Kalau Sudah Baca, Anak-anak Pun Suka Lupa Waktu
A
A
A
Jika melintas di kawasan Banyumanik, tidak ada salahnya mampir ke Jalan Meranti Timur Dalam 1 kawasan Banyumanik.
Di situ terdapat sebuah pondok baca bernama Pondok Baca Mortir yang dapat dikunjungi siapa saja secara gratis. Tak hanya untuk orang dewasa, pondok baca tersebut juga
menyediakan buku-buku bagi pelajar hingga untuk anakanak yang masih duduk di bangku Taman kanak-kanak maupun bagi mereka yang masih duduk di bangku playgroup . Selain
buku bacaan, juga disediakan buku cerita bergambar (cergam) yang pastinya digemari anak-anak. Setidaknya ada 50-an anak dari TK dan Playgrup Tadika Putri yang kala itu
berkunjung ke rumah baca tersebut.
Tanpa dikomando, mereka langsung menyerbu ribuan buku yang sudah tertata di rak. Tingkah polah lucu anak-anak pun mengundang senyum ketika mereka menikmati tiap buku
yang mereka ambil dan baca. Seperti Athier, 5, ketika menemukan buku cergam tentang binatang, senang bukan kepalang ketika melihat gambar yang ada di dalam buku yang
dibawanya. Sesekali, dia mempraktekkan gambar hewan di dalamnya.
“Banyak gambar hewannya. Yang ini aku suka, ada gambar macan. Biar bisa mengaum, auuuumm ,” celotehnya sambil menirukan gaya mencengkeram seperti harimau sungguhan.
Tak hanya Athier, rekanrekan seusianya yang lain juga begitu asyik membaca atau sekadar melihat-lihat gambar-gambar yang ada pada buku yang dipilih. Sesekali mereka
tertawa, dan ada pula yang berebut buku di antara mereka. Memang lucu melihat tingkah polah mereka itu.
“Kami mengajak anak-anak ke sini memang sengaja, ingin merangsang rasa keingintahuan mereka dan memperoleh ilmu melalui buku yang dibaca. Dengan begitu, pembelajaran
tak hanya berlangsung di dalam kelas, namun juga ke luar kelas seperti mengunjungi pondok baca seperti ini,” ungkap Kepala TK dan Playgroup Tadika Puri Sri Ningsih.
Menurut Ningsih, budaya membaca harus dikenalkan kepada anak sedini mungkin.
Selain dapat menambah pengetahuan bagi sang anak, kegiatan membaca sama sekali tidak ada ruginya. Dia berencana menggelar kunjungan ke pondok baca minimal satu atau
dua bulan sekali agar anak-anak didiknya bersemangat. “Ini memang baru pertama kali ke sini. Setelah kami lihat, ternyata antusias mereka sangat tinggi. Ke depan, kami
akan jadikan agenda rutin.
Tak hanya buku, di sini juga ada apotek hidup yang dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu, bukan hanya untuk anak saja, tapi juga bagi guru dan wali muridnya,” ucapnya.
Pengelola yang juga sekaligus pemilik Pondok Baca Mortir Parmanto menyebutkan, pondok baca tersebut sudah berdiri sejak 2003. Sejak pertama berdiri, diakui memang
sering menjadi persinggahan anak-anak sekolah sepulangnya dari sekolahan.
Tak hanya anak sekolah, pengunjung umum dan para pekerja juga kerap mampir untuk membacabaca buku di tempat itu. Saat ini Pondok Baca Mortir memiliki koleksi buku
sekitar 10.000-an. Agar lebih mudah pada pengelolaan dan mengakses buku-buku itu, pihaknya ke depan juga akan mendigitalisasikan koleksi buku yang ada di situ.
Dengan begitu, di dalam pondok baca itu juga akan terdapat perpustakaan digital yang makin mudah diakses secara luas di samping buku-buku fisik yang ada tetap dirawat.
“Memang arahnya ke depan ke sana. Jadi, nanti bisa lebih ringkas dan bisa dibaca dengan mudah melalui komputer,” ucapnya.
Dalam sebulan setidaknya ratusan orang berkunjung di pondok baca yang tidak menerapkan tarif alias gratis tersebut. Buku yang dibaca pun bisa dibawa pulang, tapi untuk
yang satu ini memang ada tarif tersendiri jika terlalu lama tak dikembalikan. “Kalau lama banget memang ada biaya administrasinya. Itu pun hanya Rp 1.000. Buku yang
dibawa pulang memang terkadang sering ada kerusakan seperti sobek atau tercoret. Ada juga yang sampai tidak kembali,” ungkapnya.
Pondok baca ini bisa dibilang perpustakaan terlaris di era modern. Tempat yang rata-rata dikunjungi 100 orang per bulan ini tidak menarik biaya bagi siapa saja yang
membaca koleksi bukunya. Termasuk menyewa dan membawa pulang. “Tapi kalau lama banget, biasanya ada administrasinya. Itu pun hanya Rp 1.000. Biasanya, buku yang dibawa
pulang sering rusak. Seperti sobek atau ada coretannya. Ada juga yang malah tidak mengembalikannya,” timpal sang istri, Dwi Rukmini.
Untuk mengembangkan Pondok Baca Mortir, Istri Parmanto, Dwi Rukmini menyebutkan bahwa pihaknya menggandeng sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbasis di
Amerika Serikat. Termasuk penyediaan bukubuku di pondok baca itu.
