Pembakaran Hutan di Riau Masih Terjadi
A
A
A
JAKARTA - Kebakaran hutan dan lahan di Riau, masih terus terjadi. Berdasarkan pantauan Satelit Terra dan Aqua, tercatat sebanyak 286 hotspot terjadi di Sumatera. Banyaknya titik api mengakibatkan jarak pandang terganggu.
"Jarak pandang di Pelalawan 2 km dan Rengat 5 km karena terhalang oleh asap," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, kepada wartawan, melalui pesan BlackBerry Massenger (BBM), Rabu (23/7/2014).
Ditambahkan dia, lebih dari 70 persen kebakaran terjadi di luar kawasan hutan. Penyebab karlahut 99 persen adalah disengaja atau akibat ulah manusia. Dampak yang ditimbulkan akibat karhutla tentu sangat besar.
"Menurut Polda Riau dan Bareskrim Polri, motif pembakaran di kebun pribadi adalah alasan ekonomi," terangnya.
Dia lanjutkan, para pembakar lahan itu diperintah oleh para pemilik lahan dengan upah Rp500–750 ribu, untuk membakar lahan seluas 10 ha. Para pembakar biasa berkelompok yang terorganisir.
"Pembakaran dilakukan untuk membuka kebun kelapa sawit baru yang mudah dan murah. Modusnya, areal yang dibakar jauh dari permukiman. Ini terjadi karena lemahnya pengawasannya," ungkapnya.
Dilanjutkan dia, aksi pembakaran hutan dan lahan, biasanya dilakukan saat musim kering, dimulai dengan membakar ranting-ranting yang ada. Kemudian, dengan menggunakan ban bekas yang dipotong-potong, lalu diberi minyak dan dibakar.
"Setelah dibakar, lalu ditinggalkan. Waktu membakar, pagi hingga sore hari, kelompok yang membakar melalui koperasi bekerjasama dengan Batin (Kepala Adat) dan Lurah," jelasnya.
Dijelaskan, lurah yang mengeluarkan SKT (Surat Keterangan Tanah) per 2 ha sesuai dengan jumlah orang dari daftar nama-nama anggota koperasi yang akan memperoleh 2 ha/orang.
"Ini dilakukan dengan memanfaatkan konflik penguasa adat dan pemerintah. Umumnya perusahaan tidak ada yang mengakui membakar dan tidak mampu menangani kebakaran di arealnya, karena minimnya peralatan," tukasnya.
"Jarak pandang di Pelalawan 2 km dan Rengat 5 km karena terhalang oleh asap," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, kepada wartawan, melalui pesan BlackBerry Massenger (BBM), Rabu (23/7/2014).
Ditambahkan dia, lebih dari 70 persen kebakaran terjadi di luar kawasan hutan. Penyebab karlahut 99 persen adalah disengaja atau akibat ulah manusia. Dampak yang ditimbulkan akibat karhutla tentu sangat besar.
"Menurut Polda Riau dan Bareskrim Polri, motif pembakaran di kebun pribadi adalah alasan ekonomi," terangnya.
Dia lanjutkan, para pembakar lahan itu diperintah oleh para pemilik lahan dengan upah Rp500–750 ribu, untuk membakar lahan seluas 10 ha. Para pembakar biasa berkelompok yang terorganisir.
"Pembakaran dilakukan untuk membuka kebun kelapa sawit baru yang mudah dan murah. Modusnya, areal yang dibakar jauh dari permukiman. Ini terjadi karena lemahnya pengawasannya," ungkapnya.
Dilanjutkan dia, aksi pembakaran hutan dan lahan, biasanya dilakukan saat musim kering, dimulai dengan membakar ranting-ranting yang ada. Kemudian, dengan menggunakan ban bekas yang dipotong-potong, lalu diberi minyak dan dibakar.
"Setelah dibakar, lalu ditinggalkan. Waktu membakar, pagi hingga sore hari, kelompok yang membakar melalui koperasi bekerjasama dengan Batin (Kepala Adat) dan Lurah," jelasnya.
Dijelaskan, lurah yang mengeluarkan SKT (Surat Keterangan Tanah) per 2 ha sesuai dengan jumlah orang dari daftar nama-nama anggota koperasi yang akan memperoleh 2 ha/orang.
"Ini dilakukan dengan memanfaatkan konflik penguasa adat dan pemerintah. Umumnya perusahaan tidak ada yang mengakui membakar dan tidak mampu menangani kebakaran di arealnya, karena minimnya peralatan," tukasnya.
(san)