Hendi Tawarkan TBRS Dipindah
A
A
A
SEMARANG - Penentuan lokasi pembangunan kawasan wisata terpadu Trans Studio di kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) tampaknya sudah tidak bis ditawar.
Investor enggan berpindah ke tempat lain. Karena itu, pemerintah kota (pemkot) menawarkan kepada seniman TBRS dipindah ke lokasi lain. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengaku sangat terbuka bagi semua pihak membahas bersama bagaimana nasib TBRS. Pemkot siap memperbaiki jika para seniman dan warga yang biasa beraktivitas di TBRS menghendaki tetap ada TBRS.
“Kami sangat terbuka, temanteman maunya bagaimana, mau tetap di situ, maka TBRS kami siap perbaiki supaya TBRS menjadi satu kesatuan kompleks yang bagus. Atau mau pindah ke lokasi lain, ini kan belum pernah dibicarakan,” kata Hendi, sapaan akrab wali kota, ditemui seusai acara Musrenbang 2016 di Balai Kota Semarang, kemarin. Pertanyaan yang harus dijawab masyarakat, terutama kalangan seniman, menurut wali kota, adalah setuju atau tidak dengan pembangunan Trans Studio.
“Kalau tidak setuju ya selesai, kalau setuju mau ditaruh di mana nanti TBRS,” katanya. “Kalau kita perbaiki, catatannya apa? Kita akan perjuangkan itu sehingga saya rasa polemik ini muncul karena komunikasi kurang, sosialisasi yang belum diterima oleh masyarakat,” ujarnya. Wali kota sepakat dengan pernyataan almarhum Prof Eko Budi Rahardjo, mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) yang juga budayawan menyatakan, dalam proses pembangunan lebih baik ribut di depan daripada di belakang.
“Sehingga kalau saat ini terjadi polemik dalam agenda investasi pembangunan Trans Studio di TBRS, saya rasa itu bentuk partisipasi masyarakat karena mereka cinta dengan kota ini,” kata Hendi. Terkait aturan, Hendi yakin rencana pembangunan Trans Studi di kompleks TBRS tidak menyalahi Peraturan Daerah (Perda) No 14/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sebab kawasan TBRS diperuntukkan bagi kawasan budaya dan pariwisata. Menurut wali kota, pihak yang menyatakan melanggar RTRW dinilai hanya salah tafsir dalam memahami perda itu. Permasalahan yang muncul saat ini adalah ada sekelompok orang meyakini bahwa TBRS akan digusur. Padahal pemkot tidak ada rencana seperti itu, karena saat ini MoU baru langkah awaldari komunikasipanjangyang dilakukan dengan jajaran direksi PT Trans Retail Property.
“PT Trans akan membangunkan Trans Studio dan wahana wisata lain, pemkot menyiapkan lahannya, hanya yang ditunjuk atau pilihan mereka adalah di Wonderia,” katanya. Sebenarnya pemkot sudah menawarkan tempat lain kepada PT Trans Retail Property, namun investor tidak mau dan menghendaki di lokasi TBRS. “Saya sudah muter-muter, saya sudahajakinvestor muter-muter (mencari tempat lain) tapi nggak mau, mereka menaksirnya di situ (TBRS),” katanya.
Kepala Bidang Perencanaan pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang M Farchan mengatakan, pemkot menjamin tak akan menghilangkan fungsi kantong budaya di TBRS. Nota kesepahaman yang sudah dilaksanakan dengan investor baru tahap awal. “MoU saat ini baru sebatas perencanaan, belum ke teknis. Perencanaan selanjutnya akan melibatkan seniman, budayawan, dan masyarakat secara umum,” katanya.
Menurut Farchan, saat ini merupakan momentum untuk menata kawasan TBRS dan Wonderia. Apalagi selama ini Kota Semarang sangat minim tempat rekreasi. Ketika ada investor datang, tidak selayaknya langsung ditolak dengan alasan sebenarnya tak substansial. Dia menegaskan, kawasan TBRS peruntukannya juga memang untuk kawasan budaya dan pariwisata.
Dengan begitu, rencana pembangunan Trans Studio itu dimaksudkan untuk pengembangan kawasan itu yang justru diamanatkan dalam peraturan daerah. Sebelumnya Bappeda menginventarisasi beberapa lokasi yang dinilai bisa menjadi alternatif tempat Trans Studio selain di kompleks TBRS dan Wonderia. Salah satunya Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa Tengah, tapi saat ini lahan di PRPP bermasalah antara PT IPU dan Pemprov Jateng.
