Biarkan Tan Malaka di Selopanggung
A
A
A
BUKAN lagu Internasionale karya Eugene Pottier yang terdengar. Tidak juga kumandang syair perjuangan kelas, dengan tangan kiri terkepal mengiring mulut melafal “Bangunlah kaum yang terhina. Bangunlah kaum yang lapar”. Begitupula lirik “Kehendak yang mulia dalam dunia, senantiasa bertambah besar”, terjemahan Ki Hajar Dewantara di tahun 1920.
Sejak rezim otoriter Orde Baru berkuasa, jutaan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta jutaan kadernya dibinasakan. Lagu Internasionale, senandung revolusi kebanggaan kaum sosialis pun kini tinggal cerita.
Hanya doa talqin atau tradisi mengirim doa untuk orang yang sudah meninggal dunia yang masih terjaga. Khususon illa rukhi wa jazati Tan Malaka, dan surah alfatiha pun menggema. Setiap malam Jumat, jamaah tahlil Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, mendarasnya untuk arwah Tan Malaka. Secara khusus, warga desa lereng kaki Gunung Wilis.
“Selain nama leluhur, jamaah tahlil di sini juga selalu menyebut nama Tan Malaka sebagai salah satu yang dikirimi doa,“ tutur Mohammad Zairi, mantan Kepala Desa Selopanggung, Minggu (9/3/2014).
Ayat-ayat suci itu selalu mengudara rutin pada waktunya. Bergiliran setiap pekan, dari kelompok ke kelompok. Hal itu mengingat jumlah jamaah tahlil di Selopanggung tidaklah sedikit. Ada komunitas kecil yang berada di tingkat RT. Anggotanya sekitar 30-50 orang. Kemudian ada juga komunitas tahlil di lingkup RW, desa, bahkan kecamatan.
“Di sini ada 13 surau (musala) dan enam masjid. Kecamatan Semen sendiri terdiri dari 12 desa. Sebagian besar warga yang berdoa ini beramaliyah nahdatul ulama (NU),“ terang Zairi yang baru beberapa bulan melepas jabatan sebagai kepala desa.
Namun, ironisnya status makam tua di kaki Gunung Wilis yang menjadi alamat taburan doa itu, hingga kini masih dililit benang misteri. Sebongkah batu cadas yang berasal dari erupsi gunung api itu belum bergeser dari tempatnya. Material vulkanik tersebut masih menjadi penanda utama. Bahwa di bawah batu itu merupakan pusara.
Beragam bunga puring, beberapa pohon semboja (kamboja) putih yang di bagian pangkal batangnya meliar rimbun semak belukar juga masih berdiri teguh didekatnya. Begitu juga dengan jalan setapak tanah basah pemisah area sawah sebagai satu-satunya akses yang tidak layak disebut jalan (menuju makam) juga belum berubah.
“Warga belum berani mengubah lokasi makam sebelum ada kejelasan secara resmi dari pemerintah. Karena itu bentuknya tetap dibiarkan seperti itu (di atasnya ada sebongkah batu),“ papar Zairi yang ikut memfasilitasi sejarawan Belanda Harry A Poeze saat melakukan risetnya, di Selopanggung.
Hingga kini, serpihan 0,25 gram yang berasal dari gigi dan 1,1 gram pecahan tulang manusia yang pada tahun 2009 diangkut ke Jakarta, belum menjawab apa-apa.
Uji Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) yang secara ilmiah untuk memastikan apakah kerangka manusia yang terpendam sedalam 2 meter sejak 21 Februari 1949 itu milik Tan Malaka atau bukan, masih nihil. Sebuah versi menyebut kadar zat manusia yang dibutuhkan tes DNA kurang memenuhi syarat.
Versi lain mengatakan, keterlambatan hasil DNA disinyalir karena ditunggangi kepentingan politis. Ada sekelompok tangan kekuasaan tidak terlihat yang sengaja menghalanginya.
Orang-orang yang mempercayai peristiwa 3 Juli 1946 sebagai gerakan makar terhadap republik. Mereka tidak mengharapkan “kembalinya” Datuk Sutan Ibrahim, nama lahir Tan Malaka ke panggung bangsa. Tokoh sosialis-komunis yang pernah menjabat posisi penting di Komintern (komunis internasional), perwakilan Soviet (sekarang Rusia) di Asia raya.
Kesimpulan DNA pun diulur-ulur atau bila perlu dibuat tidak pernah ada. Spekulasi pun berkembang, bahwa perang ideologi itu sebenarnya belum usai. Namun bagi sebagian besar warga Selopanggung, hasil DNA itu tidaklah terlalu penting.
