Sudut Kota dan Dialek Khas yang Ngangeni
A
A
A
Keberagaman kehidupan Kota Semarang terekam menarik dalam film antologi bertajuk Twaalf Uur Van Semarang (Dua Belas Jam di Semarang ).
Film garapan bersama Komunitas Lopen Semarang, Yayasan Widya Mitra, dan Kedutaan Besar Belanda ini menyajikan kemolekan sudut kota lengkap dengan dialek khas Semarangan. Cerita bermula dari pukul 18.00 dan berakhir pukul 06.00 WIB. Banyak orang membicarakan kecantikan Kota Semarang di malam hari. Sebagai kota pelabuhan utama di Jawa Tengah, Semarang hampir tidak pernah tidur.
Bahkan di beberapa tempat seperti di pelabuhan, pasar, dan stasiun, geliat aktivitasnya justru telah dimulai di kala sebagian besar warga Kota ATLAS sedang terlelap dalam tidur. Film besutan Ragil Wijokongko memiliki empat cerita berbeda di dalamnya seperti Makan!, Kuli(ah), Kakeane dan Ver Van Huis . Sekuel Makan! menggambarkan kisah perjalanan panjang sebuah kubis sebelum dihidangkan di sepiring nasi goreng.
Keriuhan aktivitas bisnis di sebuah Pasar Peterongan pada waktu malam hari menjadi pembuka film dapat dinikmati sekilas. Cerita berikutnya berjudul Kuli(ah) mengisahkan sosok Jaka seorang pelarian dari Jakarta karena masalah narkotika. Pamannya membawa Jaka ke Semarang untuk bersembunyi dari kejaran aparat sembari bekerja dan berkuliah. Jaka ingin beralih dari kehidupan masa lalunya dan di Semarang jugalah keteguhan hati Jaka untuk hijrah dari dunia kelamnya diuji.
Cerita ketiga diberi judul Kakeane mengulik cerita persahabatan Amat dan Toni yang memiliki rencana menghabiskan malam minggu dengan menonton pertunjukkan Gambang Semarang. Perjalanan menuju lokasi pertunjukkan dipenuhi dengan berbagai kejutan yang tak terduga. Kisah ini menampilkan seniman Djie Siong Hien yang akrab disapa Om Hien, yang tampil di Sobokartti. Berbagai dialek khas Semarang nan menghibur menghiasi sekuel ketiga ini.
Obrolan ringan antar teman disisipi sapaan Ndes, Pekok, He e , Bajindul, Ngoce, berhasil mengundang tawa penonton yang hadir pada premiere film ditayangkan di E-Plaza Cinema Semarang, kemarin. Beragam adegan kocak dilakonkan Amat dan Toni yang sarat nuansa Semarang seperti Toni salah memasukkan congyang ke dalam vespa mogok. Congyang adalah minuman khas Semarang.
Adegan pamungkas Ver Van Huis mengisahkan Daniel yang terpaksa mengikuti kehendak ayahnya Reynard, seorang Indo untuk menemaninya ke Semarang. Daniel terlibat dalam sebuah sentimental journey pada sebuah kota yang penuh kenangan yang akan mengubah cara pandangnya selama ini.
Dialog penutup We Are Home yang diucapkan Daniel memiliki makna mendalam bahwa dia sudah seperti ayahnya yang merasa rumahnya di Semarang. Film Twaalf Uur Van Semarang (Dua Belas Jam di Semarang ) digarap selama empat bulan.
“Desember mulai praproduksi sedangkan Januari mulai syuting. Kendala yang dihadapi seperti meragukan kinerja tim ini karena Semarang masih dianggap sebelah mata untuk film,” kata koordinator Komunitas Pecinta Sejarah Lopen Semarang M Yogi Fajri. Masyarakat bisa melihat penayangan film ini di Ruang Theatre Gedung Pin Balai Kota Semarang hari ini (28/3). Ada empat kali penayangan, yaitu 10.00, 11.30, 13.00, dan 14.30 WIB.
Penonton tidak dipungut biaya alias gratis. Ketua Yayasan Widya Mitra Widjajanti Dharmowijono menilai film digarap serius karena melalui workshop dan persiapan matang. “Saya sangat penasaran dan ingin tahu karena proses produksi sangat rapi. Semoga film ini dapat diterima masyarakat,” ucapnya.
