Korban kebijakan, pejabat & politikus di Banten tersandung korupsi

Rabu, 23 Oktober 2013 - 22:18 WIB
Korban kebijakan, pejabat & politikus di Banten tersandung korupsi
Korban kebijakan, pejabat & politikus di Banten tersandung korupsi
A A A
Sindonews.com - Banyak pejabat di lingkungan Pemerintahan Provinsi Banten dan politikus, yang diduga menjadi korban kebijakan kekuasaan keluarga Ratu Atut Chosiyah tersandung kasus korupsi. Hal itu terjadi sejak bapak Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chasan Sochib masih hidup.

Mantan Anggota DPRD Banten Periode 1999-2004 Riril Suhartinah mengatakan, kondisi Banten saat itu (2004) baru berpisah dengan Jawa Barat, kekuasan keluarga Atut sudah kuat karena sosok Chasan Sochib yang jawara.

"Semua kegiatan saat itu sudah distir Chasan Sochib, dan saat itu semua tidak ada berani melawan," ujar Riril saat dihubungi, Rabu (23/10/2013).

Menurut Riril, dirinya tersandung kasus itu dan menjadi tahanan karena bersalah dalam kasus dana perumahan DPRD Banten Rp14 miliar, dianggapnya karena korban politik kekuasaan Chasan Sochib. "Kami hanya jadi korban politik," kata Riril.

Sementara itu, selain anggota DPRD Banten, juga terdapat pejabat yang masuk penjara karena kasus dugaan korupsi. Namun belum bisa dipastikan, apakah keterlibatan para pejabat ini karena korban kebijakan Atut. Yang pasti, para pejabat yang masuk penjara ini, kebanyakan Biro Umum dan Perlengkapan, dengan kasus terbanyak yaitu pembebasan lahan.

Pada November 2011, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Serang juga memvonis bersalah dua terdakwa mantan Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Provinsi Banten Agus Randil selama 4,5 tahun penjara, dan Maman Suarta 5 tahun penjara.

Keduanya bersalah karena melakukan korupsi pengadaan lahan, untuk kawasan Sistem Pertanian Terpadu (Sitandu) pada 2009 dan 2010 senilai Rp67 miliar.

Selanjutnya, pada 2008, Mantan Kepala Biro Perlengkapan Iya Sukiya juga harus duduk dikursi pesakitan. Iya Sukiya, tersandung kasus pembayaran ganda pembebasan lahan seluas 6.210 meter persegi, untuk Kantor Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) senilai Rp2,4 miliar.

Bahkan dari informasi yang dihimpun, pada tahun 2005 atau lima tahun setelah Pemprov Banten berdiri, mantan Kepala Biro Perlengkapan Provinsi Banten Abdurahman Sabit dijatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Serang.

Selain itu, terdakwa juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp1,7 miliar atau kurungan tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta. Abdurrahman Sabit bersalah melakukan tindak pidana korupsi pembebasan lahan senilai Rp2,19 miliar.

Untuk kasus lain, pada tahun 2013 Kejati Banten telah menetapkan mantan Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi tersangka dalam kasus pengadaan surat suara tahun 2011, sebesar Rp3,5 miliar. Dan pada tahun 2012 lalu, Polda Banten juga telah menetapkan tersangka terhadap mantan Sekretaris DPRD Banten Dadi Rustandi dalam kasus pengadaan baju dinas untuk 85 anggota DPRD Banten senilai Rp590 juta.

Dadi kini menjadi terdakwa dan harus menjalankan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Serang.

Selain itu, pada Oktober 2011, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Serang juga memvonis Mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten Eko Endang Koswara dua tahun penjara dan denda Rp100 juta. Eko dinyatakan bersalah, karena melakukan korupsi proyek pengadaan barang dan jasa peningkatan mutu MIPA SMP tahun 2008 sebesar Rp5,3 miliar.

Beberapa kasus korupsi yang terjadi di Banten juga banyak melibatkan pejabat eselon III (Kabid) dan IV (Kasi), dan para pengusaha yang memenangkan tender dari proyek APBD Banten dan APBN. Seperti kasus korupsi dugaan korupsi pengadaan empat unit kapal yang saat ini ditangani Kejaksaan Agung dan pembangunan jalan Terate – Banten Lama yang saat ini ditangani oleh Kejari Serang.

Anggota Komisi I DPRD Banten Siti Saidah Silalahi saat dimintai tanggapanya terkait masalah tersebut mengatakan, Pemerintah Provinsi Banten saat ini harus memaksimalkan fungsinya dalam menempatkan pejabat dan melakukan uji kopetensi.

“Jadi dalam pengangkatan pejabat bukan dilihat dari unsur kedekatan, melainkan dilihat dari kopetensinya,” ujar Siti Saidah Silalahi.

Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat juga terus dilakukan, sehingga tidak ada lagi pejabat yang terlibat korupsi. “Kami juga (anggota DPRD Banten) ikut mengawasi, tapi terkait penempatan pejabat itu hak dari eksekutif,” ujarnya.

Sebelumnya, Sekretaris Daerah Banten Muhadi saat ditanya apakah pejabat Banten yang terlibat korupsi karena mental mereka lemah, Muhadi membantahnya. Dia mengaku, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya mengingatkan pegawai agar tertib aturan terutama dalam pengadaan barang dan jasa.

"Kami selalu ingatkan pejabat untuk mengikuti aturan pengadaan barang dan jasa mulai dari harga satuan, panitia pengadaan, dan sebagainya. Soal mental atau bukan kita tidak tahu. Lagi pula siapa yang menyangka akan terjerat," tandasnya.

Menurutnya, sejumlah kasus yang menimpa pejabat Pemprov Banten termasuk Erik hanya kekeliruan soal pemahaman.

"Jadi kinerja yang harus diluruskan dan dievaluasi. Per tiga bulan kami ada evaluasi program fisik dan keuangan. Kami juga Badan Pendidikan dan Pelatihan (Bandiklat) dalam rangka peningkatan kemampuan pegawai, agar tidak terjadi kekliruan," jelasnya.

Dia mengaku jika penempatan pejabat selama ini sudah sesuai dengan pertimbangan yang matang melalui Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). "Termasuk menilai dedikasi, loyalitas. Serta masukan dari Inspektur," katanya.

Baca juga melalui dana hibah APBD Banten tersedot keluarga Atut.
(stb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8546 seconds (0.1#10.140)