Mengajak Warga Kaji Sejarah di Warung Kopi
A
A
A
KOTA BANDUNG - Sejarah memang milik para pemenang. Kiranya hanya Tuhan dan penafsiran pelaku sejarah saja yang menjadikan sebuah cerita menjadi sejarah. Namun, ketika ada dua saksi sejarah, masing-masing akan memiliki penafsiran berbeda. Pada beberapa kasus, tokoh yang jasanya begitu besar pada negara justru tidak tenar karena “kesalahan” yang dia perbuat.
Misalnya saja yang terjadi pada Sultan Hamid Al- Kadrie yang merupakan perancang lambang negara Indonesia yang berjuluk Elang Rajawali Garuda Pancasila. Tokoh asal Pontianak ini tidak banyak dikenal dalam sejarah yang diajarkan di sekolah karena terlibat dalam peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Bahasan tentang awal sejarah pembuatan lambang negara, pemilihan bentuk garuda, sejarah perancangnya, hingga perdebatan mengenai penentuan Garuda sebagai lambang negara tidak menyimbolkan kebhinekaan Indonesia, kali ini dibahas di tadarusan buku Asian African Reading Club (AARC).
Para pegiat literasi ini memang baru mengkhatamkan buku berjudul Perjalanan 60 Tahun Lambang Negara: Sejarah Elang Rajawali Garuda Pancasila terbitan Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA). “Masih ada saja orang yang tertukar antara Hamid Al- Gadri dengan Sultan Hamid Al- Kadrie. Perancang lambang negara Indonesia itu Sultan Hamid Al-Kadrie atau Sultan Hamid II. Sementara Hamid Al- Gadri itu salah satu tokoh perintis kemerdekaan yang mendirikan organisasi keturunan Arab-Indonesia bersama AR Baswedan,” ungkap pegiat literasi AARC Iwan Kurniawan beberapa waktu lalu.
Bagi dia, diskusi tersebut semesti dibawa ke warungwarung kopi, ke tempattempat yang tidak terlalu serius, agar pengetahuan sejarah bisa tersebar luas. Selebihnya, diharapkan nasionalisme warga Indonesia bisa tumbuh. “Kalau bahasan semacam ini hanya di reading club, hanya orang-orang tertentu yang tahu. Yang enggaktahu tetap enggaktahu. Makanya saya sering mencoba membawanya ke warung-warung kopi dan pernah mendapati satu orang yang nimbrung dan pengetahuannya ternyata sebanding dengan bahasan di reading club,” tambahnya.
Bahkan, kata dia, mestinya bahasan ini dibawa keluar, dihadirkan di hadapan guru. Meski semuanya tafsir, tapi dengan kajian buku, banyak dihadirkan data-data pendukung. Iwan yang termasuk penyuka travelling ini berkunjung ke berbagai tempat dan banyak mendapati orang-orang dengan ide yang sama. Mereka sangat membutuhkan aktivitas kajian buku namun terbentuk konsistensi dan inisiatif.
“Saya ke Surabaya, bertemu beberapa santri di Jombang. Mereka terpikir untuk mengkaji tentang orientalisme. Menurut saya bahas saja. Kalau di kelas atau kampus hanya terpaku teori, bikin saja suasananya senyaman mungkin. Kajian diskusi yang bikin kita senang-senang, sehingga ramai orang datang. Kalaupun cuma lima orang, ya gak apa-apa, karena niatnya juga senang-senang,” katanya.
Dia menambahkan, konsepnya bisa meniru banyak reading club yang sudah ada termasuk AARC. Tapi mungkin tempatnya di warung kopi. Misalnya, kelompok membaca senja, diadakan di waktu senja, di tempat yang bagus saat senja. Hal ini bisa jadi menarik perhatian orang, kalaupun awalnya tidak suka, tidak tahu, jadi tertarik untuk mengetahui.
