Membongkar Korporasi Pencuri Air di Jakarta-Purwakarta

Kamis, 02 April 2015 - 02:26 WIB
Membongkar Korporasi...
Membongkar Korporasi Pencuri Air di Jakarta-Purwakarta
A A A
PADA 2010, Nina Herlina terpaksa menjual rumah peristirahatannya di Kampung Pameungpeuk, Desa Wanasari, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu tak bisa lagi menikmati kolam renang favoritnya. Mata air di Gunung Burangrang, yang menjadi sumber air kolam itu, sudah lama kering.

Nina masih beruntung. Hanya kolam renangnya yang kering kerontang. Sementara, warga lain mulai mengeluh kekurangan pasokan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Di Babakan, desa tetangga Wanasari, santri Pondok Pesantren Al-Asyari kebat-kebit menyauk-sauk air hingga ke dasar bak mandi. “Itu terjadi sejak ada pencurian air,” kata perempuan 40 tahun itu, saat berbincang dengan SINDO Weekly, Senin pekan ini.

“Ada yang tidak beres,” celetuk Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, menanggapi fenomena di Wanayasa tersebut.

Sejak berkuasa pada 2013, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu memang sudah mencium gelagat, wilayahnya bakal krisis air.

Dedi yakin, aktivitas pencurian air di wilayahnya telah memicu kekeringan. Si pencuri, bukan dari kelas teri, tapi kakap. Mereka perusahaan-perusahaan pemasok air minum kemasan, dan kolam renang milik orang-orang kaya di Ibu Kota.

Dalam menjalankan aktivitasnya, mereka rakus. perusahaan-perusahaan itu memasang pipa hingga ke sumber air di pegunungan. Belum cukup, mereka pun membawa mesin penyedot agar aliran air semakin kencang.

“Mereka sedot, bawa, dan jual. Siapa coba yang tidak geram,” ujarnya dengan logat Sunda yang kental.

Dedi sudah memerintahkan anak buahnya di Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengusir “drakula-drakula” air itu. Sering kali, petugas Kabupaten harus mencabut pipa-pipa mereka dan mencegat truk-truk tangki pembawa air.

"Tapi, para 'drakula' masih membandel," jelasnya.

SINDO Weekly yang sempat menelusuri titik-titik lokasi pencurian air, di Jalan Terusan Kapten Halim, Kecamatan Pondok Salam, menuju Kecamatan Bandung Barat, Kabupaten Bandung, melihat pipa-pipa air berjejer di sepanjang jalan, yang menanjak dan merupakan bagian dari hutan pegunungan Rancadara.

Di titik-titik itulah, terlihat beberapa truk tangki di pinggir jalan.

Aep Durrahman, Kepala Humas dan Protokol Kabupaten Purwakarta yang menemani SINDO Weekly, memastikan truk-truk itu sebagai pencoleng air yang dimaksud. Tidak ada nama perusahaan atau merek produk tertentu tertera pada truk itu.

Di titik lain, di sisi kanan jalan menuju Bandung Barat, tampak sebuah truk tangki berukuran besar sedang memuat buruannya. Mengetahui aktivitasnya sedang diperhatikan, beberapa pengemudi dan kernet truk memasang wajah sangar.

Aep pun menyarankan SINDO Weekly menjauh. Rupanya para “drakula” itu lebih ‘sakti’ dari pejabat kabupaten.

Dari penelusuran itu, sedikitnya ada empat titik sumber air yang digarong. Dua sumber di Wanasari, satu di Babakan, dan satu lagi di Desa Salem. Parahnya, ada sebagian pencuri nekat mengebor untuk membuat titik baru sumber air.

Dedi Mulyadi, dijuluki warganya sebagai “Bupati Sakti” yang tak mau kalah dengan para pencoleng air. Senin pekan kemarin, dia melaporkan sejumlah perusahaan ke Kepolisian Resor Purwakarta dengan tuduhanan mencuri air.

