Butuh Perlindungan Pemerintah
A
A
A
KUDUS - Eksistensi industri rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kabupaten Kudus kian terancam. Himpitan regulasi, ketatnya persaingan, dan maraknya rokok ilegal membuat industri yang menyerap banyak tenaga kerja ini kembang kempis.
Pemilik pabrik rokok (PR) Kembang Arum, Peter MF, mengatakan industri SKT semakin sulit berkembang dalam sepuluh tahun terakhir. Jangankan mengembangkan usaha, pihaknya hanya dapat bertahan agar usahanya tidak bangkrut. Beberapa tahun lalu, PR Kembang Arum dapat mempekerjakan ratusan buruh rokok, tapi kini hanya tinggal sekitar 50-75 orang.
“Sebenarnya saya malah ingin menutup usaha ini. Namun karena alasan kemanusiaan akhirnya tetap saya pertahankan. Kalau saya tutup, bagaimana nasib puluhan pekerja itu,” kata Peter saat ditemui di gudangnya kemarin.
Menurut Peter, berbagai regulasi menghimpit industri SKT. Mulai dari aturan luasan tempat produksi, kenaikan tarif cukai, pajak ganda, dan lain sebagainya. Masih diperparah dengan harga bahan baku seperti cengkeh dan tembakau yang naik dari tahun ke tahun. Selain itu, ada kompetisi antarperusahaan yang ketat. Pabrikan besar ternyata juga menyasar pangsa pasar rokok kelas guram.
Kondisi ini masih diperparah dengan maraknya rokok ilegal yang harga jualnya jauh lebih murah. “Orang cenderung memilih yang harganya murah. Makanya, usaha SKT resmi saat ini hanya sekadar bertahan dan bertahan saja,’’ ujarnya Kondisi serupa juga diungkapkan pemilik PR Madja, Umar Ali.
Umar juga mengaku sejak lama ingin menutup industri SKT yang digelutinya. Namun karena merasa bertanggung jawab dengan nasib karyawannya, usaha tersebut akhirnya tetap dipertahankannya. Umar menuding pemerintah tidak punya komitmen melindungi industri kretek Tanah Air. Pemerintah dinilai cenderung membuka pintu bagi masuknya korporasi asing untuk menguasai pasar rokok dalam negeri.
Menurut Ketua Harian Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) Agus Sarjono, industri SKT sangat membutuhkan perlindungan dari pemerintah. Pengambil kebijakan mestinya bisa melindungi industri rokok kretek yang merupakan warisan budaya ekonomi asli negeri ini. “Regulasi pemerintah itu sebenarnya mengganggu pelaku industri rokok. Itu sudah bukan rahasia lagi,” tandasnya.
Di Kudus ada lebih dari 50.000 buruh rokok yang bekerja di barak atau gudang produksi rokok SKT. Bila ditambah dengan sentra produksi serupa di daerah lainnya, jumlahnya dimungkinkan dapat mencapai ratusan ribu bahkan jutaan buruh.
Menurut Agus, jika tidak ada perlindungan dari pemerintah, selain akan mengurangi pendapatan negara, tapi juga akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh yang bekerja di sektor industri SKT. “Industri SKT itu padat karya. Oleh karena itu, butuh perlindungan dan komitmen dari pemerintah,” ucapnya.
Muhammad oliez
Pemilik pabrik rokok (PR) Kembang Arum, Peter MF, mengatakan industri SKT semakin sulit berkembang dalam sepuluh tahun terakhir. Jangankan mengembangkan usaha, pihaknya hanya dapat bertahan agar usahanya tidak bangkrut. Beberapa tahun lalu, PR Kembang Arum dapat mempekerjakan ratusan buruh rokok, tapi kini hanya tinggal sekitar 50-75 orang.
“Sebenarnya saya malah ingin menutup usaha ini. Namun karena alasan kemanusiaan akhirnya tetap saya pertahankan. Kalau saya tutup, bagaimana nasib puluhan pekerja itu,” kata Peter saat ditemui di gudangnya kemarin.
Menurut Peter, berbagai regulasi menghimpit industri SKT. Mulai dari aturan luasan tempat produksi, kenaikan tarif cukai, pajak ganda, dan lain sebagainya. Masih diperparah dengan harga bahan baku seperti cengkeh dan tembakau yang naik dari tahun ke tahun. Selain itu, ada kompetisi antarperusahaan yang ketat. Pabrikan besar ternyata juga menyasar pangsa pasar rokok kelas guram.
Kondisi ini masih diperparah dengan maraknya rokok ilegal yang harga jualnya jauh lebih murah. “Orang cenderung memilih yang harganya murah. Makanya, usaha SKT resmi saat ini hanya sekadar bertahan dan bertahan saja,’’ ujarnya Kondisi serupa juga diungkapkan pemilik PR Madja, Umar Ali.
Umar juga mengaku sejak lama ingin menutup industri SKT yang digelutinya. Namun karena merasa bertanggung jawab dengan nasib karyawannya, usaha tersebut akhirnya tetap dipertahankannya. Umar menuding pemerintah tidak punya komitmen melindungi industri kretek Tanah Air. Pemerintah dinilai cenderung membuka pintu bagi masuknya korporasi asing untuk menguasai pasar rokok dalam negeri.
Menurut Ketua Harian Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) Agus Sarjono, industri SKT sangat membutuhkan perlindungan dari pemerintah. Pengambil kebijakan mestinya bisa melindungi industri rokok kretek yang merupakan warisan budaya ekonomi asli negeri ini. “Regulasi pemerintah itu sebenarnya mengganggu pelaku industri rokok. Itu sudah bukan rahasia lagi,” tandasnya.
Di Kudus ada lebih dari 50.000 buruh rokok yang bekerja di barak atau gudang produksi rokok SKT. Bila ditambah dengan sentra produksi serupa di daerah lainnya, jumlahnya dimungkinkan dapat mencapai ratusan ribu bahkan jutaan buruh.
Menurut Agus, jika tidak ada perlindungan dari pemerintah, selain akan mengurangi pendapatan negara, tapi juga akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh yang bekerja di sektor industri SKT. “Industri SKT itu padat karya. Oleh karena itu, butuh perlindungan dan komitmen dari pemerintah,” ucapnya.
Muhammad oliez
(ftr)