Memperingati Nasib Nelayan yang Tak Kunjung Sejahtera

Minggu, 05 April 2015 - 10:48 WIB
Memperingati Nasib Nelayan yang Tak Kunjung Sejahtera
Memperingati Nasib Nelayan yang Tak Kunjung Sejahtera
A A A
Tiap malam mengembara di lautan Ombak badai menghadang dan menerjang Pak nelayan tak gentar dalam darmanya Demi kita yang membutuhkan pangan Terima kasih pak nelayan.

Penggalan lirik lagu Nelayan di atas sangat familiar diperdengarkan di TVRI pada era 1990-an. Namun kini lagu tersebut sudah hampir tak terdengar sama sekali. Ya, nelayan kini mulai terlupakan.

Nasibnya yang tidak pernah bisa lepas dari belenggu kemiskinan seakan sudah harus dimaklumi. Kita pun lupa nelayan juga harusnya bisa hidup lebih sejahtera. Bahkan lebih kaya dari kita-kita yang hanya makan gaji bulanan. Karena mengutip lirik lagu Koes Plus, laut di Indonesia yang cukup luas dan kaya dengan sumber alam bukan sekedar lautan, tapi kolam susu. Cukup dengan kail dan jala sebenarnya sudah bisa menghidupi.

Betapa tidak, tiada badai tiada topan ditemui, ikan dan udang pun datang menghampiri. Jadi seharusnya mereka berhak bisa hidup jauh lebih sejahtera. Namun apa yang terjadi, perkampungan nelayan dan perumahan pesisir pantai yang kita temui tak lain adalah ka-wasan kumuh yang miskin dan memiskinkan. Karena jika turun-temurun tinggal di kawasan tersebut maka sulit untuk melepas belenggu kemiskinan tersebut.

Ada apa sebenarnya dengan kondisi nelayan kita? Dari penelusuran berbagai sumber, belum ada yang menjelaskan secara detil mengenai sejarah penetapan tanggal tersebut. Hanya ada informasi diperingati sejak 53 tahun lalu atau di masa pemerintahan orde baru. Bahkan nelayan sendiri pun tidak pernah tahu bahwa 6 April adalah hari yang khusus untuk diperingatinya. Mungkinkarenamerakatak sanggup lagi memperingati keprihatinan kehidupan yang semakin terpinggirkan.

Berbicara soal nelayan sepertinya memang selalu terkesan samar dan penuh ketidak pastian. Padahal nelayan selalu menjadi kata-kata ajimat bagi para politisi dan tokoh publik yang selalu dijual selama kampanye. Foto-foto nelayan yang tersenyum tulus selalu terpampang dalam baliho dan iklan miliaran rupiah di televisi. Seakan nasib mereka hanya jadi perhatian di saat momentum tertentu saja.

Begitupun mirisnya kondisi nelayan, ternyata jumlahnya di Sumut dari tahun ke tahun terus bertambah. Seiring dengan pertambahan jumlah kemiskinan. KORAN SINDO MEDAN beberapa hari lalu berkesempatan melihat langsung bagaimana realitas kehidupan masyarakat nelayan di Kelurahan Pekan Labuhan, Medan Labuhan. Pagi itu, beberapa nelayang asik bersenda gurau di gundukan tanah yang membatasi sungai dengan rumah mereka sambil menatap puluhan kapal berukuran di bawah 5 gross tonnage (GT) yang tertambat.

Jika tidak paham dengan rutinitas kehidupan nelayan, mungkin pandangan negatif yang muncul duluan ketika melihat para nelayan yang duduk santai di waktu pagi dimana seharusnya orang sibuk bekerja. Padahal mereka adalah nelayan yang umumnya baru pulang dari mencari nafkah setelah dua hari mengarungi lautan hingga bermil-mil jauhnya.

“Kalau orang liat kami dikira pulak kami malas-malas. Nggak tau mereka baru subuh tadi kami pulang dari laut udah dua hari. Itu pun hasilnya belum tentu cukup. Malam atau sore nanti berangkat lagi lah,” kata Ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Sumut Hafijal. Hafijal mengakui kehidupan nelayan saat ini seperti tidak pernah bisa lepas dari belenggu kemiskinan. Namun dia menolak jika kemiskinan tersebut akibat dari budaya atau gaya hidup nelayan yang dinilai malas. Karena jika satu hari saja nelayan tidak melaut, maka akan terganggu kebutuhan hidup sehari-hari.

“Dulu sehari melaut untuk makan satu minggu bisa. Sekarang, satu hari aja libur, makan pun susah,” ujarnya. Persoalan nelayan menurutnya sudah sangat kompleks sekali. Dari hulu sampai hilir tidak ada kebijakan yang bisa menguntungkan nelayan. Sumber daya laut sudah semakin berkurang akibat pukat trawl yang bebas beroperasi. Alat tangkap ikan seperti itu mengeruk dasar laut dan merusak karang- karang yang menjadi rumah ikan, udang dan cumi.

