Polisi Duga Oknum BBPOM Disuap
A
A
A
MEDAN - Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut) menduga ada praktik penyuapan yang dilakukan pengusaha saos terindikasi mengandung pewarna tekstil, sehingga Badan Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Medan menyatakan saos tersebut steril dari bahan berbahaya.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sumut Komisaris Besar (Kombes) Pol Ahmad Haydar mengatakan, mereka mencurigai hasil pemeriksaan yang dilakuk a n BBPOM terhadap saos merek Dena, Sun Flower dan Sauce Cabe produksi PT Duta Ayumas Persada (PT DAP).
Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Labfor Mabes Polri Cabang Medan yang menyimpulkan ketiga merek saos itu mengandung zat pewarna tekstil. “Bisa saja itu terjadi (penyuapan). Perlu saya jelaskan, kami terlebih dahulu memeriksa dan meneliti saos-saos itu di labfor, barulah kemudian melakukan penggerebekan, ”katanya kepada wartawan di kantornya, kemarin.
Kasus tersebut murni pengungkapan penyidik, yakni, memeriksa saos yang beredar di lapangan dan menelitinya di labfor. Hasilnya, ada ditemukan zat berbahaya di dalam saos itu. Menurut dia, jika BBPOM menyimpulkan tidak ada zat berbahaya dalam saos tersebut kemungkinan karena ada upaya pembiaran demi keuntungan tertentu. “Saya belum bisa berpikir sejauh itu. Tetapi, jika pihak BBPOM Medan menyatakan demikian, patut dicurigai adanya upaya penyuapan dari pengusaha kepada pihak BBPOM itu,”ungkapnya.
Sebelumnya, BBPOM Sumut membantah adanya zat perwarna terkstil dalam saus merek Dena, Sun Flower dan Cabe Sauce yang dibuat PT DAP yang berlokasi di kawasan Jalan Raya Namorambe, Pasar IV, Deliserdang.
Kepala BBPOM Medan, M Ali Bata Harahap mengatakan, sesuai dengan pengawasan yang dilakukan, tidak ditemukan bahan yang berbahaya pada produk makanan yang sudah mengantongi izin dari BPOM tersebut.
“Sesuai pengawasan kami, tidak ada mengandung bahan yang terlarang. Tetapi, namanya dugaaan bisa saja kan. Makanya, sebelum ada putusan pengadilan kita mengedepankan praduga tak bersalah,”ucapnya kepada wartawan, Kamis (12/3) lalu.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Sumut, Kombes Pol Helfi Assegaf mengatakan, hingga kemarin penyidik sudah memeriksa delapan saksi, termasuk saksi ahli dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut. Penyidik pun telah memiliki tiga alat bukti permulaan yang cukup untuk menentukan tersangka dalam kasus itu.
“Sampai saat ini memang belum ada tersangka, tetapi alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan saksi ahli dan surat (dokumen). Jadi, paling lama Senin (16/3) pemeriksaan saksi akan dirampungkan dan keesokan harinya akan dilakukan gelar perkara diikuti penetapan tersangka pada Selasa (17/3),” ujarnya.
Menurut dia, barang bukti yang disita penyidik selain yang ada di pabrik dan di lapangan sebanyak 1,5 drum plastik berisi perwarna tekstil. “Uji sampling kami lakukan di Dinkes Sumut terhadap saos yang beredar di pasar dan yang ditemukan di pabrik hasilnya sama, yakni menggunakan zat pewarna tekstil,”imbuh dia.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor: 722/ Menkes/ Per/ IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahan yang dilarang digunakan pada pangan meliputi boraks/asam borat, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofuranazon, serta formalin.
Bahan berbahaya adalah bahan kimia, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi.
Ini sesuai Permenkes Nomor : 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan. Kemudian, Permenkes Nomor : 722/ Men kes/ Per/ IX/ 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahan yang dilarang digunakan pada pangan meliputi boraks/asam borat, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofuranazon, serta formalin.
Dan Permenkes Nomor: 239/Menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya, memuat sebanyak 30 zat warna yang dilarang digunakan untuk pangan termasuk rhodamin B dan kuning metanil karena merugikan kesehatan manusia.
