Terkesan Perjuangan Islam di New York

Kamis, 27 November 2014 - 13:29 WIB
Terkesan Perjuangan...
Terkesan Perjuangan Islam di New York
A A A
MEDAN - Pria yang mengawali karier di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) ini tidak pernah berhenti berkarya dengan hasil-hasil penelitiannya. Dia terus berupaya memberikan sumbangsih pemikiran dalam mengubah pandangan internasional terhadap Islam.

Saat ini, pria bernama Warjio ini sedang bersemangat melakukan berbagai kajian tentang politik pembangunan identitas Islam di sejumlah negara, dimana umat Muslim menjadi minoritas. Misinya tersebut terlecut dengan semakin kuatnya Islam phobia di masyarakat internasional yang berdampak terbatasnya ruang gerak masyarakat Muslim di sejumlah negara.

Dia terkesan dengan perjuangan komunitas Islam di New York selama bertahuntahun dalam membangun identitas Islam yang Rahmatan Lil Alamin (pembawa rahmat dan kesejahteraan bagi alam semesta). Pria kelahiran Deliserdang, 16 Agustus 1974 ini mendapat kesempatan melakukan penelitian tersebut dari University Team (RUT) Islamic Development Management Project (ISDEV) University Sains Malaysia (USM) pada 2012 lalu.

Selama dua pekan Warjio hidup di tengah komunitas Islam New York. Demi kepentingan penelitiannya, dia pun tinggal di Masjid Ar-Rahman, sebuah masjid yang menjadi saksi hidup bagaimana beratnya perjuangan umat Islam untuk bisa diterima masyarakat yang sudah terlanjur memberikan kesan negatif terhadap Islam.

Warjio pun dihadapkan dengan realitas dimana negara yang mengklaim sebagai tempat lahirnya demokrasi itu ternyata sulit memberikan izin membangun rumah ibadah. Padahal, declaration of independence telah mereka deklarasikan sejak 1776. Declaration of independence menyatakan semua manusia diciptakan sama oleh Tuhan dengan dilengkapi hak asasi, di antaranya life (hidup), liberty (kemerdekaan), dan the persuit of happiness (mencapai kebahagiaan).

“Islam phobia sudah terbentuk di pikiran masyarakat jauh sebelum peristiwa WTC (World Trade Centre). Masalah pembangunan masjid itu sudah berlangsung sejak 1990- an” kata pria yang selalu memakai lobe (topi haji) itu. Namun, komunitas Islam New York tidak putus asa meski harus ditentang dengan petisi penolakan pembangunan masjid yang berujung pada sidang di pengadilan.

Menyadari beratnya mengubah pola pikir Islam phobia, mereka memulai gerakan dengan sosialisasi ke sekolah-sekolah, sejumlah pemuka agama lain, dan tokoh masyarakat. Sosialisasi bukan tentang memperkenalkan agama, tapi lebih kepada upaya-upaya bagaimana mencegah narkoba dan memberikan keterampilan di sekolah-sekolah.

Pendekatan sosial dan humanis ternyata lebih mengena di hati masyarakat yang melakukan gerakan penolakan pembangunan masjid. Apalagi saat itu bahaya narkoba menjadi ancaman terbesar di lingkungan. “Akhirnya beberapa sekolah ikut mendukung dimulainya pembangunan masjid yang telah berdiri hingga kini,” ujar pria yang semasa kecilnya hanya bercita-cita jadi guru di kampung itu.

Tidak berhenti sampai di situ, untuk mengubah pandangan masyarakat tentang Islam, masjid pun dijadikan sebagai pusat kegiatan sosial yang terbuka bagi siapa saja. Mereka menyediakan ambulans dan layanan sosial untuk masyarakat umum dan memberikan bantuan sosial ke masyarakat sekitar.

Kini, kehadiran masjid tersebut telah memberikan manfaat tanpa harus mengganggu orang lain dalam mencapai kebahagiaannya. Bahkan, saat ini mereka membuka kelas khusus bagi masyarakat nonmuslim yang ingin mengenal Islam dan pandangannya terhadap kehidupan sosial.

Sudah bisa ditebak, pertanyaan tentang jihad adalah yang paling sering dibahas. “Alhamdulillah, dengan begitu mereka jadi mengetahui makna jihad yang sebenarnya bukan dengan kekerasan dan peperangan,” ungkap Warjio.

Lantas, apakah saat ini komunitas Islam di New York sudah benar-benar bisa diterima? Warjio sendiri merasakan kekakuan masyarakat saat menerima kehadirannya. Dimana dia diwajibkan mengisi formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan pribadi untuk laporan ke kepolisian.

Setiap dua pekan sekali polisi selalu memeriksa rekaman CCTV yang ada di masjid. “Ada CCTV, terus diawasi tiap dua pekan sekali. Tapi polisi-polisi di sana ada juga yang Muslim, jadi tidak terlalu ketat,” ujar pria yang kini menjabat ketua Program Magister Administrasi Publik (MAP) di Pascasarjana Universitas Medan Area (UMA).

Melalui penelitiannya tersebut terbukti tidak mudah mengubah kesan negatif yang kini sudah menjadi bentuk Islam phobia di negara-negara mayoritas nonmuslim meskipun negara itu tempat lahirnya demokrasi. Sebab, isu tersebut terkadang diembuskan juga oleh politisi antiislam serta pejabat publik demi mencari popularitas.

Sejumlah media massa di New York pun ikut andil dalam membentuknya. “Perlu waktu untuk mengubah pandangan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil Alamin. Seperti yang dilakukan komunitas Islam di New York dalam membangun Masjid Ar- Rahman,” kata pria lulusan terbaik S-3 di USM pada 2008 dengan penghargaan Graduate On Time (GOT) itu.

Selain di New York, Warjio juga pernah melakukan penelitian tentang politik Islam dalam perspektif makanan halal di Vietnam dan penelitian tentang politik Islam di Australia. Dia pun berharap suatu saat diberi kesempatan melakukan penelitian di sejumlah negara Eropa terkait politik pembangunan identitas Islam.

M Rinaldi Khair
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2504 seconds (0.1#10.140)