Warga Miskin Tinggal di Rumah Mirip Kandang Ternak
A
A
A
TEGAL - Perhatian Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal kepada warga miskin di wilayah setempat ternyata masih belum sepenuhnya dirasakan.
Ini ditunjukkan dengan masih adanya warga yang tinggal di rumah menyerupai kandang hewan ternak selama bertahun-tahun.
Juminem (71), salah satunya. Dia tak pernah tersentuh bantuan rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang hampir tiap tahun digelontorkan pemkot.
Padahal rumahnya di Jalan Blanak, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, tergolong sangat tidak layak disebut sebagai tempat tinggal.
Rumah tersebut hanya berukuran sekitar 2 x 4 meter dan masih beralaskan tanah. Dindingnya masih berupa kayu, seng, dan bambu yang dipasang sekadarnya untuk menghalau hawa dingin angin malam.
Kontras dengan kondisi rumah di sekelilingnya yang megah, luas dan seluruhnya sudah berdinding tembok. Kondisi di dalam rumah pun sangat memprihatinkan. Selain sempit dan gelap, tidak ada perkakas rumah tangga seperti kompor, piring, gelas, dan tempat tidur yang nyaman.
"Tempat tidur" yang ada hanyalah bambu-bambu yang dijejer. Lokasinya berdekatan dengan tempat memasak yang masih menggunakan kayu bakar. "Mau bagaimana lagi wong tidak punya apa-apa. Bapak (suami) juga sudah meninggal, tidak ada yang membantu," tutur Juminem saat ditemui sindonews.com, Jumat (27/2/2015).
Saat hujan deras turun, Juminem juga selalu was-was. Sebab, dipastikan bagian depan rumah tergenang banjir karena kondisi tanah tempat rumahnya berdiri dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. "Kalau hujan deras pasti banjir. Takutnya masuk ke rumah," ucapnya.
Di rumah tersebut, Juminem hanya tinggal seorang diri karena suaminya, Samadi, sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Sedangkan anak satu-satunya maupun saudara-saudaranya sudah tidak ada yang peduli dengan kehidupannya. "Anak sudah tinggal di Kalimantan, tidak pernah pulang," ungkapnya.
Ironisnya, Juminem selama ini tidak pernah mendapat bantuan rehabilitasi rumah dari pemerintah. Begitu juga dengan bantuan untuk warga miskin lainnya, seperti bantuan dana program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) yang merupakan bantuan kompensasi kenaikan harga BBM.
"Kalau ada (bagian rumah) yang rusak ya diperbaiki sendiri," ungkapnya. Meski hidup sebatang kara, Juminem enggan untuk menggantungkan hidup pada kebaikan dan pemberian orang.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia berjualan rempeyek kacang, atau rempeyek udang dengan cara berkeliling ke sejumlah tempat. Penghasilan dari makanan yang dibikin sendiri itu tidak menentu. "Dapatnya Rp50 ribu-Rp60 ribu. Jualannya juga tidak setiap hari. Kalau sekiranya kuat jalan saja, " tuturnya.
Selain untuk makan sehari-hari dan untuk modal berjualan, hasil berjualan itu juga digunakan untuk membayar biaya penyaluran listrik ke tetangganya. Lampu 5 watt yang menerangi rumahnya disalurkan dari salah satu rumah dan hanya menyala pada malam hari. "Bayarnya Rp25 ribu per bulan," ucap dia.
Sementara itu, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Tegal Barat Raharjo mengatakan, pihaknya akan memberikan pendampingan kepada Juminem dan segera melaporkan keberadaannya ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
"Kami akan koordinasi dengan lurah dan buat laporan ke Dinas Sosial agar bisa dapat bantuan untuk meringankan beban hidupnya," katanya, Jumat (27/2/2015).
Ini ditunjukkan dengan masih adanya warga yang tinggal di rumah menyerupai kandang hewan ternak selama bertahun-tahun.
Juminem (71), salah satunya. Dia tak pernah tersentuh bantuan rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang hampir tiap tahun digelontorkan pemkot.
Padahal rumahnya di Jalan Blanak, Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, tergolong sangat tidak layak disebut sebagai tempat tinggal.
Rumah tersebut hanya berukuran sekitar 2 x 4 meter dan masih beralaskan tanah. Dindingnya masih berupa kayu, seng, dan bambu yang dipasang sekadarnya untuk menghalau hawa dingin angin malam.
Kontras dengan kondisi rumah di sekelilingnya yang megah, luas dan seluruhnya sudah berdinding tembok. Kondisi di dalam rumah pun sangat memprihatinkan. Selain sempit dan gelap, tidak ada perkakas rumah tangga seperti kompor, piring, gelas, dan tempat tidur yang nyaman.
"Tempat tidur" yang ada hanyalah bambu-bambu yang dijejer. Lokasinya berdekatan dengan tempat memasak yang masih menggunakan kayu bakar. "Mau bagaimana lagi wong tidak punya apa-apa. Bapak (suami) juga sudah meninggal, tidak ada yang membantu," tutur Juminem saat ditemui sindonews.com, Jumat (27/2/2015).
Saat hujan deras turun, Juminem juga selalu was-was. Sebab, dipastikan bagian depan rumah tergenang banjir karena kondisi tanah tempat rumahnya berdiri dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. "Kalau hujan deras pasti banjir. Takutnya masuk ke rumah," ucapnya.
Di rumah tersebut, Juminem hanya tinggal seorang diri karena suaminya, Samadi, sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu. Sedangkan anak satu-satunya maupun saudara-saudaranya sudah tidak ada yang peduli dengan kehidupannya. "Anak sudah tinggal di Kalimantan, tidak pernah pulang," ungkapnya.
Ironisnya, Juminem selama ini tidak pernah mendapat bantuan rehabilitasi rumah dari pemerintah. Begitu juga dengan bantuan untuk warga miskin lainnya, seperti bantuan dana program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS) yang merupakan bantuan kompensasi kenaikan harga BBM.
"Kalau ada (bagian rumah) yang rusak ya diperbaiki sendiri," ungkapnya. Meski hidup sebatang kara, Juminem enggan untuk menggantungkan hidup pada kebaikan dan pemberian orang.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia berjualan rempeyek kacang, atau rempeyek udang dengan cara berkeliling ke sejumlah tempat. Penghasilan dari makanan yang dibikin sendiri itu tidak menentu. "Dapatnya Rp50 ribu-Rp60 ribu. Jualannya juga tidak setiap hari. Kalau sekiranya kuat jalan saja, " tuturnya.
Selain untuk makan sehari-hari dan untuk modal berjualan, hasil berjualan itu juga digunakan untuk membayar biaya penyaluran listrik ke tetangganya. Lampu 5 watt yang menerangi rumahnya disalurkan dari salah satu rumah dan hanya menyala pada malam hari. "Bayarnya Rp25 ribu per bulan," ucap dia.
Sementara itu, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Tegal Barat Raharjo mengatakan, pihaknya akan memberikan pendampingan kepada Juminem dan segera melaporkan keberadaannya ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
"Kami akan koordinasi dengan lurah dan buat laporan ke Dinas Sosial agar bisa dapat bantuan untuk meringankan beban hidupnya," katanya, Jumat (27/2/2015).
(lis)