Hendrati Hapsari
Kota Semarang
Film garapan bersama Komunitas Lopen Semarang, Yayasan Widya Mitra, dan Kedutaan Besar Belanda ini menyajikan kemolekan sudut kota lengkap dengan dialek khas Semarangan. Cerita bermula dari pukul 18.00 dan berakhir pukul 06.00 WIB. Banyak orang membicarakan kecantikan Kota Semarang di malam hari. Sebagai kota pelabuhan utama di Jawa Tengah, Semarang hampir tidak pernah tidur.
Bahkan di beberapa tempat seperti di pelabuhan, pasar, dan stasiun, geliat aktivitasnya justru telah dimulai di kala sebagian besar warga Kota ATLAS sedang terlelap dalam tidur. Film besutan Ragil Wijokongko memiliki empat cerita berbeda di dalamnya seperti Makan!, Kuli(ah), Kakeane dan Ver Van Huis . Sekuel Makan! menggambarkan kisah perjalanan panjang sebuah kubis sebelum dihidangkan di sepiring nasi goreng.
Keriuhan aktivitas bisnis di sebuah Pasar Peterongan pada waktu malam hari menjadi pembuka film dapat dinikmati sekilas. Cerita berikutnya berjudul Kuli(ah) mengisahkan sosok Jaka seorang pelarian dari Jakarta karena masalah narkotika. Pamannya membawa Jaka ke Semarang untuk bersembunyi dari kejaran aparat sembari bekerja dan berkuliah. Jaka ingin beralih dari kehidupan masa lalunya dan di Semarang jugalah keteguhan hati Jaka untuk hijrah dari dunia kelamnya diuji.
Cerita ketiga diberi judul Kakeane mengulik cerita persahabatan Amat dan Toni yang memiliki rencana menghabiskan malam minggu dengan menonton pertunjukkan Gambang Semarang. Perjalanan menuju lokasi pertunjukkan dipenuhi dengan berbagai kejutan yang tak terduga. Kisah ini menampilkan seniman Djie Siong Hien yang akrab disapa Om Hien, yang tampil di Sobokartti. Berbagai dialek khas Semarang nan menghibur menghiasi sekuel ketiga ini.
Obrolan ringan antar teman disisipi sapaan Ndes, Pekok, He e , Bajindul, Ngoce, berhasil mengundang tawa penonton yang hadir pada premiere film ditayangkan di E-Plaza Cinema Semarang, kemarin. Beragam adegan kocak dilakonkan Amat dan Toni yang sarat nuansa Semarang seperti Toni salah memasukkan congyang ke dalam vespa mogok. Congyang adalah minuman khas Semarang.
Adegan pamungkas Ver Van Huis mengisahkan Daniel yang terpaksa mengikuti kehendak ayahnya Reynard, seorang Indo untuk menemaninya ke Semarang. Daniel terlibat dalam sebuah sentimental journey pada sebuah kota yang penuh kenangan yang akan mengubah cara pandangnya selama ini.
Dialog penutup We Are Home yang diucapkan Daniel memiliki makna mendalam bahwa dia sudah seperti ayahnya yang merasa rumahnya di Semarang. Film Twaalf Uur Van Semarang (Dua Belas Jam di Semarang ) digarap selama empat bulan.
“Desember mulai praproduksi sedangkan Januari mulai syuting. Kendala yang dihadapi seperti meragukan kinerja tim ini karena Semarang masih dianggap sebelah mata untuk film,” kata koordinator Komunitas Pecinta Sejarah Lopen Semarang M Yogi Fajri. Masyarakat bisa melihat penayangan film ini di Ruang Theatre Gedung Pin Balai Kota Semarang hari ini (28/3). Ada empat kali penayangan, yaitu 10.00, 11.30, 13.00, dan 14.30 WIB.
Penonton tidak dipungut biaya alias gratis. Ketua Yayasan Widya Mitra Widjajanti Dharmowijono menilai film digarap serius karena melalui workshop dan persiapan matang. “Saya sangat penasaran dan ingin tahu karena proses produksi sangat rapi. Semoga film ini dapat diterima masyarakat,” ucapnya.
Hendrati Hapsari
Kota Semarang
(ars)