar, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Meksiko, hingga Italia sering order dari distro saya.
Yang dari dalam negeri juga mempercayakan ke distro saya untuk menjual merchandise mereka,” ungkapnya. Setiap potong pernakpernik dijual Rp80.000- Rp650.000. “Jika ditotal, ada sekitar 200-an nama band official marchandise-nya ada di distro saya. Saya mencoba konsisten saja sesuai dengan hobi yang saya sukai meski banyak distro-distro lain dengan beragam jenis,” ujar Adhi.
Kesuksesan yang diperoleh Adhi bukan tanpa jalan terjal. Berbagai cobaan sudah dia alami dan malah makin menguatkan pada bisnis yang ditekuni. Mulai dari adanya calon pembeli dengan modus pura-pura membeli tapi ternyata mencuri, hingga purapura berutang dengan jumlah besar dan akhirnya ngilang tidak mau bayar dan berbagai batu sandungan lainnya. “Saya menekuni bisnis ini juga biar para pencinta musik underground di luar negeri juga tahu bahwa di Indonesia itu pencintanya juga sangat banyak dan basis masanya sangat besar,” ucapnya.
Susilo Himawan
Kota Semarang
Dari kesukaannya terhadap musik underground, Adhi, sapaan akrabnya, berhasil mendirikan usaha pernakpernik aliran musik cadas tersebut. Bagaimana kisahnya? Adhi merintis penjualan kaus bertema musik cadas sejak 2007. Usaha ini dilakoni setelah mendapatkan restu dan sedikit modal dari sang ibunda yang kala itu heran melihat anaknya sering menggunakan kaus bertema musik underground.
Modal awal Rp250.000 hasil pemberian ibunda itu, kemudian digunakan Adhi membeli 10 potong kaus untuk kemudian dijual di sejumlah event musik underground di Semarang. “Waktu itu ibu saya bilang, daripada kamu kalau beli kaus warnanya selalu hitam, mendingan jualan kaus sekalian.
Setelah dikasih modal sama ibu, saya langsung belanja ke Bandung dan memperoleh 10 potong,” kata Semarang 22 April 1979 silam ini. Modal awal plus keuntungannya kemudian dibelanjakan lagi untuk membeli kaus dan menjualnya. Terus seperti itu, hingga akhirnya, alumnus Universitas Semarang (USM) itu memantapkan diri keluar dari pekerjaan utama sebagai penjaga konter handphone untuk fokus berjualan pernak-pernik musik cadas itu.
“Dari keluar kerja itu, saya dapat pesangon Rp5 juta. Uang pesangon itu langsung saya gunakan untuk kulakan lagi,” ujarnya. Pria yang sejak SMP hobi berat mendengarkan musik bising itu memang mantap di jalurnya, yakni menggeluti dunia fashion musik bawah tanah. Dari ketekunan dan keuletannya, kini Adhi yang tinggal di Rusun Pekunden ini memiliki distro sendiri dengan brand Madness.
Namanya kini melambung di telinga para generasi muda penikmat musik underground. Tak hanya kaus, distro milik Adhi juga menyediakan merchandise atau atributatribut yang sering dipakai oleh penikmat musik underground . Seperti beragam aksesori seram dan berbau tengkorak. Setidaknya sudah ada sekitar 900-an produk tercatat di katalog distronya yang tersebar di beberapa kota.
Kepercayaan dari beberapa nama besar di jagat underground juga telah diperoleh Adhi. Dia juga dipercaya sebagai official marchandise dari band-band underground Seringai, Noxa, Tengkorak. “Tidak hanya dari dalam negeri, banyak juga yang dari luar negeri, seperti Qatar, Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Meksiko, hingga Italia sering order dari distro saya.
Yang dari dalam negeri juga mempercayakan ke distro saya untuk menjual merchandise mereka,” ungkapnya. Setiap potong pernakpernik dijual Rp80.000- Rp650.000. “Jika ditotal, ada sekitar 200-an nama band official marchandise-nya ada di distro saya. Saya mencoba konsisten saja sesuai dengan hobi yang saya sukai meski banyak distro-distro lain dengan beragam jenis,” ujar Adhi.
Kesuksesan yang diperoleh Adhi bukan tanpa jalan terjal. Berbagai cobaan sudah dia alami dan malah makin menguatkan pada bisnis yang ditekuni. Mulai dari adanya calon pembeli dengan modus pura-pura membeli tapi ternyata mencuri, hingga purapura berutang dengan jumlah besar dan akhirnya ngilang tidak mau bayar dan berbagai batu sandungan lainnya. “Saya menekuni bisnis ini juga biar para pencinta musik underground di luar negeri juga tahu bahwa di Indonesia itu pencintanya juga sangat banyak dan basis masanya sangat besar,” ucapnya.
Susilo Himawan
Kota Semarang
(bbg)