Pergaulan Jauh Lebih Penting dari Keuntungan

Sabtu, 13 Desember 2014 - 11:44 WIB
Pergaulan Jauh Lebih Penting dari Keuntungan
Pergaulan Jauh Lebih Penting dari Keuntungan
A A A
BANDUNG - Tepat di seberang gerbang masuk Universitas Padjajaran (Unpad) tampak sebuah tenda sederhana menjajakan berbagai buku.

Para pembeli yang datang pun bukan hanya mahasiswa Unpad, tapi tak jarang juga para “kutu buku” dari berbagai daerah di Bandung. Wagino, 55, adalah pemilik tenda buku tersebut. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan mengantarkan takdirnya berjualan buku di tempat itu.

Datang dari Desa Rawalo, Kabupaten Cilacap, di mana tradisi membaca di desanya sangat kurang, Wagino bertekad tetap melanjutkan sekolah tingkat SMA meski saat itu di ragukan oleh kedua orang tuanya dikarenakan minimnya biaya. “Buat apa sekolah? cukup baca tulis saja sudah cukup di kampung,” kata Wagino, menceritakan masa lalunya kepada KORAN SINDO kemarin.

Diakui dia, setiap calon pembeli, rata-rata selalu jadi berbelanja. Konsepnya, tidak terlalu membebani pembeli. “Kalau belanja di sini rata-rata jadi. Kalau nawar saya kasih, kalau pas-pasan, ya saya belajar sosial seperti kata Soekarno, pergaulan hidup itu jauh lebih penting,” ucap dia.

Dari berjualan buku, Wagino sanggup membiayai seorang Istri yang dinikahinya tahun 1991 dengan dikaruniai tujuh putra-putri yang kesemuanya bersekolah, salah satunya di perguruan tinggi. Dia kuinya omset yang didapatnya dari berjualan buku selama ini tidak pernah dihitungnya namun rezekinya dirasa cukup. Kecukukan rezeki atas jualan buku, didapatnya dari pengalaman hidupnya selama ini, yang mengantarkannya pernah mencoba kuliah di Unisba.

Kisah itu bermula ketika pada 1979, tekad Wagino yang baru lulus SMP untuk melanjutkan sekolah cukup besar. Hingga akhirnya dipertemukan dengan seseorang bernama Benyamin A, asal Banten yang mengajaknya melanjutkan sekolah di pesantren Suryalaya Tasikmalaya pada program beasiswa.

Orang tua Wagino yang awalnya meragukan niatnya, akhirnya mengizinkan Wagino dengan iringan doa. Dengan tekad bulatnya, Wagino bersama teman yang baru dikenalnya itu akhirnya mendatangi pesantren Suryalaya. Namun, niatannya tersebut masih belum menemukan jodohnya. Pasalnya program bea siswa di pesantren Suryalaya telah ditutup.

Akhirnya dia memutuskan pulang. Setelah gagal masuk pesantren Suryalaya, Wagino dan temannya Benyamin memutuskan berpisah. “Sebelum pisah, Benyamin bilang, pokoknya ke simpang Dipatiukur, kamu ke situ saja, nanti ketemu di sana, eh sampai sekarang belum pernah ketemu lagi,” ujarnya.

Sebelum ke berang kat annya, dia ter paksa menjual ayam nya untuk ongkos menuju ke Bandung tersebut. Pun demikian, diapun sempat di turunkan di tengah hutan saat ongkos yang dibayarkannya kurang. “Saat itu ongkos saya kurang, lah wong hanya bawa Rp4.000 di saku celana, ya saya jujur saja saya cuma punya uang segitu,” katanya.

Sesampainya di Bandung, dia dipertemukan dengan nenek Manci. Singkat cerita, dia yang kebingungan mencari tempat tinggal, bermodalkan bisa membaca Al-quran, dizinkan oleh para cucu-cucu nenek Manci untuk tinggal di rumahnya sembari mengajar baca Al-quran. Nenek Manci yang aktif di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) memberi pekerjaan menunggu jualan beras.

Setelah sebulan bekerja, akhirnya uangpun terkumpul sebesar Rp50.000 untuk modal masuk Persatuan Guru Islam In donesia (PGII) di Jalan Panatayuda Bandung. Namun, rencana mendaftar ke sekolah tersebut nyaris gagal juga dengan kurangnya biaya pendaftaran yang saat itu biayanya Rp200.000.

Namun atas bantuan pemilik yayasan Almarhum EZ Mutaqin, dia mendapat restu menempuh pendidikan di tempat itu. Selepas lulus PGII pada 1983, akhirnya diapun melanjutkan sekolah ke Unisba. Namun dia mengaku, kuliah sambil bekerja sulit dijalankannya hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti.

Nur Azis
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7201 seconds (0.1#10.140)
pixels