Warga lebih meyakini hasil riset historis dan antroplogis milik Harry A Poeze. Jasad dengan tinggi sekitar 163-165 cm dengan posisi tangan terikat di belakang itu terduga kuat milik Tan Malaka.
Keterangan almarhum Tolu, warga Selopanggung yang pada tahun 1949 rumah orang tuanya disewa tentara untuk menjadi tempat penyekapan Tan Malaka, sudah cukup bisa dipercaya.
Zairi bercerita, berangkat dari itu dirinya membangun tradisi “menyelipkan” nama penulis kitab Materialisme Dialektik dan Logika (Madilog) itu ke dalam setiap acara ritual doa. Zairi memulainya dengan getok tular. Di setiap acara kecil maupun besar yang di dalamnya melibatkan warga, dia selalu menyampaikan bahwa di Selopanggung terdapat makam Tan Malaka.
Tokoh nasional yang memelopori gagasan Indonesia Merdeka, dalam berbagai kesempatan, dia juga menambahkan bahwa buku Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis Tan, pada April 1925, di Kowloon, Cina, menjadi bacaan wajib para tokoh pergerakan di era revolusi Indonesia.
Termasuk Soekarno, juga Hatta, dan Sutan Syahrir yang kala itu masih menimba ilmu di negeri keju (Belanda). Tan juga mengutarakan gagasan dukunganya atas PAN Islamisme di kawasan Asia, khususnya Indonesia dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.
“Berdampingan dengan bulan sabit, bintang bintang Soviet akan menjadi lambang pertempuran besar dari sekitar 250 juta muslim di Sahara, Arab, Hindustan, dan Hindia kita,“ kata Tan Malaka dalam Kongres Kedua Komintern, bulan Juli 1920.
Tidak heran, 19 tahun setelah hari kematianya (Tan Malaka), Presiden Soekarno melalui Kepres RI No.53 tahun 1963 menasbihkanya sebagai Pahlawan Nasional. “Pengetahuan soal Tan Malaka itu akhirnya sedikit demi sedikit diketahui warga. Khususnya warga di Selopanggung,“ jelas Zairi.
Bila di sebelah selatan (Blitar) ada makam Proklamator Soekarno, akan lebih lengkap bila di sebelah utara (Kediri), kata Zairi, ada makam founding father Tan Malaka. Sebagai warga Selopanggung, dia menaruh impian, makam yang kini masih berada di area terpencil itu bisa secepatnya muncul di tempat yang lebih layak.
Sebab secara ekonomi, keberadaan makam Tan Malaka akan mengangkat “derajat” kehidupan masyarakat Selopanggung dan sekitarnya. “Desa kami akan menjadi tujuan wisata sejarah. Selain Gereja Puhsarang, desa kami juga memiliki makam seorang tokoh bangsa. Dan secara lebih luas adanya makam ini bisa menjadi ikon bagi Kabupaten Kediri,“ paparnya.
Karenanya, ketika muncul wacana kerangka Tan Malaka akan dibawa ke Taman Makam Pahlawan Jakarta, masyarakat Selopanggung langsung menyatakan penolakan. Tidak hanya itu, warga juga mewaspadai kemungkinan adanya kelompok tertentu yang sangat mungkin mencuri kerangka jasad dari lokasi.
Sebab, saat ini di lokasi ada makam yang nisannya bertuliskan Tan Malaka. Sementara sebagian besar warga meyakini, jasad pahlawan itu berada di bawah sebongkah batu yang sengaja dipasang sebagai penanda.
Menurut Zairi, biarlah sejarah tetap berada di tempatnya. Bahwa pahlawan nasional yang meninggal secara tragis tersebut dikebumikan di Selopanggung, Kabupaten Kediri.
“Mungkin atas dasar penolakan itu, muncul wacana yang dimakamkan di Jakarta nanti adalah sampel dari kerangka yang dites DNA. Tan Malaka adalah milik bangsa, karenanya biarlah berada ditempatnya saat ini,“ pungkas Zairi yang mengakui tidak sedikit orang dari luar daerah yang diam-diam berziarah rutin ke makam Tan Malaka.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Kediri memilih bersifat pasif. Menurut Kabag Humas Pemkab Kediri Edy Purwanto, pemkab tidak akan mengambil langkah apapun sebelum ada keputusan resmi dari pemerintah pusat. Termasuk, apakah kerangka jasad tersebut tetap berada di wilayah Kabupaten Kediri atau dipindah ke Jakarta.