Untuk di wilayah pinggiran seperti di Kecamatan Gunungpati, Mijen, Ngaliyan dan Tugu, pihaknya belum memberi rekomendasi karena dapat merusak tatanan keruangan yang ada. Selain itu, kawasan pinggiran itu peruntukan bagi kawasan sub-urban dengan mempertahankan fungsi resapan sehingga tak mungkin direkomendasikan.
“Jika Trans Studio didirikan di BSB Ngaliyan misalnya, akan memperparah kerusakan wilayah konservasi di wilayah atas,” ujarnya. Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi berubah sikap dari sebelumnya menentang berbalik mendukung pembangunan Trans Semarang. Alasannya dalam Perda No 14/2011tentangRTRWternyata disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan kawasan di TBRS untuk wisata.
“Artinya kawasan TBRS itu bisa untuk dikembangkan, salah satunya seperti untuk dibangun Trans Studio ini,” katanya. Namun, dia tetap menegaskan, pemkot harus melakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap dampak yang ditimbulkan. Tidak hanya dampak ekonomi, tapi juga dampak lingkungan, sosial, transportasi, dan lainnya. Dalam kajian itu, para seniman dan semua pihak yang terkait harus dilibatkan.
“Yang jelas ternyata dalam Perda RTRW itu pengembangan dan peningkatan wisata alam dan cagar budaya bisa di kawasan TBRS. Jadisudahjelasbahwakawasanitu bisa dikembangkan dan ditingkatkan untuk dibangun suatu destinasi wisata baru, yaitu Trans Studio,” kata politikus PDIP ini. Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang Wachid Nurmiyanto meminta pemkot menjelaskan perbedaan antara MoU dan perjanjian kesepakatan bersama.
Sebab kesepakatan bersama seperti yang dilakukan antara Pemkot dan PT Trans Retail Property itu, sifatnya masih umum. Dalam hal ini tidak harus ada pembahasan dan persetujuan dari dewan, termasuk tidak harus melibatkan atau membicarakan dulu dengan seniman. “Kalau dilihat dokumennya itu judulnya kan kesepakatan bersama antara Pemerintah Kota Semarang dan PT Trans Ritel Properti. Disebutkan juga bahwa halhal yang belum diatur dalam kesepakatan bersama akan dibicarakan terlebih dahulu, artinya belum rinci,” katanya.
Sementara MoU itu sudah teknis merinci tentang hal seperti gambar, luas, dan lainnya. Hal itu nanti tentu harus dibahas dan berdasarkan persetujuan dewan dan berdasarkan pembicaraan dengan semua pemangku kepentingan, terutama para seniman dan budayawan.
M abduh
Investor enggan berpindah ke tempat lain. Karena itu, pemerintah kota (pemkot) menawarkan kepada seniman TBRS dipindah ke lokasi lain. Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengaku sangat terbuka bagi semua pihak membahas bersama bagaimana nasib TBRS. Pemkot siap memperbaiki jika para seniman dan warga yang biasa beraktivitas di TBRS menghendaki tetap ada TBRS.
“Kami sangat terbuka, temanteman maunya bagaimana, mau tetap di situ, maka TBRS kami siap perbaiki supaya TBRS menjadi satu kesatuan kompleks yang bagus. Atau mau pindah ke lokasi lain, ini kan belum pernah dibicarakan,” kata Hendi, sapaan akrab wali kota, ditemui seusai acara Musrenbang 2016 di Balai Kota Semarang, kemarin. Pertanyaan yang harus dijawab masyarakat, terutama kalangan seniman, menurut wali kota, adalah setuju atau tidak dengan pembangunan Trans Studio.
“Kalau tidak setuju ya selesai, kalau setuju mau ditaruh di mana nanti TBRS,” katanya. “Kalau kita perbaiki, catatannya apa? Kita akan perjuangkan itu sehingga saya rasa polemik ini muncul karena komunikasi kurang, sosialisasi yang belum diterima oleh masyarakat,” ujarnya. Wali kota sepakat dengan pernyataan almarhum Prof Eko Budi Rahardjo, mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) yang juga budayawan menyatakan, dalam proses pembangunan lebih baik ribut di depan daripada di belakang.
“Sehingga kalau saat ini terjadi polemik dalam agenda investasi pembangunan Trans Studio di TBRS, saya rasa itu bentuk partisipasi masyarakat karena mereka cinta dengan kota ini,” kata Hendi. Terkait aturan, Hendi yakin rencana pembangunan Trans Studi di kompleks TBRS tidak menyalahi Peraturan Daerah (Perda) No 14/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sebab kawasan TBRS diperuntukkan bagi kawasan budaya dan pariwisata. Menurut wali kota, pihak yang menyatakan melanggar RTRW dinilai hanya salah tafsir dalam memahami perda itu. Permasalahan yang muncul saat ini adalah ada sekelompok orang meyakini bahwa TBRS akan digusur. Padahal pemkot tidak ada rencana seperti itu, karena saat ini MoU baru langkah awaldari komunikasipanjangyang dilakukan dengan jajaran direksi PT Trans Retail Property.
