Bel Masuk Sekolah pun Menunggu Berkumpulnya Siswa

Senin, 26 Januari 2015 - 11:44 WIB
Bel Masuk Sekolah pun Menunggu Berkumpulnya Siswa
Bel Masuk Sekolah pun Menunggu Berkumpulnya Siswa
A A A
SEMARANG - Mengajar merupakan aktivitas mulia. Ini akan menjadi sangat istimewa jika para pengajar tetap berjuang di tengah keterbatasan.

Seperti yang dilakoni para sarjana di Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal (SM3T) asal Jawa Tengah ini. Mereka ditempatkan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ujung perbatasan teritori Indonesia - Malaysia.

Ya, mengajar di kawasan 3 T (terdepan, terluar, tertinggal) tentu sangat berbeda kondisinya di banding daerah lain yang sudah maju. Para sarjana muda terpilih ini dihadapkan dengan berbagai keterbatasan, di antaranya terbatasnya sinyal seluler, listrik serbaterbatas, jalanan rusak, kondisi alam hingga terlambatnya buku ajar.

Salah satu pengajar di sana, Rizky Dwi Arifianti, 24, menuturkan kisahnya kepada KORAN SINDO via sambungan telepon seluler. Obrolan dengan gadis asli Kota Tegal itu sesekali terputus karena minim sinyal. Fifi, sapaan akrabnya, mengajar di SMAN 1 Beduai, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, satu-satunya SMA di kecamatan itu.

“Buku ajar menjadi persoalan tersendiri, dari Kurikulum Ting kat Satuan Pendidikan (KTSP). Sampai sekarang, awal tahun ajaran baru 2014-2015, kami belum dapat bukunya. Seharus nya buku itu sudah siap,” kata lulusan Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu kepada KORAN SINDO , Rabu (21/1/2015).

Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Bahasa Indonesia itu melanjutkan, dengan buku ajar yang tidak ada bu kan ber arti kegiatan belajar mengajar (KBM) berhenti. Dia seperti pengajar SM3T lain pun memutar otak bagaimana tetap memberikan materi kepada siswa- siswinya.

Alhasil, berbekal materi dari internet, hingga bahan-bahan saat kuliah dulu, KBM tetap berjalan. Persoalan jam masuk sekolah menjadi cerita tersendiri. Bel sekolah dibunyikan menunggu siswa-siswinya berkumpul. Itu karena jarak antara rumah siswa dan sekolah terpaut sangat jauh. Beberapa siswa bahkan terpaksa naik mobil bak terbuka demi sampai ke sekolah tercinta.

“Bel masuk biasanya jam08.00-08.30, karena menunggu semua murid kumpul. Kami maklumi karena jarak rumah ke sekolah memang sangat jauh. Jadi, tidak bisa dipastikan masuk sekolah jam berapa, intinya menunggu semua murid berkumpul,” ungkapnya.

Di beberapa tempat lain juga masih di perbatasan keadaannya disebut lebih parah, Semisal di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Di sana tidak ada listrik, tidak ada sinyal, bahkan air yang digunakan MCK pun berwarna hitam karena tercemar limbah tambang emas.

“Banyak babi berkeliaran. Jalannya juga rusak. Di sini (perbatasan) jalan beraspal cuma Lintas Malindo (Malaysia-Indonesia). Kondisi jalan lain, aspal rusak parah, bahkan berbatu,” ungkap Fifi.

Mengajar di sana memberi pengalaman sendiri baginya. Bagaimana menemui pelajar-pelajar SMP yang ternyata belum bisa membaca, menghitung, dan menulis. “Akhirnya kami buat program Calistung (Baca Tulis Hitung) untuk murid-murid SMP,” kata Fifi.

Peduli Banjir

Ternyata, di tengah kondisi serbaterbatas ini tak membuat para sarjana SM3T mengeluh. Di tengah keterbatasan itu pula naluri sosial peduli sesamanya masih sangat tinggi. Ini seiring dengan banjir cukup besar yang melanda perbatasan beberapa hari terakhir. Hujan deras sejak Jumat pekan lalu membuat daerah sekitaran Lintas Malindo banjir.

Kondisi ini juga melumpuhkan KBM. Sekolah-sekolah terendam. Di antaranya SMAN 1 Sekayam, SMAN 1 Beduai, dan SDN 02 Panga, Kalimantan Barat. Para sarjana SM3T itu tak tinggal diam. Mengingat bantuan pemerintah tak juga datang, mereka tergerak menggalang dana.

Dengan sesamanya, termasuk pengajar SM3T di Aceh, Padang, hingga Papua, mereka menggalang dana. Uang saku saat berangkat dulu disisihkan sedikit demi sedikit untuk diberikan ke korban banjir. “Kami berkomunikasi via grup SM3T di BlackBerry Messenger (BBM). Pelan-pelan karena memang susah sinyal. Ini yang baru masuk bantuan dari anak-anak SM3T Aceh, dikirim ke rekening. Jika sudah terkumpul semua, uang diambil di bank,” papar Fifi.

Teman-teman Fifi yang ikut mengajar di sana, di antaranya Nailil Muna, 23, asli Demak dan Himatul Amanah, 24, asal Jawa Timur saat ini sedang bersama- sama melakukan penggalangan dana antar sesama pengajar SM3T. “Sekolah di SMAN 1 Sekayam memang ikut banjir,” ujar Nailil, yang merupakan guru Sosiologi Antropologi itu.

Eka Setiawan
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1599 seconds (0.1#10.140)