“Selain itu, pengusahanya juga dianggap melanggar Undang- Undang (UU) No 18/2012 tentang Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No 22/2001 tentang Minyak Gas dan Bumi. Perusahaan tersebut juga diduga menggunakan BBM bersubsidi. Bila terbukti, pengusaha pabrik saos bernama Jimmy itu pun terancam hukuman 15 tahun penjara.
Ditanya mengenai apakah akan menyelidiki adanya dugaan gratifikasi (suap) dari pengusaha saos kepada pihak BBPOM, mantan Kasubbid Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PID) Humas Mabes Polri ini mengatakan, penyidikan belum sampai kesitu.“Saya tidak berani berandai- andai, yang saya sebutkan ini adalah fakta hukum dalam proses penyidikan. Kalau yang lain-lain saya tidak berani menyebutkannya,” pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Polda Sumut menggerebek PT DAP, pabrik pembuat saos merek Dena, Sunflower, Cabe Sauce, Surya dan James Ketjap Tomaat karena terindikasi berbahan pewarna tekstil di Jalan Raya Namorambe, Pasar IV, Kabupaten Deliserdang, Rabu (11/3).
Dari gudang penyimpanan pabrik tersebut sebanyak 3.350 kotak saos kemasan plastik, saus sambal 60 kotak, saos dalam kemasan botol 84 kotak. Kemudian, merek Sunflower disita sebanyak 850 kotak dan Sauce Cabai diamankan 550 kotak. Sedangkan merek lainya sudah dipasang garis batas di lokasi.
Pengawasan Sangat Lemah
Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi menuturkan, adanya temuan saos diduga dicampur dengan zat pewarna tekstil tidaklah terlalu mengejutkan.
Walaupun semua izinnya sudah lengkap, mulai dari izin produksi, izin gangguan dan izin pemasaran, tetapi kasus serupa kerap terjadi. "Apalagi Medan dan Sumatera Utara, memang surga produk makanan dan obat-obatan bermasalah. Begitu banyak sajian berita tak sedap mengisi lembaran media," katanya, kemarin.
Selama ini, jika diidentifikasi masalah utama keamanan pangan, obat dan kosmetika di Indonesia, dapat dikelompokkan menjadi lima. Pertama masih banyak ditemukan peredaran produk pangan, obat dan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
Kedua, banyak terjadi kasus penyakit dan keracunan melalui makanan, obat dan kosmetika yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan, obat dan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan terutama di industri kecil/rumah tangga, industri jasa boga dan penjual makanan jajanan.
Keempat lemahnya kredibilitas pengawasan, karena fungsi lembaga pemerintahan yang telah ditunjuk untuk melindungi konsumen, mengingat begitu banyak kandungan bahan berbahaya dalam pangan, obat dan kosmetika. Kelima rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan, obat dan kosmetika.
"Lembaga pengawas, pada intinya, sering bertindak ceroboh dan menganggap sederhana dalam melaksanakan tugasnya melindungi masyarakat. Padahal, itu sudah merupakan tanggung jawab mereka sepenuhnya," papar dia.
Dengan alasan tanggung jawab yang terlalu banyak dan lingkup area pengawasan yang terlalu luas, lembaga pengawas merasa layak untuk bekerja lebih cepat atau hanya sekadar mengemukakan wacana saja.
Jika saja pemerintah seperti BPOM, Disperindag atau Dinas Kesehatan melakukan pengawasan rutin, maka tentu pelaku usaha resmipun tidak mau mengambil risiko untuk menjual pangan, obat dan kosmetika bermasalah. Tetapi sayang, disinyalir pengawasan paling banter hanya dilakukan setahun sekali menjelang khususnya hari Lebaran atau Tahun Baru.
Itupun terkesan hanya kamuflase. Sebab, jikapun terdapat temuan barang bermasalah, kelanjutan kasusnya tidak jelas, termasuk sanksi yang dapat membuat pelaku usaha jera. Padahal, di Indonesia badan yang mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap produk makanan yang beredar adalah BPOM, dari sisi adminsitrasi usaha Disperindag.
"Tetapi fungsi badan ini sepertinya kian meredup saja. Tidak ada tindakan hukum dari pihak yang berwajib, sekalipun jelas terbukti ada pelanggaran hukum. Keberadaan produk bermasalah ini sangat mengkhawatirkan karena tidak ada jaminan bagi pemenuhan hakhak konsumen," ungkap dia.
