Dikatakan malapraktik jika dokter lakukan 6 faktor
A
A
A
Sindonews.com - Kasus malapraktik dalam dunia kesehatan agaknya sedikit menjadi ketakutan dan menarik perhatian para akademisi, termasuk akademisi hukum. Dari sisi hukum, ternyata sebuah tindakan medis dapat dikatakan malapraktik jika dokter yang bersangkutan melakukan enam faktor.
"Ada enam faktor yang menjadi alat ukur apakah seorang dokter itu melakukan malapraktik medik atau tidak. Pertama, adanya kelalaian seperti mengabaikan dan menelantarkan kewajiban sehingga menimbulkan kerugian," ujar Dosen Fakultas Hukum UMY Ahdiana Yuni Lestari Senin (23/12/2013).
Kepada wartawan, Ahdiana menuturkan, faktor kedua dokter dapat dikatakan malapraktik jika tindakan medik yang dilakukan tidak sesuai dengan Standar Profesi Medis. Ketiga, tidak ada risiko medis kemudian tidak ada <>informed consent, RmK tidak lengkap dan tidak ada alasan pembenar atau pemaaf.
"Contohnya pada kasus dr Ayu dkk, tindakan mereka masih diragukan apakah benar-benar malapraktik atau tidak karena sudah sesuai dengan kewajiban standar profesi medis dan ada alasan pembenar atau pemaafnya," tegasnya.
Menurut Ahdiana, tindakan dr Ayu dkk juga sudah sesuai dengan kewajiban dan standar profesi medis. Sebab, tindakan medik yang dilakukan merupakan operasi cito di mana pasien harus ditangani saat itu juga. Bila tidak, penundaan tindakan medik justru dapat mengancam keselamatan jiwa pasien.
"dr Ayu dkk pun dibenarkan melakukan tindakan kedokteran dengan cukup memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Operasi Cito terhadap korban merupakan tindakan operasi dalam keadaan gawat darurat dan bisa dilakukan tanpa persetujuan tertulis demi menyelamatkan jiwa pasien. Hal itu sesuai dengan Pasal 35 UU Praktek Dokter," kata Ahdiana.
Hal senada disampaikan Dosen FH UMY Prof Siti Ismijati Jenie. Menurutnya, Mahkamah Agung kurang cermat dalam memberikan pertimbangan hukum pada dr Ayu dkk. Ismijati menjelaskan, jika dikaji secara medis apa yang dilakukan oleh dr. Ayu dkk itu tidak bertentangan dengan standar profesi medis dan tidak termasuk dalam kelalaian.
"Hal ini bahkan dikuatkan dengan temuan-temuan dan keterangan dari para dokter dan saksi, serta Pasal 45 UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Meski pada Pasal 45 disebutkan setiap tindakan medik terhadap pasien harus mendapat persetujuan, namun persetujuan itu diberikan setelah pasien atau keluarganya mendapat penjelasan secara lengkap," imbuhnya.
Selain itu, Ismi menuturkan, terjadinya emboli udara yang dipersoalkan merupakan suatu risiko tindakan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga tidak dapat pula diantisipasi. Dalam bahasa hukum, emboli udara tersebut merupakan suatu keadaan memaksa yang tidak dapat dipersalahkan kepada siapa pun juga.
"Jadi tidak sepantasnya pula para terdakwa dipersalahkan untuk hal tersebut. Dokter memang tidak dapat menjanjikan kesembuhan pasien 100 persen, tapi cukuplah ia bertindak sesuai standar profesinya," tukasnya.
"Ada enam faktor yang menjadi alat ukur apakah seorang dokter itu melakukan malapraktik medik atau tidak. Pertama, adanya kelalaian seperti mengabaikan dan menelantarkan kewajiban sehingga menimbulkan kerugian," ujar Dosen Fakultas Hukum UMY Ahdiana Yuni Lestari Senin (23/12/2013).
Kepada wartawan, Ahdiana menuturkan, faktor kedua dokter dapat dikatakan malapraktik jika tindakan medik yang dilakukan tidak sesuai dengan Standar Profesi Medis. Ketiga, tidak ada risiko medis kemudian tidak ada <>informed consent, RmK tidak lengkap dan tidak ada alasan pembenar atau pemaaf.
"Contohnya pada kasus dr Ayu dkk, tindakan mereka masih diragukan apakah benar-benar malapraktik atau tidak karena sudah sesuai dengan kewajiban standar profesi medis dan ada alasan pembenar atau pemaafnya," tegasnya.
Menurut Ahdiana, tindakan dr Ayu dkk juga sudah sesuai dengan kewajiban dan standar profesi medis. Sebab, tindakan medik yang dilakukan merupakan operasi cito di mana pasien harus ditangani saat itu juga. Bila tidak, penundaan tindakan medik justru dapat mengancam keselamatan jiwa pasien.
"dr Ayu dkk pun dibenarkan melakukan tindakan kedokteran dengan cukup memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Operasi Cito terhadap korban merupakan tindakan operasi dalam keadaan gawat darurat dan bisa dilakukan tanpa persetujuan tertulis demi menyelamatkan jiwa pasien. Hal itu sesuai dengan Pasal 35 UU Praktek Dokter," kata Ahdiana.
Hal senada disampaikan Dosen FH UMY Prof Siti Ismijati Jenie. Menurutnya, Mahkamah Agung kurang cermat dalam memberikan pertimbangan hukum pada dr Ayu dkk. Ismijati menjelaskan, jika dikaji secara medis apa yang dilakukan oleh dr. Ayu dkk itu tidak bertentangan dengan standar profesi medis dan tidak termasuk dalam kelalaian.
"Hal ini bahkan dikuatkan dengan temuan-temuan dan keterangan dari para dokter dan saksi, serta Pasal 45 UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Meski pada Pasal 45 disebutkan setiap tindakan medik terhadap pasien harus mendapat persetujuan, namun persetujuan itu diberikan setelah pasien atau keluarganya mendapat penjelasan secara lengkap," imbuhnya.
Selain itu, Ismi menuturkan, terjadinya emboli udara yang dipersoalkan merupakan suatu risiko tindakan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga tidak dapat pula diantisipasi. Dalam bahasa hukum, emboli udara tersebut merupakan suatu keadaan memaksa yang tidak dapat dipersalahkan kepada siapa pun juga.
"Jadi tidak sepantasnya pula para terdakwa dipersalahkan untuk hal tersebut. Dokter memang tidak dapat menjanjikan kesembuhan pasien 100 persen, tapi cukuplah ia bertindak sesuai standar profesinya," tukasnya.
(lal)