“PT Trans akan membangunkan Trans Studio dan wahana wisata lain, pemkot menyiapkan lahannya, hanya yang ditunjuk atau pilihan mereka adalah di Wonderia,” katanya. Sebenarnya pemkot sudah menawarkan tempat lain kepada PT Trans Retail Property, namun investor tidak mau dan menghendaki di lokasi TBRS. “Saya sudah muter-muter, saya sudahajakinvestor muter-muter (mencari tempat lain) tapi nggak mau, mereka menaksirnya di situ (TBRS),” katanya.
Kepala Bidang Perencanaan pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang M Farchan mengatakan, pemkot menjamin tak akan menghilangkan fungsi kantong budaya di TBRS. Nota kesepahaman yang sudah dilaksanakan dengan investor baru tahap awal. “MoU saat ini baru sebatas perencanaan, belum ke teknis. Perencanaan selanjutnya akan melibatkan seniman, budayawan, dan masyarakat secara umum,” katanya.
Menurut Farchan, saat ini merupakan momentum untuk menata kawasan TBRS dan Wonderia. Apalagi selama ini Kota Semarang sangat minim tempat rekreasi. Ketika ada investor datang, tidak selayaknya langsung ditolak dengan alasan sebenarnya tak substansial. Dia menegaskan, kawasan TBRS peruntukannya juga memang untuk kawasan budaya dan pariwisata.
Dengan begitu, rencana pembangunan Trans Studio itu dimaksudkan untuk pengembangan kawasan itu yang justru diamanatkan dalam peraturan daerah. Sebelumnya Bappeda menginventarisasi beberapa lokasi yang dinilai bisa menjadi alternatif tempat Trans Studio selain di kompleks TBRS dan Wonderia. Salah satunya Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa Tengah, tapi saat ini lahan di PRPP bermasalah antara PT IPU dan Pemprov Jateng.
Untuk di wilayah pinggiran seperti di Kecamatan Gunungpati, Mijen, Ngaliyan dan Tugu, pihaknya belum memberi rekomendasi karena dapat merusak tatanan keruangan yang ada. Selain itu, kawasan pinggiran itu peruntukan bagi kawasan sub-urban dengan mempertahankan fungsi resapan sehingga tak mungkin direkomendasikan.
“Jika Trans Studio didirikan di BSB Ngaliyan misalnya, akan memperparah kerusakan wilayah konservasi di wilayah atas,” ujarnya. Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi berubah sikap dari sebelumnya menentang berbalik mendukung pembangunan Trans Semarang. Alasannya dalam Perda No 14/2011tentangRTRWternyata disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan kawasan di TBRS untuk wisata.
“Artinya kawasan TBRS itu bisa untuk dikembangkan, salah satunya seperti untuk dibangun Trans Studio ini,” katanya. Namun, dia tetap menegaskan, pemkot harus melakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap dampak yang ditimbulkan. Tidak hanya dampak ekonomi, tapi juga dampak lingkungan, sosial, transportasi, dan lainnya. Dalam kajian itu, para seniman dan semua pihak yang terkait harus dilibatkan.
“Yang jelas ternyata dalam Perda RTRW itu pengembangan dan peningkatan wisata alam dan cagar budaya bisa di kawasan TBRS. Jadisudahjelasbahwakawasanitu bisa dikembangkan dan ditingkatkan untuk dibangun suatu destinasi wisata baru, yaitu Trans Studio,” kata politikus PDIP ini. Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang Wachid Nurmiyanto meminta pemkot menjelaskan perbedaan antara MoU dan perjanjian kesepakatan bersama.
Sebab kesepakatan bersama seperti yang dilakukan antara Pemkot dan PT Trans Retail Property itu, sifatnya masih umum. Dalam hal ini tidak harus ada pembahasan dan persetujuan dari dewan, termasuk tidak harus melibatkan atau membicarakan dulu dengan seniman. “Kalau dilihat dokumennya itu judulnya kan kesepakatan bersama antara Pemerintah Kota Semarang dan PT Trans Ritel Properti. Disebutkan juga bahwa halhal yang belum diatur dalam kesepakatan bersama akan dibicarakan terlebih dahulu, artinya belum rinci,” katanya.
Sementara MoU itu sudah teknis merinci tentang hal seperti gambar, luas, dan lainnya. Hal itu nanti tentu harus dibahas dan berdasarkan persetujuan dewan dan berdasarkan pembicaraan dengan semua pemangku kepentingan, terutama para seniman dan budayawan.
M abduh
(ars)