Tulisan Tangan Adalah Bahasa Hati
A
A
A
KALA itu Inin sedang bersantai di kamar kosnya. Tak disangka, siang itu dia menerima kejutan. Seorang pria dengan seragam berwarna orange, lengkap dengan sepucuk surat ditangannya mengetuk kamar kos pria asal Majalengka ini.
Tak berapa lama, surat pun berpindah tangan ke Inin. Dengan hati bertanya-tanya, dia pun memandang nama dan alamat yang tertera di bagian depan amplop tersebut.
Ya, nama dan alamat itu adalah benar dirinya. Lalu dengan tergesa, dia pun memandang bagian belakang amplop. Nama pengirim yang begitu lekat dalam ingatannya. Segera, dia pun membuka isi dalam amplop itu.
Tiga lembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi dan berjejer teratur. Pun kata-katanya yang halus. Dengan lugas menceritakan apa yang tengah dialami si empunya. Perlahan, Inin membaca barisan kata-kata itu. Sejenak, dia terdiam dan menutup lembaran-lembaran surat yang baru diterimanya dari seseorang yang nun jauh asalnya, Balikpapan.
Sepenggal kisah baru saja menceritakan betapa surat dalam bentuk tulis tangan, yang sudah begitu jarang diterima oleh kita saat ini. Sebagian lagi, lebih suka menceritakan kisahnya pada orang lain dengan cara mengirim email (electronic mail), atau SMS (Short Message Service) atau pesan di BBM (Black Berry Messager), dan beragam aplikasi gadget lainnya.
Inin Nastain, adalah salah seorang yang masih konsisten berkomunikasi dengan rekannya melalui surat yang dikirimnya via pos. Tentunya dengan menggunakan bahasa tulis tangan.
“Mengirim surat dengan tulisan tangan itu tidak sekedar membangkitkan kenangan-kenangan kita di masa lampau, tetapi juga memiliki kekuatan batin, yang tidak akan bisa diwakilkan melalui pesan yang dikirimkan lewat aplikasi gadget,” tuturnya sambil menerawang.
Dia mengungkapkan, setelah beberapa hari menerima surat tersebut, dia pun balas mengirimkan surat. Dalam setiap suratnya, Inin tidak sekalipun meminta agar suratnya itu segera dibalas sang rekan.
Dia pun menyebutkan, sudah beberapa tahun terakhir ini rajin menuliskan surat untuk rekannya yang nun jauh di sana,
“Biarkanlah surat itu datang dan pergi tanpa harus ditunggu secara berlebihan. Biarlah itu menjadi sebuah kejutan yang akan mengisi hari-hari kita dengan memori yang tak terlupa,” ucapnya.
“Pengiriman surat dalam bentuk surat pribadi yang bukan kaitannya dengan bisnis (seperti surat dari bank, asuransi, tagihan, dll) sangat jauh berkurang. Bahkan bisa dikatakan telah hilang lebih dari 90 persennya,” jelas Staf Fungsional Pengembangan Bisnis Surat PT POS Indonesia Usman Joni.
Dia mengklaim, data yang dari awal tahun 2000-an surat yang dikirimkan telah didominasi oleh surat dengan tujuan bisnis, yang artinya sudah tidak ditulis tangan lagi.
“Kebanyakan berupa surat bisnis kilat dan ekpress, pengiriman paket, pengiriman uang cepat, dan pengiriman dokumen-dokumen lainnya,” jelasnya.
Dalam pengembangnnya, PT POS yang dulunya menjadi ujung tombak bergulirnya informasi dari satu tempat ke tempat lain, kini fungsinya lebih meluas. Tidak hanya persoalan surat menyurat secara pribadi, namun sudah merambah pada pendistribusian barang.
“Semakin ke sini memang pengembangan bisnis di pos semakin baik. Untuk di Jawa Barat saja, dari tahun 2013 terhitung sudah 1.546.299 surat kilat. Hal ini naik menjadi 1.946.146 surat di tahun 2014. Semua rata-rata surat bisnis, jarang sekali menemukan surat pribadi,” paparnya.
Digitalisasi Mengubah Persepsi Waktu
Tulisan tangan dalam sebuah surat rupanya tidak hanya mengisahkan kedalaman pesan dari si pengirim kepada si penerima surat. Budayawan Hawe Setiawan menilai, saat seseorang menuliskan surat dia seperti layaknya seniman yang membuat patung. Si pembuatnya akan ingat benar, setiap lekukan yang berisi tulisannya itu layaknya lekukan patung yang dibuatnya.
