21 tahun tewasnya Marsinah, aktivis gelar panggung rakyat
A
A
A
Sindonews.com – Ratusan aktivis menggelar aksi damai Panggung Rakyat di Kawasan eks Videotron, Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Senin (5/5) sore.
Dalam aksi itu mereka mengungkapkan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang tidak bisa berbuat banyak menyelesaikan kasus tewasnya para aktivis dan jurnalis.
Beberapa tokoh itu yang mereka maksud adalah Marsinah, Fuad M Syarifuddin alias Udin hingga Munir. Secara khusus dalam aksi itu mereka memeringati tewasnya pejuang buruh Marsinah pada 8 Mei 1993 alias 21 tahun lalu.
Kasus itu hingga kini tidak jelas penanganannya. Para aktivis itu terdiri dari berbagai elemen, di antaranya buruh, jurnalis hingga mahasiswa. Berbagai elemen masyarakat di Kota Semarang itu bersatu dalam komite yang disebut Komite Obor Marsinah, akronim dari Koalisi Bersama Poltik Kerakyatan untuk Marsinah Semarang.
Perwakilan dari kota lain, di antaranya dari Jakarta juga hadir dalam aksi itu. Koordinator Komite Obor Marsinah Semarang, Zaenal Arifin, dalam orasinya menyesalkan kasus kematian Marsinah yang hingga saat ini belum tuntas meskipun beberapa orang sudah dijadikan sebagai terdakwa.
“Dua puluh satu tahun sudah kematian Marsihan, tak tuntas tanpa keadilan. Atas hal ini, tak salah Marsinah diperjuangkan untuk jadi pahlawan buruh nasional. Karena dia pejuang rakyat, pejuang upah, pejuang kesejahteraan dan pejuang demokrasi,” kata Zaenal dalam orasinya, Senin (5/5/2014).
Para aktivis juga menyindir konstelasi politik di Indonesia, terutama pasca pemilihan umum (pemilu) 2014 ini. Partai – partai pemenang pemilu legislatif sudah diketahui, begitupun capres dan cawapres telah bermunculan. Namun seperti juga pada pemilu-pemilu sebelumnya, yang tampak dalam pemilu hanyalah sebatas perebutan kursi kekuasaan.
Sementara, agenda – agenda perubahan rakyat hanya sebagai pemanis, alat bujuk rayu agar masyarakat kembali memberikan legitimasi bagi pemerintahan baru, yang tak jauh berbeda dengan pemerintahan sekarang. Kegiatan menjelang petang itu terlihat dikawal ketat aparat
kepolisian.
Selain berjaga di kegiatan aksi damai itu, polisi juga mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. Aksi itu selain orasi, juga diwarnai dengan pembubuhan tanda tangan dukungan, dan
perentangan poster – poster yang berisikan tuntutan kepada pemerintah.
Tuntutan mulai dari kesejahteraan buruh, jurnalis, hingga kasus yang tak terungkap.
Fikri Morteza dari BEM KM Universitas Diponegoro (Undip) Kota Semarang juga berorasi di atas panggung sederhana yang sengaja dibuat.
“Kasus Marsinah adalah bentuk militerisme yang kejam. Kasus yang tidak tuntas itu adalah bentuk pemerintah yang tidak peduli, mengkadaluarsakan kasus ini. kita sebagai mahasiswa akan terus
berjuang sampai akhir,” kata dia.
Pada aksi itu, para aktivis juga membagikan beberapa selebaran tentang Marsinah. Diketahui, Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Ia ditemukan tewas terbunuh pada 8 Mei 1993 di usia 24 tahun. Jenazahnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, setelah sempat tiga hari menghilang.
Hasil autopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan Marsinah tewas karena penganiayaan berat. Marsinah adalah satu dari perwakilan 15 orang buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Ini menyusul pada awal 1993 Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran nomor 5 Tahun 1992 yang berisi imbauan kepada perusahaan agar menaikkan gaji buruh demi kesejahteraan.
Pada pertengahan April 1993, karyawan PT. CPS membahas surat edaran tersebut dan memutuskan menggelar unjuk rasa pada 3 Mei dan 4 Mei 1993, menuntut kenaikan upah per hari dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.
Pada 5 Mei 1993, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa di giring ke Komando Distrik (Kodim) Sidoarjo, mereka dipaksa mundur dari PT. CPS, karena dituduh menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah sempat datang ke Kodim untuk menanyakan keberadaan rekan – rekannya. Sekira pukul 22.00 (5/5/1993), Marsinah lenyap. Tiga hari kemudian, Marsinah ditemukan telah menjadi mayat.
