Geledah rumah Bupati Rina, Kejati dinilai arogan
Kamis, 09 Januari 2014 - 15:38 WIB

Geledah rumah Bupati Rina, Kejati dinilai arogan
A
A
A
Sindonews.com - Jalannya penggeledahan yang dilakukan Tim Satuan Khusus Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah, di rumah kediaman pribadi mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani, di Jalan Angsana No.1-2 Perum Jaten Permai, Dusun Gatak, Desa Jaten, Kecamatan Jaten, Karanganyar, berlangsung panas.
Dua truk Dalmas Polres Karanganyar diterjunkan untuk mengawal proses penggeledahan yang dilakukan Tim Kejaksaan Tinggi. Pasalnya, Tim Kuasa Hukum Rina Iriani memprotes penggeledahan yang dilakukan Kejati yang dipimpin langsung Ketua Tim Penyidikan Kejati Sugeng Riyanto.
Mereka menganggap, penggeledahan yang dilakukan oleh Tim Kejati tidak berdasarkan oleh KUHP, yang mana Tim Kejati saat dimintai surat tugas penggeledahan tidak bisa menunjukannya.
Pengacara tersangka terduga korupsi Perumahaan Griya Lawu Asri Rina Iriani, Muhammad Taufik mengaku, sangat kecewa dengan sikap Kejati yang tidak berlandasan KUHP. Pasalnya, selain belum menerima sprindik pasal baru yang ditetapkan Kejati, kliennya diperiksa bukan dalam kasus pencucian uang.
"Terus terang kami memprotes langkah Kejati menggeledah seluruh isi rumah klien kami. Klien kami itu diperiksa dalam kasus tindak pidana korupsi, bukan dalam kasus pencucian uang," ujar Taufik, di rumah Rina Iriani, di Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (9/1/2014).
Ditambahkan dia, penggeledahan ini menunjukkan kalau Kejati bukan sebagai institusi penegak hukum. Tapi preman. Sebab, yang bisa memaksa meminta semuannya secara paksa itu adalah seorang preman. "Ini Kejati sebagai aparat penegakan hukum benar-benar ingin menunjukkan kekuasaan yang berlebihan bisa menekan semuanya," terangnya.
Selain itu, sprindik pencucian uang yang ditetapkan kepada kliennya, sebagai bagian bentuk dari kekacauan Kejati yang tidak bisa menjerat kliennya di dalam kasus tindak pidana korupsi.
Kejaksaan ingin seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa memaksakan pasal pencucian uang terhadap tersangka yang dituduhkan melakukan tindak pidana korupsi. Padahal, dalam kasus tersebut, kliennya sangat berbeda sekali. Sebab kliennya tidak terbukti menerima atau sedang bertransaksi menerima uang hasil korupsi.
Hal itu diperkuat dengan 452 alat bukti yang disodorkan Kejati saat pemeriksaan, di situ tidak ada sama sekali nama kliennya yang tercantum.
"Yang bisa memaksa itu cuma orang yang merampok. Sertifikat tanah punya anaknya juga diminta untuk diserahkan. Kita tidak ditangkap tangan dalam posisi menerima uang suap. Jangan berpikir Kejaksaan seperti KPK. KPK bisa memaksa, karena ada operasi tertangkap tangan," paparnya.
Senada diungkapkan Tim Kuasa Hukum Rina Iriani, Slamet Yuwono. Slamet menilai, Kejati tidak bisa melakukan penggeledahan seenaknya di rumah kilennya, tanpa adanya surat perintah penggeledahan. Selain itu, pasal pencucian uang yang ditetapkan Kejati kepada kilennya tidak mendasar sama sekali.
Sebab, saat ditanyakan mana hasil laporan dari PPATK yang menunjukan adanya aliran dana yang mencurigakan ke rekening kliennya, Tim Kejaksaan yang melakukan penggeledahan tidak bisa menunjukkan sama sekali.
"Kita tadi tanya penggeledahan ini terkait apa, jaksa bilang terkait pencucian uang. Kita tanya mana surat tugasnya, dia (jaksa) tidak bisa menunjukan. Terus keluar lagi masalah pencucian uang, kita tanya mana hasil laporan PPATK, ada tidak laporan? Kejati tidak bisa menunjukkan," ungkapnya.
Ditambahkan, tindakan jaksa telah menyalahi aturan. "Jangan begini caranya, kalau mau main preman-premanan ayo main preman-premanan. Kami tidak takut biar dikerahkan satu Polres sekalipun, landasannya harus KUHP," tegas Slamet.
Menyusul penggeledahan yang dianggap kubu Rina tidak berlandasan KUHP, Tim Kuasa hukum Rina Iriani siap melaporkan Kejaksaan Tinggi ke Komnas HAM, serta ke Komisi III DPR-RI.
