Guru Tidak Tetap Ini Mengamen untuk Nafkahi Keluarga

Selasa, 25 November 2014 - 15:03 WIB
Guru Tidak Tetap Ini...
Guru Tidak Tetap Ini Mengamen untuk Nafkahi Keluarga
A A A
SOLO - "Ikhlas untuk menularkan ilmu." Itulah kalimat yang selalu ditanamkan oleh Purwanto, seorang Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 8 Solo atau yang sering dikenal dengan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI).

Dengan bermodal ikhlas itulah, bapak dua anak itu setiap hari mengajar mata pelajaran Seni Karawitan di sekolah menengah kesenian satu-satunya di Kota Solo itu. Berdasar rasa ikhlas itu pula, seni karawitan yang ia miliki telah ditularkan kepada ratusan hingga ribuan anak didik yang pernah bersekolah di SMK tersebut.

Tidak tanggung-tanggung, waktu yang diberikan untuk mengajar anak didiknya juga sangat banyak. Setiap pekan, warga Wiringan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon itu harus mengajar kurang lebih 40 jam pelajaran. Waktu untuk mengajar itu tergolong banyak jika dibandingkan rata-rata waktu mengajar guru di Indonesia yakni sebanyak 24 jam pelajaran.

Selain itu, ia harus mengajar anak didiknya di luar kelas saat para siswa itu bakal melakukan kegiatan di luar sekolah seperti lomba seni karawitan di tingkat nasional maupun internasional, maupun saat anak-anak mendapatkan undangan untuk mengisi acara-acara tertentu.

Bahkan, menurutnya, banyaknya waktu yang diberikan oleh sekolah kepada dirinya itu membuat waktu istirahatnya berkurang. Ia hanya bisa beristirahat malam hari seusai pulang mengajar.

"Kalau saya yang penting kerja itu ikhlas, meskipun kadang iri dengan guru-guru yang lainnya yang memiliki waktu mengajar lebih sedikit," ucapnya kepada KORAN SINDO, Selasa (25/11/2014) siang.

Tetapi, keikhlasan dan padatnya waktu yang ia berikan untuk menularkan ilmu itu berbanding terbalik dengan pendapatan yang didapat. Menurutnya, dalam satu jam pelajaran, ia hanya mendapatkan upah sebesar Rp17.500. Besaran upah yang didapatkan itu ditentukan pihak sekolah. Upah sebesar itu karena dirinya adalah Guru Tidak Tetap (GTT), bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sehingga upah yang didapatkan sesuai dengan jam mengajar.

Setiap bulannya, pria kelahiran Klaten, 27 Oktober 1979 itu hanya mendapatkan upah sekitar Rp700.000. Jumlah itu, menurutnya, sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, saat ini dirinya sudah mempunyai tanggungan istri dan dua orang anak. Dengan kondisi itu, ia mengaku harus mencari uang tambahan dengan cara bekerja serabutan.

Beberapa pekerjaan serabutan banyak ia lakukan. Bahkan, ia sampai harus mengamen untuk menambah kebutuhan hidup. Dengan mengamen, dia mampu mengumpulkan uang yang cukup untuk diberikan kepada istri dan anak-anaknya.

"Saya ini kan guru sekaligus seniman, ya mengamen itu yang biasa saya lakukan. Kalau tidak seperti itu ya tidak cukup," imbuh pria yang sudah sepuluh tahun menjadi GTT itu.

Di Hari Guru Nasional ini, Purwanto berharap agar pemerintah memberikan perhatian kepada dirinya serta para GTT lain yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah mengangkat mereka menjadi PNS agar mendapatkan upah yang layak, seperti halnya guru-guru yang sudah menjadi PNS.

"Sudah lima kali saya ikut tes dan tidak lolos. Harapannya saya diberi prioritas untuk masuk jadi PNS," ucapnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Ety Retnowati mengatakan, sebenarnya banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan para GTT. Salah satunya melalui program pemberian uang insentif baik dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun tingkat kota. Besaran uang insentif itu juga berbeda-beda dan tergantung dari beban mengajar masing-masing guru.

"Upaya kita adalah mendorong mereka masuk PNS. Selain itu kita beri insentif agar kesejahteraan mereka meningkat, meskipun insentif itu tidak terlalu besar," tegasnya.
(zik)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5789 seconds (0.1#10.24)