Dia menduga, perusahaan-perusahaan itu tak berizin. Kalaupun mereka mengantongi izin, dia yakin ada bawahannya yang “bermain”. “Ada permainan oknum pegawai,” katanya, masih enggan membuka nama-nama perusahaan itu.

Dedi mengakui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-undang Sumber Daya Air belum lama ini menjadi satu referensi hukum laporannya ke polisi.

Putusan MK mengembalikan penguasaan sumber-sumber air kepada negara, setelah lebih dari sebelas tahun dilego kepada swasta. “Barangkali, baru saya kepala daerah yang menindaklanjuti putusan itu,” bebernya.

Melalui Dedi, warga Purwakarta sedang memulai sebuah pertempuran melawan korporasi air. Sekitar 80 kilometer di sebelah barat mereka, warga Jakarta baru saja memenangi ronde pertama pertarungan yang sama.

Selasa pekan lalu, gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan amat telak. Hakim memerintahkan kebijakan swastanisasi air minum di Jakarta disetop.

Hakim juga membatalkan seluruh isi perjanjian kerja sama antara Perusahaan Air Minum Jaya dengan dua korporasi, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) untuk wilayah barat Jakarta, dan PT Thames PAM Jaya untuk wilayah timur.

Perjanjian yang diteken pada 1997 dan diperbaharui pada 2001. Kepemilikan PT Thames PAM Jaya, saat ini sudah beralih ke PT Aetra Air Jakarta. Kemenangan ini tak datang dengan mudah. Selama tiga tahun, Koalisi harus berjibaku dengan segala proses pengadilan yang kerap menjengkelkan.

Arif Maulana, pengacara koalisi mengatakan, pengadilan seringkali menunda persidangan. Alasannya ada saja, dari mengantre ruang sidang bersama perkara lain, komposisi hakim yang berubah-ubah tiga kali, sampai pemerintah sebagai tergugat mangkir sidang.

“Mestinya peradilan itu murah, cepat, dan sederhana,” katanya, saat dihubungi SINDO Weekly, Selasa pekan ini.

Koalisi, sambung Arif, mengajukan 125 bukti, lima saksi, dan lima ahli, untuk menguatkan gugatan. Di antaranya, mereka menyoroti legalitas Perjanjian.

Bukti menunjukkan, perjanjian itu diteken PAM Jaya dengan Lyonnaise dan Thames, pada 1997, tanpa persetujuan tertulis Gubernur Jakarta.

Padahal, aturan mensyaratkan itu. Waktu itu, kedua perusahaan asing ini memang potong kompas. Lewat tekanan Bank Dunia yang sedang gencar menjual “proyek” privatisasi air, Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar untuk menyerahkan pengelolaan air minum di Jakarta kepada dua perusahaan asing itu.

Di zaman Orde Baru, jika Soeharto telah bertitah, apalah artinya persetujuan seorang gubernur. Perintah itu pun ternyata bukan tanpa ‘embel-embel’.

Thames kemudian diketahui berkongsi dengan Sigit Harjojudanto, putra sulung Soeharto, dengan hadiah 20% saham. Sementara, Lyonnaise, menjalin aliansi dengan Salim Grup milik Sudono Salim, taipan yang dekat dengan penguasan Orde Baru.

Selanjutnya, koalisi pun membeberkan fakta bagaimana swastanisasi sampai membuat warga Jakarta “berdarah-darah” hanya demi menikmati setetes air bersih.

Selama hampir dua dekade air diswastakan, kedua perusahaan itu hanya sanggup menjangkau 62% area. Sisanya, 38% area, tak terlayani air bersih. Itu pun masih ada catatan lain.

Sekitar 23% pelanggan Palyja tidak mendapatkan air setetes pun. Sedangkan, 14% pelanggan Aetra mengalami nasib yang sama.