"Kalau caranya begitu, kenakan saja semua pasal kepada Bu Rina. Kita punya hak juga, kita akan laporkan masalah ini ke Komnas HAM, ke Komisi III, ke semuanya akan kita laporkan. Kita selama ini diam, karena kita menghormati Kejaksaan Tinggi. Tapi dengan adanya arogansi ini, kita tidak terima, kita akan melawan secara hukum," pungkasnya.
Dua truk Dalmas Polres Karanganyar diterjunkan untuk mengawal proses penggeledahan yang dilakukan Tim Kejaksaan Tinggi. Pasalnya, Tim Kuasa Hukum Rina Iriani memprotes penggeledahan yang dilakukan Kejati yang dipimpin langsung Ketua Tim Penyidikan Kejati Sugeng Riyanto.
Mereka menganggap, penggeledahan yang dilakukan oleh Tim Kejati tidak berdasarkan oleh KUHP, yang mana Tim Kejati saat dimintai surat tugas penggeledahan tidak bisa menunjukannya.
Pengacara tersangka terduga korupsi Perumahaan Griya Lawu Asri Rina Iriani, Muhammad Taufik mengaku, sangat kecewa dengan sikap Kejati yang tidak berlandasan KUHP. Pasalnya, selain belum menerima sprindik pasal baru yang ditetapkan Kejati, kliennya diperiksa bukan dalam kasus pencucian uang.
"Terus terang kami memprotes langkah Kejati menggeledah seluruh isi rumah klien kami. Klien kami itu diperiksa dalam kasus tindak pidana korupsi, bukan dalam kasus pencucian uang," ujar Taufik, di rumah Rina Iriani, di Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (9/1/2014).
Ditambahkan dia, penggeledahan ini menunjukkan kalau Kejati bukan sebagai institusi penegak hukum. Tapi preman. Sebab, yang bisa memaksa meminta semuannya secara paksa itu adalah seorang preman. "Ini Kejati sebagai aparat penegakan hukum benar-benar ingin menunjukkan kekuasaan yang berlebihan bisa menekan semuanya," terangnya.
Selain itu, sprindik pencucian uang yang ditetapkan kepada kliennya, sebagai bagian bentuk dari kekacauan Kejati yang tidak bisa menjerat kliennya di dalam kasus tindak pidana korupsi.
Kejaksaan ingin seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bisa memaksakan pasal pencucian uang terhadap tersangka yang dituduhkan melakukan tindak pidana korupsi. Padahal, dalam kasus tersebut, kliennya sangat berbeda sekali. Sebab kliennya tidak terbukti menerima atau sedang bertransaksi menerima uang hasil korupsi.
Hal itu diperkuat dengan 452 alat bukti yang disodorkan Kejati saat pemeriksaan, di situ tidak ada sama sekali nama kliennya yang tercantum.
"Yang bisa memaksa itu cuma orang yang merampok. Sertifikat tanah punya anaknya juga diminta untuk diserahkan. Kita tidak ditangkap tangan dalam posisi menerima uang suap. Jangan berpikir Kejaksaan seperti KPK. KPK bisa memaksa, karena ada operasi tertangkap tangan," paparnya.
Senada diungkapkan Tim Kuasa Hukum Rina Iriani, Slamet Yuwono. Slamet menilai, Kejati tidak bisa melakukan penggeledahan seenaknya di rumah kilennya, tanpa adanya surat perintah penggeledahan. Selain itu, pasal pencucian uang yang ditetapkan Kejati kepada kilennya tidak mendasar sama sekali.
Sebab, saat ditanyakan mana hasil laporan dari PPATK yang menunjukan adanya aliran dana yang mencurigakan ke rekening kliennya, Tim Kejaksaan yang melakukan penggeledahan tidak bisa menunjukkan sama sekali.
"Kita tadi tanya penggeledahan ini terkait apa, jaksa bilang terkait pencucian uang. Kita tanya mana surat tugasnya, dia (jaksa) tidak bisa menunjukan. Terus keluar lagi masalah pencucian uang, kita tanya mana hasil laporan PPATK, ada tidak laporan? Kejati tidak bisa menunjukkan," ungkapnya.
Ditambahkan, tindakan jaksa telah menyalahi aturan. "Jangan begini caranya, kalau mau main preman-premanan ayo main preman-premanan. Kami tidak takut biar dikerahkan satu Polres sekalipun, landasannya harus KUHP," tegas Slamet.
Menyusul penggeledahan yang dianggap kubu Rina tidak berlandasan KUHP, Tim Kuasa hukum Rina Iriani siap melaporkan Kejaksaan Tinggi ke Komnas HAM, serta ke Komisi III DPR-RI.
"Kalau caranya begitu, kenakan saja semua pasal kepada Bu Rina. Kita punya hak juga, kita akan laporkan masalah ini ke Komnas HAM, ke Komisi III, ke semuanya akan kita laporkan. Kita selama ini diam, karena kita menghormati Kejaksaan Tinggi. Tapi dengan adanya arogansi ini, kita tidak terima, kita akan melawan secara hukum," pungkasnya.
(san)