“Karakter tulisan tangan sangat menggambarkan suasana orang yang menulisnya. Apakah dia sedang sedih, senang, terburu-buru, atau santai saat menulisnya, itu akan sangat terlihat jelas dari guratan tulisannya,” paparnya.
Dia menerangkan, bahwa secara psikologis dalam setiap guratan tulisan akan terlihat jelas bagaimana psikologis penulisnya. Berbeda dengan sistem pengetikan yang cenderung kaku. Tak peduli kita senang atau susah, hal yang diceritakan, penulisannya tetap baku dan tanpa ekspresi.
“Orang yang mengirimkan sebuah surat dengan tulisan tangan itu seperti mengirimkan tubuhnya pada si penerima suratnya nanti. Tubuh itu hadir dalam setiap karakter tulisan yang ditulis," ungkapnya.
Hal ini, jauh berbeda dengan era komunikasi digital yang cenderung karakter tulisannya sama, meski penulisnya sedang dalam kondisi apapun. Istilahnya, dengan tulisan tangan, maka emosi seseorang akan termanifestasikan dalam karakter tulisan yang ditulisnya.
Kegiatan menulis, mulai dikenal di Indonesia sejak awal abad 20-an, di mana sekolah modern untuk tingkat dasar hadir. Dalam sekolah tersebut, pelajaran mulanya hanya berkisar cara menulis yang baik dan cara berhitung yang benar.
Menurut Hawe, era digitalisasi sebenarnya telah mulai mereduksi budaya komunikasi menjadi sesuatu yang dingin. “Semua orang seakan terburu-buru dalam hidupnya. Tidak lagi mengenal kesabaran dalam menunggu informasi. Jarak, waktu, dan ruang seakan pupus,” ucapnya.
Dan yang tak kalah pentingnya, tambah Hawe, transformasi dari peradaban era pra digital, dan digital mengubah persepsi kita mengenai waktu.
“Jika zaman dulu kita menunggu tukang pos untuk mengirimkan informasi atau kabar dari seseorang yang jauh tempatnya, sekarang tidak ada. Jika dulu untuk mengirimkan surat pada malam hari itu tidak bisa, kita berlatih sabar hingga keesokannya," bebernya.
Berbeda dengan zaman digital. Adanya email atau aplikasi pengirim informasi digital, membuat seseorang lebih mengubah makna waktu (time) menjadi waktu yang tepat (real time).
Tak berapa lama, surat pun berpindah tangan ke Inin. Dengan hati bertanya-tanya, dia pun memandang nama dan alamat yang tertera di bagian depan amplop tersebut.
Ya, nama dan alamat itu adalah benar dirinya. Lalu dengan tergesa, dia pun memandang bagian belakang amplop. Nama pengirim yang begitu lekat dalam ingatannya. Segera, dia pun membuka isi dalam amplop itu.
Tiga lembar kertas dengan tulisan tangan yang rapi dan berjejer teratur. Pun kata-katanya yang halus. Dengan lugas menceritakan apa yang tengah dialami si empunya. Perlahan, Inin membaca barisan kata-kata itu. Sejenak, dia terdiam dan menutup lembaran-lembaran surat yang baru diterimanya dari seseorang yang nun jauh asalnya, Balikpapan.
Sepenggal kisah baru saja menceritakan betapa surat dalam bentuk tulis tangan, yang sudah begitu jarang diterima oleh kita saat ini. Sebagian lagi, lebih suka menceritakan kisahnya pada orang lain dengan cara mengirim email (electronic mail), atau SMS (Short Message Service) atau pesan di BBM (Black Berry Messager), dan beragam aplikasi gadget lainnya.
Inin Nastain, adalah salah seorang yang masih konsisten berkomunikasi dengan rekannya melalui surat yang dikirimnya via pos. Tentunya dengan menggunakan bahasa tulis tangan.
“Mengirim surat dengan tulisan tangan itu tidak sekedar membangkitkan kenangan-kenangan kita di masa lampau, tetapi juga memiliki kekuatan batin, yang tidak akan bisa diwakilkan melalui pesan yang dikirimkan lewat aplikasi gadget,” tuturnya sambil menerawang.
Dia mengungkapkan, setelah beberapa hari menerima surat tersebut, dia pun balas mengirimkan surat. Dalam setiap suratnya, Inin tidak sekalipun meminta agar suratnya itu segera dibalas sang rekan.