“Kita menunggu apa yang menjadi keputusan pemerintah pusat. Apapun yang menjadi keputusanya, kita akan mengikuti,“ tukas Edy.
Baca juga:
Tan Malaka, Alimin & Semaoen
Sejak rezim otoriter Orde Baru berkuasa, jutaan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta jutaan kadernya dibinasakan. Lagu Internasionale, senandung revolusi kebanggaan kaum sosialis pun kini tinggal cerita.
Hanya doa talqin atau tradisi mengirim doa untuk orang yang sudah meninggal dunia yang masih terjaga. Khususon illa rukhi wa jazati Tan Malaka, dan surah alfatiha pun menggema. Setiap malam Jumat, jamaah tahlil Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, mendarasnya untuk arwah Tan Malaka. Secara khusus, warga desa lereng kaki Gunung Wilis.
“Selain nama leluhur, jamaah tahlil di sini juga selalu menyebut nama Tan Malaka sebagai salah satu yang dikirimi doa,“ tutur Mohammad Zairi, mantan Kepala Desa Selopanggung, Minggu (9/3/2014).
Ayat-ayat suci itu selalu mengudara rutin pada waktunya. Bergiliran setiap pekan, dari kelompok ke kelompok. Hal itu mengingat jumlah jamaah tahlil di Selopanggung tidaklah sedikit. Ada komunitas kecil yang berada di tingkat RT. Anggotanya sekitar 30-50 orang. Kemudian ada juga komunitas tahlil di lingkup RW, desa, bahkan kecamatan.
“Di sini ada 13 surau (musala) dan enam masjid. Kecamatan Semen sendiri terdiri dari 12 desa. Sebagian besar warga yang berdoa ini beramaliyah nahdatul ulama (NU),“ terang Zairi yang baru beberapa bulan melepas jabatan sebagai kepala desa.
Namun, ironisnya status makam tua di kaki Gunung Wilis yang menjadi alamat taburan doa itu, hingga kini masih dililit benang misteri. Sebongkah batu cadas yang berasal dari erupsi gunung api itu belum bergeser dari tempatnya. Material vulkanik tersebut masih menjadi penanda utama. Bahwa di bawah batu itu merupakan pusara.
Beragam bunga puring, beberapa pohon semboja (kamboja) putih yang di bagian pangkal batangnya meliar rimbun semak belukar juga masih berdiri teguh didekatnya. Begitu juga dengan jalan setapak tanah basah pemisah area sawah sebagai satu-satunya akses yang tidak layak disebut jalan (menuju makam) juga belum berubah.
“Warga belum berani mengubah lokasi makam sebelum ada kejelasan secara resmi dari pemerintah. Karena itu bentuknya tetap dibiarkan seperti itu (di atasnya ada sebongkah batu),“ papar Zairi yang ikut memfasilitasi sejarawan Belanda Harry A Poeze saat melakukan risetnya, di Selopanggung.
Hingga kini, serpihan 0,25 gram yang berasal dari gigi dan 1,1 gram pecahan tulang manusia yang pada tahun 2009 diangkut ke Jakarta, belum menjawab apa-apa.
Uji Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) yang secara ilmiah untuk memastikan apakah kerangka manusia yang terpendam sedalam 2 meter sejak 21 Februari 1949 itu milik Tan Malaka atau bukan, masih nihil. Sebuah versi menyebut kadar zat manusia yang dibutuhkan tes DNA kurang memenuhi syarat.
Versi lain mengatakan, keterlambatan hasil DNA disinyalir karena ditunggangi kepentingan politis. Ada sekelompok tangan kekuasaan tidak terlihat yang sengaja menghalanginya.
Orang-orang yang mempercayai peristiwa 3 Juli 1946 sebagai gerakan makar terhadap republik. Mereka tidak mengharapkan “kembalinya” Datuk Sutan Ibrahim, nama lahir Tan Malaka ke panggung bangsa. Tokoh sosialis-komunis yang pernah menjabat posisi penting di Komintern (komunis internasional), perwakilan Soviet (sekarang Rusia) di Asia raya.
Kesimpulan DNA pun diulur-ulur atau bila perlu dibuat tidak pernah ada. Spekulasi pun berkembang, bahwa perang ideologi itu sebenarnya belum usai. Namun bagi sebagian besar warga Selopanggung, hasil DNA itu tidaklah terlalu penting.
Warga lebih meyakini hasil riset historis dan antroplogis milik Harry A Poeze. Jasad dengan tinggi sekitar 163-165 cm dengan posisi tangan terikat di belakang itu terduga kuat milik Tan Malaka.