Dalam aksi itu mereka mengungkapkan kekecewaan terhadap penegakan hukum di Indonesia yang tidak bisa berbuat banyak menyelesaikan kasus tewasnya para aktivis dan jurnalis.
Beberapa tokoh itu yang mereka maksud adalah Marsinah, Fuad M Syarifuddin alias Udin hingga Munir. Secara khusus dalam aksi itu mereka memeringati tewasnya pejuang buruh Marsinah pada 8 Mei 1993 alias 21 tahun lalu.
Kasus itu hingga kini tidak jelas penanganannya. Para aktivis itu terdiri dari berbagai elemen, di antaranya buruh, jurnalis hingga mahasiswa. Berbagai elemen masyarakat di Kota Semarang itu bersatu dalam komite yang disebut Komite Obor Marsinah, akronim dari Koalisi Bersama Poltik Kerakyatan untuk Marsinah Semarang.
Perwakilan dari kota lain, di antaranya dari Jakarta juga hadir dalam aksi itu. Koordinator Komite Obor Marsinah Semarang, Zaenal Arifin, dalam orasinya menyesalkan kasus kematian Marsinah yang hingga saat ini belum tuntas meskipun beberapa orang sudah dijadikan sebagai terdakwa.
“Dua puluh satu tahun sudah kematian Marsihan, tak tuntas tanpa keadilan. Atas hal ini, tak salah Marsinah diperjuangkan untuk jadi pahlawan buruh nasional. Karena dia pejuang rakyat, pejuang upah, pejuang kesejahteraan dan pejuang demokrasi,” kata Zaenal dalam orasinya, Senin (5/5/2014).
Para aktivis juga menyindir konstelasi politik di Indonesia, terutama pasca pemilihan umum (pemilu) 2014 ini. Partai – partai pemenang pemilu legislatif sudah diketahui, begitupun capres dan cawapres telah bermunculan. Namun seperti juga pada pemilu-pemilu sebelumnya, yang tampak dalam pemilu hanyalah sebatas perebutan kursi kekuasaan.
Sementara, agenda – agenda perubahan rakyat hanya sebagai pemanis, alat bujuk rayu agar masyarakat kembali memberikan legitimasi bagi pemerintahan baru, yang tak jauh berbeda dengan pemerintahan sekarang. Kegiatan menjelang petang itu terlihat dikawal ketat aparat
kepolisian.
Selain berjaga di kegiatan aksi damai itu, polisi juga mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. Aksi itu selain orasi, juga diwarnai dengan pembubuhan tanda tangan dukungan, dan
perentangan poster – poster yang berisikan tuntutan kepada pemerintah.
Tuntutan mulai dari kesejahteraan buruh, jurnalis, hingga kasus yang tak terungkap.
Fikri Morteza dari BEM KM Universitas Diponegoro (Undip) Kota Semarang juga berorasi di atas panggung sederhana yang sengaja dibuat.
“Kasus Marsinah adalah bentuk militerisme yang kejam. Kasus yang tidak tuntas itu adalah bentuk pemerintah yang tidak peduli, mengkadaluarsakan kasus ini. kita sebagai mahasiswa akan terus
berjuang sampai akhir,” kata dia.
Pada aksi itu, para aktivis juga membagikan beberapa selebaran tentang Marsinah. Diketahui, Marsinah adalah buruh PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Ia ditemukan tewas terbunuh pada 8 Mei 1993 di usia 24 tahun. Jenazahnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, setelah sempat tiga hari menghilang.
Hasil autopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan Marsinah tewas karena penganiayaan berat. Marsinah adalah satu dari perwakilan 15 orang buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Ini menyusul pada awal 1993 Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran nomor 5 Tahun 1992 yang berisi imbauan kepada perusahaan agar menaikkan gaji buruh demi kesejahteraan.
Pada pertengahan April 1993, karyawan PT. CPS membahas surat edaran tersebut dan memutuskan menggelar unjuk rasa pada 3 Mei dan 4 Mei 1993, menuntut kenaikan upah per hari dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.
Pada 5 Mei 1993, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa di giring ke Komando Distrik (Kodim) Sidoarjo, mereka dipaksa mundur dari PT. CPS, karena dituduh menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah sempat datang ke Kodim untuk menanyakan keberadaan rekan – rekannya. Sekira pukul 22.00 (5/5/1993), Marsinah lenyap. Tiga hari kemudian, Marsinah ditemukan telah menjadi mayat.
(lns)