Jika dulu setiap pergantian musim ikan gembung, cumi dan udang bisa bertahan hingga empat bulan sekali, kini sebulan saja bertahan sudah langka. Meskipun sudah ada Keputusan Presiden (Keppres) No 39/ 1980 tentang larangan pukat trawl, namun eksekusinya di lapangan tidak ada. “Artinya kebijakan pemerintah dalam melindungi sumber daya laut belum ada selama ini,” kata Hafizal.

Harapan muncul ketika Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) KP No 2/2015. Larangan terhadap pukat hela (trawl) dan pukat tarik sempat membantu mendongkrak hasil tangkapan nelayan kecil. Hanya saja kini muncul keringanan untuk memperbolehkan alat tangkap tersebut dapat beroperasi hingga masa izinnya berakhir.

“Kita berharap kali ini konsisten,” ujarnya. Namun persoalan nelayan tidak berhenti di situ. Tidak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) membuat nelayan hanya bisa menjual hasil tangkapannya kepada para pengumpul (toke). Terkadang hanya dihargai setengah dari harga pasar. Karena ada ketergantungan nelayan kepada para toke yang sudah kadung membiayai kebutuhan nelayan untuk operasionalnya.

“Biasanya kan yang punya produk yang tentukan harga. Nah nelayan kan punya ikan, tapi kenapa mereka tidak berdaya menuntukan harganya sendiri. Itu karena TPI tidak berfungsi,” sebutnya. Belum lagi soal ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) untuk nelayan. Hampir dipastikan nelayan tradisional tidak mendapatkan BBM bersubsidi yang khusus disediakan untuk mereka.

Nelayan kecil tidak terlayani karena kebutuhannya sedikit yaitu sekitar 30-50 liter perhari. Pengelola SPBU lebih senang melayani kapal pengusaha yang di atas 30 GT. Karena sekali isi 5-10 ton untuk melaut sebulan. Nelayan kecil pun tidak kebagian. Padahal waktu untuk pengadaan SPBU nelayan sebelumnya, nama nelayan kecil yang dipakai.

“Ini seperti mata rantai yang sudah membelit kami. Jadi kami dimiskinkan oleh sistem, bukan karena budaya. Buktinya nelayan dulu banyak kok yang sejahtera,” kata Hafijal. Antropolog dari Universitas Sumatera Utara (USU) Edy Suhartono paling keras menolak jika nelayan miskin karena budaya dan gaya hidup. “Dalam beberapa tulisan yang pernah kubuat, aku tidak percaya kalau nelayan itu miskin karena budaya. Karena budaya bisa diubah dengan pendidikan,” ujarnya.

Ada sesuatu yang sistematis membuat nelayan itu sulit lepas dari belenggu kemiskinan. Hubungan patron klien antara nelayan dan toke pemilik modal sangat tidak menguntungkan. Dimana nelayan punya ketergantungan yang lebih terhadap tokenya. Sehingga apapun hasil tangkapannya selalu dihargai dengan harga yang murah. Hal itu terjadi karena nelayan tidak punya sumber modal yang kuat untuk membiayai operasionalnya untuk melaut.

Faktor lain adalah terkurasnya sumber daya laut yang harusnya bisa terbarui namun tidak terjadi pembaharuan akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Saat Permen KP No 2/2015 mengatur larangan alat tangkap tersebut, anehnya sejumlah organisasi nelayan justru berunjuk rasa. Tentu ini menjadi permasalahan horizontal di antara nelayan sendiri. Hal itu terjadi akibat terlalu lamanya dilakukan pembiaran alat tangkap tidak ramah lingkungan.

Jadi banyak nelayan akhirnya tidak sabar dan beralih ikut menjadi buruh bekerja di kapal besar milik pengusaha yang menggunakan pukat trawl. Di sisi lain nelayan tradisional dengan alat tangkap sederhana tentu sangat terbantu dengan larangan itu. Persoalan nelayan menurutnya perlu diselesaikan secara komprehensif. Tidak cukup hanya seorang Menteri KP Susi Pudjiastuti sendiri yang mencoba melakukan perubahan. Perlu ada dukungan dari pihak lain terutama para akademisidanpenggiat lingkungan dan kelautan.

“Bayangkan saja, begitu luasnya perairan pantai barat dan timur Sumatera ini, tidak ada muatan lokal pendidikan yang menyangkut soal perikanan dan kelautan. Lebih parah lagi di Universitas Sumatera Utara (USU) hingga sekarang belum ada program kelautannya,” ujar Edy. Dia mengaku cukup prihatin dengan kondisi nelayan dan kelautan khususnya di Sumut. Bahkan dalam prediksinya, jika kondisi tersebut tetap dipelihara, tidak akan ada lagi anak nelayan yang bangga untuk meneruskan pekerjaan orangtuanya.

“Nelayan itu pemangku utama yang punya kepentingan besar dalam menjaga kelangsungan sumber daya laut. Tapi mereka justru tidak mendapatkan apa-apa dari laut itu sendiri. Tidak bisa dibayangkan jika kearifan lokal dalam menjaga hasil laut tidak lagi bisa diwariskan para nelayan kepada anak cucunya,” kata Edy.

M rinaldi khair
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9033 seconds (0.1#10.140)