Namun menurut dia, kebanyakan komunitas mati karena publikasi yang kurang atau salah sasaran. Selain itu, terlalu mengandalkan jejaring dunia maya. Padahal bisa menempel informasi di kampus-kampus. “Banyak potensi di kampus-kampus. Harus ada yang mau bergerak untuk menyambungkan link yang terputus itu agar bisa memantik dan menularkannya ke yang lain,” imbuhnya.
Fauzan
Misalnya saja yang terjadi pada Sultan Hamid Al- Kadrie yang merupakan perancang lambang negara Indonesia yang berjuluk Elang Rajawali Garuda Pancasila. Tokoh asal Pontianak ini tidak banyak dikenal dalam sejarah yang diajarkan di sekolah karena terlibat dalam peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Bahasan tentang awal sejarah pembuatan lambang negara, pemilihan bentuk garuda, sejarah perancangnya, hingga perdebatan mengenai penentuan Garuda sebagai lambang negara tidak menyimbolkan kebhinekaan Indonesia, kali ini dibahas di tadarusan buku Asian African Reading Club (AARC).
Para pegiat literasi ini memang baru mengkhatamkan buku berjudul Perjalanan 60 Tahun Lambang Negara: Sejarah Elang Rajawali Garuda Pancasila terbitan Sahabat Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA). “Masih ada saja orang yang tertukar antara Hamid Al- Gadri dengan Sultan Hamid Al- Kadrie. Perancang lambang negara Indonesia itu Sultan Hamid Al-Kadrie atau Sultan Hamid II. Sementara Hamid Al- Gadri itu salah satu tokoh perintis kemerdekaan yang mendirikan organisasi keturunan Arab-Indonesia bersama AR Baswedan,” ungkap pegiat literasi AARC Iwan Kurniawan beberapa waktu lalu.
Bagi dia, diskusi tersebut semesti dibawa ke warungwarung kopi, ke tempattempat yang tidak terlalu serius, agar pengetahuan sejarah bisa tersebar luas. Selebihnya, diharapkan nasionalisme warga Indonesia bisa tumbuh. “Kalau bahasan semacam ini hanya di reading club, hanya orang-orang tertentu yang tahu. Yang enggaktahu tetap enggaktahu. Makanya saya sering mencoba membawanya ke warung-warung kopi dan pernah mendapati satu orang yang nimbrung dan pengetahuannya ternyata sebanding dengan bahasan di reading club,” tambahnya.
Bahkan, kata dia, mestinya bahasan ini dibawa keluar, dihadirkan di hadapan guru. Meski semuanya tafsir, tapi dengan kajian buku, banyak dihadirkan data-data pendukung. Iwan yang termasuk penyuka travelling ini berkunjung ke berbagai tempat dan banyak mendapati orang-orang dengan ide yang sama. Mereka sangat membutuhkan aktivitas kajian buku namun terbentuk konsistensi dan inisiatif.
“Saya ke Surabaya, bertemu beberapa santri di Jombang. Mereka terpikir untuk mengkaji tentang orientalisme. Menurut saya bahas saja. Kalau di kelas atau kampus hanya terpaku teori, bikin saja suasananya senyaman mungkin. Kajian diskusi yang bikin kita senang-senang, sehingga ramai orang datang. Kalaupun cuma lima orang, ya gak apa-apa, karena niatnya juga senang-senang,” katanya.
Dia menambahkan, konsepnya bisa meniru banyak reading club yang sudah ada termasuk AARC. Tapi mungkin tempatnya di warung kopi. Misalnya, kelompok membaca senja, diadakan di waktu senja, di tempat yang bagus saat senja. Hal ini bisa jadi menarik perhatian orang, kalaupun awalnya tidak suka, tidak tahu, jadi tertarik untuk mengetahui.
Namun menurut dia, kebanyakan komunitas mati karena publikasi yang kurang atau salah sasaran. Selain itu, terlalu mengandalkan jejaring dunia maya. Padahal bisa menempel informasi di kampus-kampus. “Banyak potensi di kampus-kampus. Harus ada yang mau bergerak untuk menyambungkan link yang terputus itu agar bisa memantik dan menularkannya ke yang lain,” imbuhnya.
Fauzan
(bhr)