Keterangan almarhum Tolu, warga Selopanggung yang pada tahun 1949 rumah orang tuanya disewa tentara untuk menjadi tempat penyekapan Tan Malaka, sudah cukup bisa dipercaya.
Zairi bercerita, berangkat dari itu dirinya membangun tradisi “menyelipkan” nama penulis kitab Materialisme Dialektik dan Logika (Madilog) itu ke dalam setiap acara ritual doa. Zairi memulainya dengan getok tular. Di setiap acara kecil maupun besar yang di dalamnya melibatkan warga, dia selalu menyampaikan bahwa di Selopanggung terdapat makam Tan Malaka.
Tokoh nasional yang memelopori gagasan Indonesia Merdeka, dalam berbagai kesempatan, dia juga menambahkan bahwa buku Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) yang ditulis Tan, pada April 1925, di Kowloon, Cina, menjadi bacaan wajib para tokoh pergerakan di era revolusi Indonesia.
Termasuk Soekarno, juga Hatta, dan Sutan Syahrir yang kala itu masih menimba ilmu di negeri keju (Belanda). Tan juga mengutarakan gagasan dukunganya atas PAN Islamisme di kawasan Asia, khususnya Indonesia dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.
“Berdampingan dengan bulan sabit, bintang bintang Soviet akan menjadi lambang pertempuran besar dari sekitar 250 juta muslim di Sahara, Arab, Hindustan, dan Hindia kita,“ kata Tan Malaka dalam Kongres Kedua Komintern, bulan Juli 1920.
Tidak heran, 19 tahun setelah hari kematianya (Tan Malaka), Presiden Soekarno melalui Kepres RI No.53 tahun 1963 menasbihkanya sebagai Pahlawan Nasional. “Pengetahuan soal Tan Malaka itu akhirnya sedikit demi sedikit diketahui warga. Khususnya warga di Selopanggung,“ jelas Zairi.
Bila di sebelah selatan (Blitar) ada makam Proklamator Soekarno, akan lebih lengkap bila di sebelah utara (Kediri), kata Zairi, ada makam founding father Tan Malaka. Sebagai warga Selopanggung, dia menaruh impian, makam yang kini masih berada di area terpencil itu bisa secepatnya muncul di tempat yang lebih layak.
Sebab secara ekonomi, keberadaan makam Tan Malaka akan mengangkat “derajat” kehidupan masyarakat Selopanggung dan sekitarnya. “Desa kami akan menjadi tujuan wisata sejarah. Selain Gereja Puhsarang, desa kami juga memiliki makam seorang tokoh bangsa. Dan secara lebih luas adanya makam ini bisa menjadi ikon bagi Kabupaten Kediri,“ paparnya.
Karenanya, ketika muncul wacana kerangka Tan Malaka akan dibawa ke Taman Makam Pahlawan Jakarta, masyarakat Selopanggung langsung menyatakan penolakan. Tidak hanya itu, warga juga mewaspadai kemungkinan adanya kelompok tertentu yang sangat mungkin mencuri kerangka jasad dari lokasi.
Sebab, saat ini di lokasi ada makam yang nisannya bertuliskan Tan Malaka. Sementara sebagian besar warga meyakini, jasad pahlawan itu berada di bawah sebongkah batu yang sengaja dipasang sebagai penanda.
Menurut Zairi, biarlah sejarah tetap berada di tempatnya. Bahwa pahlawan nasional yang meninggal secara tragis tersebut dikebumikan di Selopanggung, Kabupaten Kediri.
“Mungkin atas dasar penolakan itu, muncul wacana yang dimakamkan di Jakarta nanti adalah sampel dari kerangka yang dites DNA. Tan Malaka adalah milik bangsa, karenanya biarlah berada ditempatnya saat ini,“ pungkas Zairi yang mengakui tidak sedikit orang dari luar daerah yang diam-diam berziarah rutin ke makam Tan Malaka.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Kediri memilih bersifat pasif. Menurut Kabag Humas Pemkab Kediri Edy Purwanto, pemkab tidak akan mengambil langkah apapun sebelum ada keputusan resmi dari pemerintah pusat. Termasuk, apakah kerangka jasad tersebut tetap berada di wilayah Kabupaten Kediri atau dipindah ke Jakarta.
“Kita menunggu apa yang menjadi keputusan pemerintah pusat. Apapun yang menjadi keputusanya, kita akan mengikuti,“ tukas Edy.
Baca juga:
Tan Malaka, Alimin & Semaoen
(san)