Frans marbun/ Siti amelia
Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sumut Komisaris Besar (Kombes) Pol Ahmad Haydar mengatakan, mereka mencurigai hasil pemeriksaan yang dilakuk a n BBPOM terhadap saos merek Dena, Sun Flower dan Sauce Cabe produksi PT Duta Ayumas Persada (PT DAP).
Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Labfor Mabes Polri Cabang Medan yang menyimpulkan ketiga merek saos itu mengandung zat pewarna tekstil. “Bisa saja itu terjadi (penyuapan). Perlu saya jelaskan, kami terlebih dahulu memeriksa dan meneliti saos-saos itu di labfor, barulah kemudian melakukan penggerebekan, ”katanya kepada wartawan di kantornya, kemarin.
Kasus tersebut murni pengungkapan penyidik, yakni, memeriksa saos yang beredar di lapangan dan menelitinya di labfor. Hasilnya, ada ditemukan zat berbahaya di dalam saos itu. Menurut dia, jika BBPOM menyimpulkan tidak ada zat berbahaya dalam saos tersebut kemungkinan karena ada upaya pembiaran demi keuntungan tertentu. “Saya belum bisa berpikir sejauh itu. Tetapi, jika pihak BBPOM Medan menyatakan demikian, patut dicurigai adanya upaya penyuapan dari pengusaha kepada pihak BBPOM itu,”ungkapnya.
Sebelumnya, BBPOM Sumut membantah adanya zat perwarna terkstil dalam saus merek Dena, Sun Flower dan Cabe Sauce yang dibuat PT DAP yang berlokasi di kawasan Jalan Raya Namorambe, Pasar IV, Deliserdang.
Kepala BBPOM Medan, M Ali Bata Harahap mengatakan, sesuai dengan pengawasan yang dilakukan, tidak ditemukan bahan yang berbahaya pada produk makanan yang sudah mengantongi izin dari BPOM tersebut.
“Sesuai pengawasan kami, tidak ada mengandung bahan yang terlarang. Tetapi, namanya dugaaan bisa saja kan. Makanya, sebelum ada putusan pengadilan kita mengedepankan praduga tak bersalah,”ucapnya kepada wartawan, Kamis (12/3) lalu.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Sumut, Kombes Pol Helfi Assegaf mengatakan, hingga kemarin penyidik sudah memeriksa delapan saksi, termasuk saksi ahli dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut. Penyidik pun telah memiliki tiga alat bukti permulaan yang cukup untuk menentukan tersangka dalam kasus itu.
“Sampai saat ini memang belum ada tersangka, tetapi alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan saksi ahli dan surat (dokumen). Jadi, paling lama Senin (16/3) pemeriksaan saksi akan dirampungkan dan keesokan harinya akan dilakukan gelar perkara diikuti penetapan tersangka pada Selasa (17/3),” ujarnya.
Menurut dia, barang bukti yang disita penyidik selain yang ada di pabrik dan di lapangan sebanyak 1,5 drum plastik berisi perwarna tekstil. “Uji sampling kami lakukan di Dinkes Sumut terhadap saos yang beredar di pasar dan yang ditemukan di pabrik hasilnya sama, yakni menggunakan zat pewarna tekstil,”imbuh dia.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor: 722/ Menkes/ Per/ IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahan yang dilarang digunakan pada pangan meliputi boraks/asam borat, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofuranazon, serta formalin.
Bahan berbahaya adalah bahan kimia, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi.
Ini sesuai Permenkes Nomor : 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan. Kemudian, Permenkes Nomor : 722/ Men kes/ Per/ IX/ 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan, bahan yang dilarang digunakan pada pangan meliputi boraks/asam borat, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofuranazon, serta formalin.
Dan Permenkes Nomor: 239/Menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya, memuat sebanyak 30 zat warna yang dilarang digunakan untuk pangan termasuk rhodamin B dan kuning metanil karena merugikan kesehatan manusia.
“Selain itu, pengusahanya juga dianggap melanggar Undang- Undang (UU) No 18/2012 tentang Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No 22/2001 tentang Minyak Gas dan Bumi. Perusahaan tersebut juga diduga menggunakan BBM bersubsidi. Bila terbukti, pengusaha pabrik saos bernama Jimmy itu pun terancam hukuman 15 tahun penjara.
