Gubernur Jateng Wajibkan PNS Bicara Bahasa Jawa
A
A
A
SEMARANG - Gubernur Jateng (Jawa Tengah) Ganjar Pranowo mewajibkan seluruh PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menggunakan bahasa Jawa. Untuk itu pihaknya telah membuat Peraturan Gubernur (Pergub) Jateng No 55/2014 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa.
"Pergub tersebut perlu diterbitkan agar masyarakat Jawa Tengah tidak kehilangan kepribadiannya," katanya, kepada wartawan, di Semarang, Jumat (8/9/2014).
Menurut politikus PDIP itu, bahasa Jawa memiliki unsur pendidikan dan kepribadian yang luhur. Selain itu, sekaligus untuk melindungi warisan tradisi, dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya.
Dalam peraturan gubernur yang diundangkan per 22 Agustus 2014, bukan hanya PNS yang diwajibkan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Tetapi juga seluruh elemen masyarakat, baik dalam memberikan informasi, komunikasi, dan edukasi. Bahkan dalam khotbah keagamaan, rapat-rapat RT/RW, lembaga-lembaga adat, dan kegiatan masyarakat.
“Sehari dalam sepekan harus ditentukan wajib berbahasa Jawa. Saat rapat paripurna boleh juga menggunakan bahasa Jawa. Tidak harus kromo, ngoko juga boleh,” terangnya.
Mengingat banyaknya ragam bahasa Jawa di Provinsi Jateng, masyarakat pun boleh menggunakan ragam ngoko dan kromo, dengan mempertimbangkan dialek daerah masing-masing.
Pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa secara intensif, juga akan dilakukan pula di satuan pendidikan formal. Mulai tingkat SD hingga SMA. Bahkan untuk Paket C. Pelaksanan mata pelajaran bahasa Jawa harus berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Alokasi waktu mengajar sekurang-kurangnya untuk bahasa Jawa dua jam setiap minggu, disetiap tingkatan kelas.
“Upaya pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa di satuan pendidikan ini, bahkan sudah dilakukan sejak Perda Nomor 9 tahun 2013 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa terbit,” ungkapnya.
Pemprov Jateng juga terus mendorong diselenggarakannya lomba-lomba di bidang sastra Jawa, bagi peserta didik, maupun pendidik. Pemprov juga mendorong dilakukannya pembinaan di sanggar-sanggar maupun kelompok-kelompok pegiat sastra Jawa.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mewajibkan aksara Jawa ditulis sebagai pendamping bahasa Indonesia, pada nama/identitas jalan, kantor pemerintah daerah kabupaten/kota, serta instansi lain di Jateng.
Pedoman penulisan menjadi tanggung jawab SKPD yang membidangi bekerjasama dengan perguruan tinggi. Meski pemerintah sudah melakukan berbagai upaya pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa, namun untuk mencapai hasil yang optimal, partisipasi aktif seluruh masyarakat sangat dibutuhkan.
Anggota DPRD Jawa Tengah Muh Zen Adv mengaku, dirinya mendukung adanya peraturan gubernur tersebut. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Jawa ini,” tukasnya.
"Pergub tersebut perlu diterbitkan agar masyarakat Jawa Tengah tidak kehilangan kepribadiannya," katanya, kepada wartawan, di Semarang, Jumat (8/9/2014).
Menurut politikus PDIP itu, bahasa Jawa memiliki unsur pendidikan dan kepribadian yang luhur. Selain itu, sekaligus untuk melindungi warisan tradisi, dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya.
Dalam peraturan gubernur yang diundangkan per 22 Agustus 2014, bukan hanya PNS yang diwajibkan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Tetapi juga seluruh elemen masyarakat, baik dalam memberikan informasi, komunikasi, dan edukasi. Bahkan dalam khotbah keagamaan, rapat-rapat RT/RW, lembaga-lembaga adat, dan kegiatan masyarakat.
“Sehari dalam sepekan harus ditentukan wajib berbahasa Jawa. Saat rapat paripurna boleh juga menggunakan bahasa Jawa. Tidak harus kromo, ngoko juga boleh,” terangnya.
Mengingat banyaknya ragam bahasa Jawa di Provinsi Jateng, masyarakat pun boleh menggunakan ragam ngoko dan kromo, dengan mempertimbangkan dialek daerah masing-masing.
Pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa secara intensif, juga akan dilakukan pula di satuan pendidikan formal. Mulai tingkat SD hingga SMA. Bahkan untuk Paket C. Pelaksanan mata pelajaran bahasa Jawa harus berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Alokasi waktu mengajar sekurang-kurangnya untuk bahasa Jawa dua jam setiap minggu, disetiap tingkatan kelas.
“Upaya pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa di satuan pendidikan ini, bahkan sudah dilakukan sejak Perda Nomor 9 tahun 2013 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa terbit,” ungkapnya.
Pemprov Jateng juga terus mendorong diselenggarakannya lomba-lomba di bidang sastra Jawa, bagi peserta didik, maupun pendidik. Pemprov juga mendorong dilakukannya pembinaan di sanggar-sanggar maupun kelompok-kelompok pegiat sastra Jawa.
Tidak hanya itu, pemerintah juga mewajibkan aksara Jawa ditulis sebagai pendamping bahasa Indonesia, pada nama/identitas jalan, kantor pemerintah daerah kabupaten/kota, serta instansi lain di Jateng.
Pedoman penulisan menjadi tanggung jawab SKPD yang membidangi bekerjasama dengan perguruan tinggi. Meski pemerintah sudah melakukan berbagai upaya pelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa, namun untuk mencapai hasil yang optimal, partisipasi aktif seluruh masyarakat sangat dibutuhkan.
Anggota DPRD Jawa Tengah Muh Zen Adv mengaku, dirinya mendukung adanya peraturan gubernur tersebut. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Jawa ini,” tukasnya.
(san)