Sertifikat MURI PLN wilayah Sumba disoal
A
A
A
Sindonews.com - Pemberian sertifikat Museum Rekor Indonesia (MURI) terhadap PT. PLN (Persero) area Sumba bahkan wilayah NTT menuai reaksi masyarakat. PLN dianggap tidak layak mendapat sertifikat listrik pintar (Listrik prabayar), karena banyak warga yang belum menggunakan listrik prabayar.
Reaksi paling kencang banyak disuarakan dalam jejaring sosial. Seperti diungkapkan pemilik account atas nama Edy Luke Kitu misalnya. Pemilik account ini mengatakan, sertifikat itu merupakan pembodohan.
"Di PLN kami sudah di data sebagai pengguna listrik pintar sejak sekitar Oktober–November 2013. Tetapi s/d 30 Dessember 2013, meteran listriknya (masih) yang dulu-dulu juga," tulisnya, dikutip Jumat (3/1/2014).
Bahkan, ada warga yang justru mengaku di rumahnya belum dipasangi meteran prabayar, sekalipun dirinya bukanlah pegawai Telkom dan Telkomsel group, TNI, ataupun Keluarga Besar Polri.
“Di rumah saya belum di pasang, katanya mau dipasang sampai sekarang tidak, tetangga saya juga belum semuanya dipasang. Hanya beberapa saja. Masa 100 persen??? ckckck,” sambung pemilik account dengan nama Nurze Anytha.
Account dengan nama Sara Huke justru lebih keras mengkritisi PLN sehubungan dengan rekor Muri yang diraihnya.
“Hmmm, PLN dengan banggax terima Muri, padahal kerjanya belum maksimal. Klau terima Muri untuk pemadaman listrik dalam satu hari bisa 5 sampai 10 kali itu kami bisa maklumi, kalau untuk 100 persen masyarakat Sumba sudah memakai meteran pintar? macamnya kurang pas,” tukasnya.
“Perusahaan listrik negara dan perusahaan lilin negara beda tipis, mungkin 1 group? Listrik pintar..... ke Pelanggan, obral sanksi tapi miskin reward...!” sambung pemilik account Markus Mbaha Nadkumanunggu.
Kekesalan terhadap kinerja PLN terkait dengan kebijakannya menggunakan meteran listrik prabayar yang seolah mengabaikan konsumen juga tak hanya dikemukakan lewat media sosial. Tetapi juga masyarakat langsung.
”Saya dengan sengaja dijadikan orang yang punya hutang oleh PLN, padahal saya tiap bulan rutin bayar. Namun sejak September lalu, rekening listrik saya telah diblokir sepihak oleh PLN. Oleh petugas meteran saya dikatakan telah dimigrasikan, padahal saya sekalipun tidak pernah bertemu ataupun ditemui petugas PLN untuk menjelaskan langsung perihal migrasi. Ini kebijakan yang menjerumuskan konsumen,” ujar Bapa Ambu, warga Kelurahan Kambaniru.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Nyonya Renggi yang menyatakan PLN mengorbankan konsumen hanya untuk mengejar status 100 persen listrik prabayar, namun dilakukan dengan cara pemaksaan secara terselubung.
”Ini pemaksaan secara terselubung, saya akan pergi ngamuk di PLN nanti. Kapan saya bilang mau pindah meteran prabayar? Tiba-tiba saja rekening saya diblokir dan mereka tidak mau lagi terima bayaran rekening listrik. Nanti pasti kalau saya ikut maunya maka hutang saya akan menumpuk, kalau sudah begitu, PLN pasti lepas tidak peduli,” tandasnya.
Reaksi paling kencang banyak disuarakan dalam jejaring sosial. Seperti diungkapkan pemilik account atas nama Edy Luke Kitu misalnya. Pemilik account ini mengatakan, sertifikat itu merupakan pembodohan.
"Di PLN kami sudah di data sebagai pengguna listrik pintar sejak sekitar Oktober–November 2013. Tetapi s/d 30 Dessember 2013, meteran listriknya (masih) yang dulu-dulu juga," tulisnya, dikutip Jumat (3/1/2014).
Bahkan, ada warga yang justru mengaku di rumahnya belum dipasangi meteran prabayar, sekalipun dirinya bukanlah pegawai Telkom dan Telkomsel group, TNI, ataupun Keluarga Besar Polri.
“Di rumah saya belum di pasang, katanya mau dipasang sampai sekarang tidak, tetangga saya juga belum semuanya dipasang. Hanya beberapa saja. Masa 100 persen??? ckckck,” sambung pemilik account dengan nama Nurze Anytha.
Account dengan nama Sara Huke justru lebih keras mengkritisi PLN sehubungan dengan rekor Muri yang diraihnya.
“Hmmm, PLN dengan banggax terima Muri, padahal kerjanya belum maksimal. Klau terima Muri untuk pemadaman listrik dalam satu hari bisa 5 sampai 10 kali itu kami bisa maklumi, kalau untuk 100 persen masyarakat Sumba sudah memakai meteran pintar? macamnya kurang pas,” tukasnya.
“Perusahaan listrik negara dan perusahaan lilin negara beda tipis, mungkin 1 group? Listrik pintar..... ke Pelanggan, obral sanksi tapi miskin reward...!” sambung pemilik account Markus Mbaha Nadkumanunggu.
Kekesalan terhadap kinerja PLN terkait dengan kebijakannya menggunakan meteran listrik prabayar yang seolah mengabaikan konsumen juga tak hanya dikemukakan lewat media sosial. Tetapi juga masyarakat langsung.
”Saya dengan sengaja dijadikan orang yang punya hutang oleh PLN, padahal saya tiap bulan rutin bayar. Namun sejak September lalu, rekening listrik saya telah diblokir sepihak oleh PLN. Oleh petugas meteran saya dikatakan telah dimigrasikan, padahal saya sekalipun tidak pernah bertemu ataupun ditemui petugas PLN untuk menjelaskan langsung perihal migrasi. Ini kebijakan yang menjerumuskan konsumen,” ujar Bapa Ambu, warga Kelurahan Kambaniru.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Nyonya Renggi yang menyatakan PLN mengorbankan konsumen hanya untuk mengejar status 100 persen listrik prabayar, namun dilakukan dengan cara pemaksaan secara terselubung.
”Ini pemaksaan secara terselubung, saya akan pergi ngamuk di PLN nanti. Kapan saya bilang mau pindah meteran prabayar? Tiba-tiba saja rekening saya diblokir dan mereka tidak mau lagi terima bayaran rekening listrik. Nanti pasti kalau saya ikut maunya maka hutang saya akan menumpuk, kalau sudah begitu, PLN pasti lepas tidak peduli,” tandasnya.
(san)