Ditanya mengenai apakah akan menyelidiki adanya dugaan gratifikasi (suap) dari pengusaha saos kepada pihak BBPOM, mantan Kasubbid Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PID) Humas Mabes Polri ini mengatakan, penyidikan belum sampai kesitu.“Saya tidak berani berandai- andai, yang saya sebutkan ini adalah fakta hukum dalam proses penyidikan. Kalau yang lain-lain saya tidak berani menyebutkannya,” pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Polda Sumut menggerebek PT DAP, pabrik pembuat saos merek Dena, Sunflower, Cabe Sauce, Surya dan James Ketjap Tomaat karena terindikasi berbahan pewarna tekstil di Jalan Raya Namorambe, Pasar IV, Kabupaten Deliserdang, Rabu (11/3).
Dari gudang penyimpanan pabrik tersebut sebanyak 3.350 kotak saos kemasan plastik, saus sambal 60 kotak, saos dalam kemasan botol 84 kotak. Kemudian, merek Sunflower disita sebanyak 850 kotak dan Sauce Cabai diamankan 550 kotak. Sedangkan merek lainya sudah dipasang garis batas di lokasi.
Pengawasan Sangat Lemah
Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK), Farid Wajdi menuturkan, adanya temuan saos diduga dicampur dengan zat pewarna tekstil tidaklah terlalu mengejutkan.
Walaupun semua izinnya sudah lengkap, mulai dari izin produksi, izin gangguan dan izin pemasaran, tetapi kasus serupa kerap terjadi. "Apalagi Medan dan Sumatera Utara, memang surga produk makanan dan obat-obatan bermasalah. Begitu banyak sajian berita tak sedap mengisi lembaran media," katanya, kemarin.
Selama ini, jika diidentifikasi masalah utama keamanan pangan, obat dan kosmetika di Indonesia, dapat dikelompokkan menjadi lima. Pertama masih banyak ditemukan peredaran produk pangan, obat dan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
Kedua, banyak terjadi kasus penyakit dan keracunan melalui makanan, obat dan kosmetika yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan, obat dan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan terutama di industri kecil/rumah tangga, industri jasa boga dan penjual makanan jajanan.
Keempat lemahnya kredibilitas pengawasan, karena fungsi lembaga pemerintahan yang telah ditunjuk untuk melindungi konsumen, mengingat begitu banyak kandungan bahan berbahaya dalam pangan, obat dan kosmetika. Kelima rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan, obat dan kosmetika.
"Lembaga pengawas, pada intinya, sering bertindak ceroboh dan menganggap sederhana dalam melaksanakan tugasnya melindungi masyarakat. Padahal, itu sudah merupakan tanggung jawab mereka sepenuhnya," papar dia.
Dengan alasan tanggung jawab yang terlalu banyak dan lingkup area pengawasan yang terlalu luas, lembaga pengawas merasa layak untuk bekerja lebih cepat atau hanya sekadar mengemukakan wacana saja.
Jika saja pemerintah seperti BPOM, Disperindag atau Dinas Kesehatan melakukan pengawasan rutin, maka tentu pelaku usaha resmipun tidak mau mengambil risiko untuk menjual pangan, obat dan kosmetika bermasalah. Tetapi sayang, disinyalir pengawasan paling banter hanya dilakukan setahun sekali menjelang khususnya hari Lebaran atau Tahun Baru.
Itupun terkesan hanya kamuflase. Sebab, jikapun terdapat temuan barang bermasalah, kelanjutan kasusnya tidak jelas, termasuk sanksi yang dapat membuat pelaku usaha jera. Padahal, di Indonesia badan yang mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap produk makanan yang beredar adalah BPOM, dari sisi adminsitrasi usaha Disperindag.
"Tetapi fungsi badan ini sepertinya kian meredup saja. Tidak ada tindakan hukum dari pihak yang berwajib, sekalipun jelas terbukti ada pelanggaran hukum. Keberadaan produk bermasalah ini sangat mengkhawatirkan karena tidak ada jaminan bagi pemenuhan hakhak konsumen," ungkap dia.
Frans marbun/ Siti amelia
(ftr)