Koalisi pun menggugat prinsip full cost recovery yang diterapkan dalam perjanjian itu. Konsumen menanggung semua beban biaya, termasuk ongkos plesiran ekskutif ekspatriat perusahaan itu.

Prinsip ini mengakibatkan tarif air di Jakarta, rata Rp7.800 per meter kubik, lebih mahal daripada di Singapura, Hong Kong, dan Beijing. Sedangkan kualitas airnya, lebih buruk ketimbang Phnom Penh, Kamboja.

Pada 2006, kondisi ini pernah dikeluhkan Menteri Pekerjaan Umum kepada Gubernur Jakarta. Prinsip full cost recovery juga membuat PAM Jaya, dan tentu saja Pemerintah Jakarta, terus menumpuk utang kepada dua korporasi tersebut.

PAM Jaya harus mengganti selisih antara imbalan tarif yang ditetapkan swasta dengan tarif yang dibayarkan konsumen.

Sebab, PAM Jaya terikat dengan aturan yang membatasi tarif. Hingga 2010 saja, utang itu sudah mencapai Rp583 miliar. Jika dibiarkan, maka pada akhir masa konsesi, utang bakal menggunung Rp18,2 triliun.

“Ini akan membebani keuangan negara,” kata Arif.

Belum lagi, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang menunjukkan pengelolaan swasta mengidap banyak masalah.

Palu hakim sudah diketok. Tapi pertempuran tampaknya belum akan usai. Baik Palyja maupun Aetra berjanji akan membawa pertempuran ke tingkat banding.

Investasi triliunan rupiah yang mereka klaim selama ini menjadi taruhan. “Kami putuskan banding,” kata Meyritha Maryanie, Juru Bicara Palyja. “Kami sudah banding Senin 30 Maret 2015," timpal Juru Bicara Aetra, Pratama S Adi.

Kedua perusahaan juga tak ingin diganggu oleh proses hukum gugatan koalisi. Palyja, kata Meyritha, siap menggelontorkan Rp318,6 miliar untuk memperbaiki layanan dan membangun jaringan baru.

Sementara, Aetra akan fokus memperluas cakupan area dan mengurangi tingkat kebocoran yang masih tinggi. “Cakupan pelayanan kami hingga 2014 sekitar 60%. Jadi, masih cukup luas area yang kami bisa layani,” kata Pratama.

Sementara itu, Pemerintah Jakarta memilih sikap menunggu. Kepala Biro Hukum Pemerintah Jakarta Sri Rahayu mengatakan, pemerintah lebih peduli kepada layanan peyediaan air bersih untuk warga selama proses hukum.

Itulah kenapa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama awalnya ingin ada mediasi dengan koalisi. Tapi, kata Sri, mediasi menemui jalan buntu, karena koalisi meminta jaminan macam-macam. “Sebenarnya kami sudah oke, tapi masak ada jaminan segala,” terangnya.

Sementara itu, Direktur Utama Badan Regulator PAM Jaya Sri Widayanto Kaderi mengatakan, PAM Jaya sebenarnya siap mengambil alih Palyja dan Aetra, jika keputusan berkekuatan hukum tetap memerintahkan itu.

Bahkan, jika PAM Jaya harus mengganti investasi Rp2 triliun, sebagaimana yang selama ini diperkirakan. Dia hanya cemas dengan kemungkinan kedua korporasi itu menempuh jalur arbitrase internasional.

“Berdasarkan pengalaman, Indonesia tak pernah menang di arbitrase,” jelasnya.

Arif menyesalkan, sikap pemerintah yang membiarkan kedua perusahaan asing itu melenggang ke tingkat banding. Seharusnya, menurut Arif, pemerintah melobi mereka untuk tidak meneruskan perlawanan, terlebih Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan Undang-undang Sumber Daya Air yang secara otomatis menghentikan segala upaya privatisasi air.

“Tapi kalau banding, ya kami lawan,” pungkasnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1382 seconds (0.1#10.140)