Dia pun menyebutkan, sudah beberapa tahun terakhir ini rajin menuliskan surat untuk rekannya yang nun jauh di sana,
“Biarkanlah surat itu datang dan pergi tanpa harus ditunggu secara berlebihan. Biarlah itu menjadi sebuah kejutan yang akan mengisi hari-hari kita dengan memori yang tak terlupa,” ucapnya.
“Pengiriman surat dalam bentuk surat pribadi yang bukan kaitannya dengan bisnis (seperti surat dari bank, asuransi, tagihan, dll) sangat jauh berkurang. Bahkan bisa dikatakan telah hilang lebih dari 90 persennya,” jelas Staf Fungsional Pengembangan Bisnis Surat PT POS Indonesia Usman Joni.
Dia mengklaim, data yang dari awal tahun 2000-an surat yang dikirimkan telah didominasi oleh surat dengan tujuan bisnis, yang artinya sudah tidak ditulis tangan lagi.
“Kebanyakan berupa surat bisnis kilat dan ekpress, pengiriman paket, pengiriman uang cepat, dan pengiriman dokumen-dokumen lainnya,” jelasnya.
Dalam pengembangnnya, PT POS yang dulunya menjadi ujung tombak bergulirnya informasi dari satu tempat ke tempat lain, kini fungsinya lebih meluas. Tidak hanya persoalan surat menyurat secara pribadi, namun sudah merambah pada pendistribusian barang.
“Semakin ke sini memang pengembangan bisnis di pos semakin baik. Untuk di Jawa Barat saja, dari tahun 2013 terhitung sudah 1.546.299 surat kilat. Hal ini naik menjadi 1.946.146 surat di tahun 2014. Semua rata-rata surat bisnis, jarang sekali menemukan surat pribadi,” paparnya.
Digitalisasi Mengubah Persepsi Waktu
Tulisan tangan dalam sebuah surat rupanya tidak hanya mengisahkan kedalaman pesan dari si pengirim kepada si penerima surat. Budayawan Hawe Setiawan menilai, saat seseorang menuliskan surat dia seperti layaknya seniman yang membuat patung. Si pembuatnya akan ingat benar, setiap lekukan yang berisi tulisannya itu layaknya lekukan patung yang dibuatnya.
“Karakter tulisan tangan sangat menggambarkan suasana orang yang menulisnya. Apakah dia sedang sedih, senang, terburu-buru, atau santai saat menulisnya, itu akan sangat terlihat jelas dari guratan tulisannya,” paparnya.
Dia menerangkan, bahwa secara psikologis dalam setiap guratan tulisan akan terlihat jelas bagaimana psikologis penulisnya. Berbeda dengan sistem pengetikan yang cenderung kaku. Tak peduli kita senang atau susah, hal yang diceritakan, penulisannya tetap baku dan tanpa ekspresi.
“Orang yang mengirimkan sebuah surat dengan tulisan tangan itu seperti mengirimkan tubuhnya pada si penerima suratnya nanti. Tubuh itu hadir dalam setiap karakter tulisan yang ditulis," ungkapnya.
Hal ini, jauh berbeda dengan era komunikasi digital yang cenderung karakter tulisannya sama, meski penulisnya sedang dalam kondisi apapun. Istilahnya, dengan tulisan tangan, maka emosi seseorang akan termanifestasikan dalam karakter tulisan yang ditulisnya.
Kegiatan menulis, mulai dikenal di Indonesia sejak awal abad 20-an, di mana sekolah modern untuk tingkat dasar hadir. Dalam sekolah tersebut, pelajaran mulanya hanya berkisar cara menulis yang baik dan cara berhitung yang benar.
Menurut Hawe, era digitalisasi sebenarnya telah mulai mereduksi budaya komunikasi menjadi sesuatu yang dingin. “Semua orang seakan terburu-buru dalam hidupnya. Tidak lagi mengenal kesabaran dalam menunggu informasi. Jarak, waktu, dan ruang seakan pupus,” ucapnya.
Dan yang tak kalah pentingnya, tambah Hawe, transformasi dari peradaban era pra digital, dan digital mengubah persepsi kita mengenai waktu.
“Jika zaman dulu kita menunggu tukang pos untuk mengirimkan informasi atau kabar dari seseorang yang jauh tempatnya, sekarang tidak ada. Jika dulu untuk mengirimkan surat pada malam hari itu tidak bisa, kita berlatih sabar hingga keesokannya," bebernya.
Berbeda dengan zaman digital. Adanya email atau aplikasi pengirim informasi digital, membuat seseorang lebih mengubah makna waktu (time) menjadi waktu yang tepat (real time).
(san)