TNK masih berharap zona khusus
A
A
A
Sindonews.com - Pihak Taman Nasional Kutai (TNK) masih berharap agar kawasan yang diusulkan masuk dalam proses pelepasan sebagian kawasan (enclave ) tidak terjadi, dan kawasan itu dijadikan zona khusus.
Artinya kawasan tersebut tidak dilepas dari kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Kutai Timur. Hanya saja, ada zona khusus yang diperbolehkan dihuni masyarakat dan tetap menjadi bagian TNK.
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Sangatta, Kutai Timur Hernowo Supriyanto menyatakan pihaknya berharap zona khusus, bukan enclave.
“Terserah dewan saja mas, tawaran TNK tetap zona khusus,” katanya saat dihubungi, Rabu (23/10/2013).
Proses enclave sebagian kawasan TNK kini menjadi pembahasan Komisi IV DPR RI. Pembahasan alot terjadi mengenai luas kawasan yang akan dibebaskan.
Bupati Kutai timur mengusulkan luasan yang di-enclave seluas 29.206 hektare.
Sedangkan Rapat Tim Terpadu dan Kementerian Kehutanan untuk menindaklanjuti usulan tersebut merekomendasikan perubahan peruntukan seluas 17.503 hektare.
Namun berdasarkan hasil rekomendasi akhir (SK Nomor 554/Menhut-II/2013), yang disetujui seluas 7.816 hektare menjadi APL (Areal Penggunaan Lain) untuk mengakomodir Kecamatan Sangkima, Teluk Pandan dan Sangatta Selatan, serta Bandara Sangkima, fasilitas umum dan fasilitas sosial yang ada di dalam kawasan TNK.
Mengenai luasan lahan pengganti yang ditawarkan Gubernur Kaltim di eks Hak Pengelolaan Hutan (HPH) milik PT Porodisa yang terletak di bagian utara TNK, Hernowo menyebut itu bisa saja terjadi. Namun ekosistem sebuah kawasan tidak bisa ditukar begitu saja.
“Kalau bisanya (lahan pengganti) ya bisa saja. Tapi ekosistem kan tidak bisa diganti atau ditukar-tukar. TNK itu mewakili ekosistem pesisir hingga perbukitan,” katanya.
Hernowo juga menyebut kawasan eks PT Porodisa tak bisa dijadikan bagian dari kawasan konservasi TNK. Ada beberapa alasan mendasar sehingga lahan tersebut sulit menjadi bagian TNK selain masalah ekosistem.
“Lahan itu sudah tidak ada hutannya, tinggal semak dan sangat marak illegal logging. Selain itu juga ada konversi sawit masyarakat dan areal eks kebakaran. Ada juga izin tambang di kawasan itu,” katanya.
Meski dipaksakan menjadi bagian TNK, dia menyebut bisa saja dilakukan. Namun itu tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya.
“Kalau mau di-enclave ya enclave saja dengan segala konsekuensinya. Jangan menambah permasalahan dengan menambah luasan yang sudah tidak clear and clean,” pungkasnya.
Artinya kawasan tersebut tidak dilepas dari kawasan konservasi yang terletak di Kabupaten Kutai Timur. Hanya saja, ada zona khusus yang diperbolehkan dihuni masyarakat dan tetap menjadi bagian TNK.
Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Sangatta, Kutai Timur Hernowo Supriyanto menyatakan pihaknya berharap zona khusus, bukan enclave.
“Terserah dewan saja mas, tawaran TNK tetap zona khusus,” katanya saat dihubungi, Rabu (23/10/2013).
Proses enclave sebagian kawasan TNK kini menjadi pembahasan Komisi IV DPR RI. Pembahasan alot terjadi mengenai luas kawasan yang akan dibebaskan.
Bupati Kutai timur mengusulkan luasan yang di-enclave seluas 29.206 hektare.
Sedangkan Rapat Tim Terpadu dan Kementerian Kehutanan untuk menindaklanjuti usulan tersebut merekomendasikan perubahan peruntukan seluas 17.503 hektare.
Namun berdasarkan hasil rekomendasi akhir (SK Nomor 554/Menhut-II/2013), yang disetujui seluas 7.816 hektare menjadi APL (Areal Penggunaan Lain) untuk mengakomodir Kecamatan Sangkima, Teluk Pandan dan Sangatta Selatan, serta Bandara Sangkima, fasilitas umum dan fasilitas sosial yang ada di dalam kawasan TNK.
Mengenai luasan lahan pengganti yang ditawarkan Gubernur Kaltim di eks Hak Pengelolaan Hutan (HPH) milik PT Porodisa yang terletak di bagian utara TNK, Hernowo menyebut itu bisa saja terjadi. Namun ekosistem sebuah kawasan tidak bisa ditukar begitu saja.
“Kalau bisanya (lahan pengganti) ya bisa saja. Tapi ekosistem kan tidak bisa diganti atau ditukar-tukar. TNK itu mewakili ekosistem pesisir hingga perbukitan,” katanya.
Hernowo juga menyebut kawasan eks PT Porodisa tak bisa dijadikan bagian dari kawasan konservasi TNK. Ada beberapa alasan mendasar sehingga lahan tersebut sulit menjadi bagian TNK selain masalah ekosistem.
“Lahan itu sudah tidak ada hutannya, tinggal semak dan sangat marak illegal logging. Selain itu juga ada konversi sawit masyarakat dan areal eks kebakaran. Ada juga izin tambang di kawasan itu,” katanya.
Meski dipaksakan menjadi bagian TNK, dia menyebut bisa saja dilakukan. Namun itu tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya.
“Kalau mau di-enclave ya enclave saja dengan segala konsekuensinya. Jangan menambah permasalahan dengan menambah luasan yang sudah tidak clear and clean,” pungkasnya.
(lns)