Susilo Himawan Kota Semarang
Di situ terdapat sebuah pondok baca bernama Pondok Baca Mortir yang dapat dikunjungi siapa saja secara gratis. Tak hanya untuk orang dewasa, pondok baca tersebut juga
menyediakan buku-buku bagi pelajar hingga untuk anakanak yang masih duduk di bangku Taman kanak-kanak maupun bagi mereka yang masih duduk di bangku playgroup . Selain
buku bacaan, juga disediakan buku cerita bergambar (cergam) yang pastinya digemari anak-anak. Setidaknya ada 50-an anak dari TK dan Playgrup Tadika Putri yang kala itu
berkunjung ke rumah baca tersebut.
Tanpa dikomando, mereka langsung menyerbu ribuan buku yang sudah tertata di rak. Tingkah polah lucu anak-anak pun mengundang senyum ketika mereka menikmati tiap buku
yang mereka ambil dan baca. Seperti Athier, 5, ketika menemukan buku cergam tentang binatang, senang bukan kepalang ketika melihat gambar yang ada di dalam buku yang
dibawanya. Sesekali, dia mempraktekkan gambar hewan di dalamnya.
“Banyak gambar hewannya. Yang ini aku suka, ada gambar macan. Biar bisa mengaum, auuuumm ,” celotehnya sambil menirukan gaya mencengkeram seperti harimau sungguhan.
Tak hanya Athier, rekanrekan seusianya yang lain juga begitu asyik membaca atau sekadar melihat-lihat gambar-gambar yang ada pada buku yang dipilih. Sesekali mereka
tertawa, dan ada pula yang berebut buku di antara mereka. Memang lucu melihat tingkah polah mereka itu.
“Kami mengajak anak-anak ke sini memang sengaja, ingin merangsang rasa keingintahuan mereka dan memperoleh ilmu melalui buku yang dibaca. Dengan begitu, pembelajaran
tak hanya berlangsung di dalam kelas, namun juga ke luar kelas seperti mengunjungi pondok baca seperti ini,” ungkap Kepala TK dan Playgroup Tadika Puri Sri Ningsih.
Menurut Ningsih, budaya membaca harus dikenalkan kepada anak sedini mungkin.
Selain dapat menambah pengetahuan bagi sang anak, kegiatan membaca sama sekali tidak ada ruginya. Dia berencana menggelar kunjungan ke pondok baca minimal satu atau
dua bulan sekali agar anak-anak didiknya bersemangat. “Ini memang baru pertama kali ke sini. Setelah kami lihat, ternyata antusias mereka sangat tinggi. Ke depan, kami
akan jadikan agenda rutin.
Tak hanya buku, di sini juga ada apotek hidup yang dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu, bukan hanya untuk anak saja, tapi juga bagi guru dan wali muridnya,” ucapnya.
Pengelola yang juga sekaligus pemilik Pondok Baca Mortir Parmanto menyebutkan, pondok baca tersebut sudah berdiri sejak 2003. Sejak pertama berdiri, diakui memang
sering menjadi persinggahan anak-anak sekolah sepulangnya dari sekolahan.
Tak hanya anak sekolah, pengunjung umum dan para pekerja juga kerap mampir untuk membacabaca buku di tempat itu. Saat ini Pondok Baca Mortir memiliki koleksi buku
sekitar 10.000-an. Agar lebih mudah pada pengelolaan dan mengakses buku-buku itu, pihaknya ke depan juga akan mendigitalisasikan koleksi buku yang ada di situ.
Dengan begitu, di dalam pondok baca itu juga akan terdapat perpustakaan digital yang makin mudah diakses secara luas di samping buku-buku fisik yang ada tetap dirawat.
“Memang arahnya ke depan ke sana. Jadi, nanti bisa lebih ringkas dan bisa dibaca dengan mudah melalui komputer,” ucapnya.
Dalam sebulan setidaknya ratusan orang berkunjung di pondok baca yang tidak menerapkan tarif alias gratis tersebut. Buku yang dibaca pun bisa dibawa pulang, tapi untuk
yang satu ini memang ada tarif tersendiri jika terlalu lama tak dikembalikan. “Kalau lama banget memang ada biaya administrasinya. Itu pun hanya Rp 1.000. Buku yang
dibawa pulang memang terkadang sering ada kerusakan seperti sobek atau tercoret. Ada juga yang sampai tidak kembali,” ungkapnya.
Pondok baca ini bisa dibilang perpustakaan terlaris di era modern. Tempat yang rata-rata dikunjungi 100 orang per bulan ini tidak menarik biaya bagi siapa saja yang
membaca koleksi bukunya. Termasuk menyewa dan membawa pulang. “Tapi kalau lama banget, biasanya ada administrasinya. Itu pun hanya Rp 1.000. Biasanya, buku yang dibawa
pulang sering rusak. Seperti sobek atau ada coretannya. Ada juga yang malah tidak mengembalikannya,” timpal sang istri, Dwi Rukmini.
Untuk mengembangkan Pondok Baca Mortir, Istri Parmanto, Dwi Rukmini menyebutkan bahwa pihaknya menggandeng sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berbasis di
Amerika Serikat. Termasuk penyediaan bukubuku di pondok baca itu.
Susilo Himawan Kota Semarang
(ars)