Tahun Berganti di Puncak Pucuk

Minggu, 04 Januari 2015 - 10:47 WIB
Tahun Berganti di Puncak Pucuk
Tahun Berganti di Puncak Pucuk
A A A
GUNUNG selalu identik dengan tempat untuk menyepi. Tak heran kini banyak orang kota yang pergi ke gunung untuk sejenak berhenti dari rutinitas. Mendaki (hiking) dan bersepeda (biking) menjadi aktivitas paling favorit.

Salah satu gunung yang direkomendasikan untuk didaki adalah Ceremai. Gunung berapi kerucut setinggi 3.078 meter ini berada di tiga kabupaten yakni Cirebon, Kuningan, dan Kabupaten Majalengka. Daerah itu termasuk kawasan konservasi dan oleh karenanya disebut Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC). Banyak hewan dan tumbuhan langka hidup di sana.

Ada tiga jalur untuk sampai ke puncak Ceremai. Salah satu yang paling sering digunakan adalah dari Desa Palutungan dan Desa Linggarjati di Kuningan. Ada juga jalur dari Desa Apuy, Majalengka. Satu lagi jalur pendakian Desa Padabeunghar, perbatasan Kuningan-Majalengka sebelah utara. Dua jalur terakhir bisa dibilang jarang dilewati. Oleh karena itu, banyak yang menganggap daerah itu angker.

Padahal sejatinya jalur itu hanya hutan sebagaimana lazimnya. Di Jalur Apuy ada tempat bernama Gunung Pucuk. Bertepatan dengan malam tahun baru, KORAN SINDO bersamakawankawan Komunitas Kukurusuk mencobamelewati jalur itu. Mengambiltitik kumpul di Sekretariat Komunitas Kukurusuk Jalan Desa/Kecamatan Maja,kami berangkat menuju pucak Ceremai pukul 10.00WIB.

Setelah melewati jalanan berkelok dan naik-turun, sekitar pukul 10.45 kami sampai di PosI bernama Pos Berod. Untuk menuju PosBerod rombongan yang terdiri dari13 orang dibagi dua. Ada yang naik mobil pikap dan sebagian lagi membawa motor. Pukul 11.00, setelah berkoordinasi dengan petugas di Pos I, kami mulai mendaki ke Gunung Pucuk.

Dari PosIBerod kami menuju Pos II Arbah. Rute yang kami lalui cukup terjal dengan kondisi jalan licin setelah diguyur hujan. Setelah memakan waktu setengah jamatau tepatnya pukul 11.33, kami akhirnya sampai di Pos II Arbah. Di Pos II kami istirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga setelah melintasi rute 2 kilometer. Setelah rehat 30 menit, perjalanan dilanjutkan menuju Gunung Pucuk.

Jalur yang kami lalui ternyata jauh lebih berat dibanding dengan jalursebelumnya. Di sana kami melintasi jalur yang dipenuhi rumput alang-alang setinggi orang dewasa, tanjakan yang cukup panjang dengan tingkat kesulitan tinggi. Beberapa kali kami harus merunduk karena jalan setapak terhalang pepohonan yang roboh akibat badai.

“Jalur ini sangat jarang dilalui atau bahkan nggak ada pendaki yang lewat sini, jadi jalannya lumayan berat,” kata Ketua Komunitas Kukurusuk Okka Sapardan. Beberapa kali kami harus beristirahat karena medan yang berat. Namun akhirnya kami sampai di tempat tujuan tepat pukul 13.00. Di Gunung Pucuk terdapat satu buah gubuk kayu berukuran 5x7 meter namun atapnya terbuat dari seng. Gubuktersebutdibagi dua.

Satu ruangan tidur dibuat menyerupai rumah panggung, dan ruangan lain khusus untuk memasak. Di ruangan memasak terdapat lima piring, empat gelas, lengkap dengan sendok.Gubuk itu rupanya memang dibangun untuk dipakai para pendaki. Tidak jauh dari gubuk ada sembilan makam. Keberadaan kuburan itulah yang membuat Gunung Pucuk dianggap angker.

“Kami ingin membuktikan bahwa anggapan ada daerahangker itu tidak benar. Makanya kami sengaja menuju ke sini dan kemping,” tandas Okka. Di salah satu sudut terdapat papan bertuliskan nama-nama orang yang dikuburkan di sana. Secara berurutanditulis dengan nama Buyut Pucuk, Sangga Buana, Raksa Jagat, Laga, Murni, Jagat Raksa, Surya Lenggana, Anta Kusuma, dan Buyut Jaya Sampurna.

Benar atau tidak jenazah yang ada di dalam kuburan itu cocok dengan nama-nama di papan tulis, sampai kini belum ada yang membuktikan. Siapa sebenarnya kesembilan nama tersebut, dan apakah benar ada atau tidak pun, sampai kini masih menjadi misteri. Namun yang pasti kisah sembilan makam itu menjadi cerita lain yang membuat pendakian di puncak Ceremai makin berwarna.

“Nah, penamaan Pucuk untuk gunung ini mungkin mengacu dari nama yang disebutkan di papan itu,” terang Okka. Keputusan kami untuk kemping di Gunung Pucuk bukan berarti ingin menantang atau sompral. Namun ini murni kegiatan ilmiah untuk membuktikan bahwa tidak ada yang aneh di Gunung Pucuk sehingga tak ada alasan jalur itu dihindari. Para pendaki memang selalu menganggap Gunung Ceremai di Majalengka banyak angker.

“Kami mencoba mematahkan anggapan itu. Wilayah TNGC yang masuk ke Majalengka memiliki keindahan tersendiri. Kalau terus digali pastibanyak keindahannya,” ungkap Budi, salah satu peserta rombongan. Benar saja, di luar kesan angker itu, Gunung Pucuk adalah tempat menakjubkan untuk dinikmati.

Daerah ini berpotensi menjadi tempat tujuan para pendaki, selain puncak Ceremai. “Kalau beruntung di sini bisa melihat hewan-hewan yang mungkin di puncak (Ceremai) tidak ada. Mungkin saja ada macan, di situlah keindahannya,” ucap Budi.

Setelah menghabiskan malam tahun baru di Gunung Pucuk, esok paginyasekitar pukul 08.00, kami kembali turun.Saat berangkat menuju puncak waktutempuhnya 2 jam 30 menit. Namun saat pulanng, dengan waktu waktu 1 jam 45 menit kami sudah sampai di Pos I.

Inin nastain
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9927 seconds (0.1#10.140)