Ruang kelas roboh, siswa SDN Sindangsari kritis
A
A
A
Sindonews.com - Sani Afansah (7) siswa kelas II SDN Sindangsari III, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, terbaring lemah menahan sakit di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr Slamet Garut.
Putra semata wayang dari pasangan Syarifudin (30) dan (Alm) Tini ini, mengeluarkan busa pada mulutnya ketika mendapat penanganan medis dari perawat. Sani merupakan satu-satunya korban luka berat dalam peristiwa ambruknya bangunan tua, sebuah ruangan kelas SDN Sindangsari III.
Bagian belakang kepala Sani, terbentur keras oleh dinding bangunan yang ambruk sekira pukul 09.30 WIB. Sesekali, kedua lengan kecilnya memeluk bahu ayahnya Syarifudin yang menemaninya di IGD. Kedua kakinya tampak kejang seperti mencoba berontak dari rangkulan ayahnya.
Salah satu perawat yang enggan disebutkan identitasnya menuturkan, kondisi Sani ketika masuk IGD sudah tak sadarkan diri. Menurut dia, gerakan tubuh Sani saat itu dilakukan secara refleks.
“Kami akan coba rontgen kepalanya. Kami khawatir, bagian otaknya mengalami kerusakan. Sebab, tulang tengkorak belakangnya sudah lembek. Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa tulang tengkorak belakangnya remuk akibat benturan hebat," katanya, kepada wartawan, Kamis (10/10/2013).
Raut khawatir tampak jelas di wajah Syarifudin yang berulang kali menenangkan Sani. Di mata Syarifudin, Sani merupakan anak kebanggaan satu-satunya yang diberikan oleh isterinya (Alm) Tini.
Tini sendiri meninggal dunia saat melahirkan Sani pada 7 tahun silam di kediaman mereka, Kampung Sirnagalih RT02/06, Desa Sindangsari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut. Meski bekerja sebagai buruh serabutan, Syarifudin tetap berupaya agar anaknya tersebut mendapat penghidupan dan pendidikan yang layak.
“Tidak ada lagi yang saya inginkan selain anak ini (Sani) diberikan kesembuhan dan keselamatan. Dia harapan saya satu-satunya,” ucapnya.
Hingga kini, belum diketahui berapa jumlah dan siapa yang akan menanggung biaya perawatan Sani di rumah sakit. Namun, seorang guru SDN Sindangsari III yang ikut mengantar, tampak mengurusi keperluan obat untuk Sani.
Duloh, seorang guru SDN Sindangsari III menuturkan, peristiwa yang dialami Sani terjadi saat seluruh siswa dan para guru menikmati jam istirahat. Sani dan beberapa temannya sempat bermain di sekitar bangunan yang akan roboh.
“Bangunan itu kemudian roboh seketika dan menimpa anak-anak beserta sejumlah orang dewasa termasuk saya. Untungnya, dinding itu tidak langsung menimpa, karena sempat tertahan oleh bangunan lain di sekitarnya. Namun nahas, kepala Sani terbentur dan mengalami luka berat setelahnya,” bebernya.
Peristiwa ambruknya salah satu ruang kelas itu, terjadi saat pihak sekolah merenovasi bangunan yang tidak layak. Ruangan kelas yang ambruk merupakan salah satu bangunan dari program rehab yang sedang berjalan.
“Beberapa bangunan di sekolah kami sudah tua dan tidak layak untuk digunakan. Sekolah kami merupakan SD Inpres yang didirikan pada tahun 1982 silam. Sejak saat itu, sekolah belum pernah diperbaiki. Upaya perbaikan dilakukan baru-baru ini,” ungkapnya.
Menurut Duloh, upaya perbaikan yang dilakukan bersifat swakelola, yaitu kerja sama antara sekolah dan komite. Setidaknya tiga ruang kelas, yaitu ruang kelas I, II, dan III masuk ke dalam daftar ruangan yang direnovasi.
“Belum sempat diperbaiki, ruangan kelas I sudah ambruk duluan. Padahal, para pekerja masih memperbaiki ruang kelas II dan III,” ucapnya.
Duloh memaparkan, tiga bangunan yang sedang direnovasi, sudah tidak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). Siswa kelas I, II, dan III, ikut menumpang belajar di ruangan kelas IV, V, dan VI karena bangunan kelas mereka sudah tidak layak.
“Kebetulan, ruangan kelas IV, V, dan VI kosong untuk jam belajar pagi. Kakak kelas mereka belajar di siang hari. Jadi sifat pemakaiannya bergantian,” ujarnya.
Selain Sani, ambruknya bangunan ruang kelas I ini setidaknya melukai lima siswa lainnya. Namun karena kelima siswa ini mengalami luka ringan, mereka cukup mendapat perawatan di puskesmas terdekat saja.
Putra semata wayang dari pasangan Syarifudin (30) dan (Alm) Tini ini, mengeluarkan busa pada mulutnya ketika mendapat penanganan medis dari perawat. Sani merupakan satu-satunya korban luka berat dalam peristiwa ambruknya bangunan tua, sebuah ruangan kelas SDN Sindangsari III.
Bagian belakang kepala Sani, terbentur keras oleh dinding bangunan yang ambruk sekira pukul 09.30 WIB. Sesekali, kedua lengan kecilnya memeluk bahu ayahnya Syarifudin yang menemaninya di IGD. Kedua kakinya tampak kejang seperti mencoba berontak dari rangkulan ayahnya.
Salah satu perawat yang enggan disebutkan identitasnya menuturkan, kondisi Sani ketika masuk IGD sudah tak sadarkan diri. Menurut dia, gerakan tubuh Sani saat itu dilakukan secara refleks.
“Kami akan coba rontgen kepalanya. Kami khawatir, bagian otaknya mengalami kerusakan. Sebab, tulang tengkorak belakangnya sudah lembek. Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa tulang tengkorak belakangnya remuk akibat benturan hebat," katanya, kepada wartawan, Kamis (10/10/2013).
Raut khawatir tampak jelas di wajah Syarifudin yang berulang kali menenangkan Sani. Di mata Syarifudin, Sani merupakan anak kebanggaan satu-satunya yang diberikan oleh isterinya (Alm) Tini.
Tini sendiri meninggal dunia saat melahirkan Sani pada 7 tahun silam di kediaman mereka, Kampung Sirnagalih RT02/06, Desa Sindangsari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut. Meski bekerja sebagai buruh serabutan, Syarifudin tetap berupaya agar anaknya tersebut mendapat penghidupan dan pendidikan yang layak.
“Tidak ada lagi yang saya inginkan selain anak ini (Sani) diberikan kesembuhan dan keselamatan. Dia harapan saya satu-satunya,” ucapnya.
Hingga kini, belum diketahui berapa jumlah dan siapa yang akan menanggung biaya perawatan Sani di rumah sakit. Namun, seorang guru SDN Sindangsari III yang ikut mengantar, tampak mengurusi keperluan obat untuk Sani.
Duloh, seorang guru SDN Sindangsari III menuturkan, peristiwa yang dialami Sani terjadi saat seluruh siswa dan para guru menikmati jam istirahat. Sani dan beberapa temannya sempat bermain di sekitar bangunan yang akan roboh.
“Bangunan itu kemudian roboh seketika dan menimpa anak-anak beserta sejumlah orang dewasa termasuk saya. Untungnya, dinding itu tidak langsung menimpa, karena sempat tertahan oleh bangunan lain di sekitarnya. Namun nahas, kepala Sani terbentur dan mengalami luka berat setelahnya,” bebernya.
Peristiwa ambruknya salah satu ruang kelas itu, terjadi saat pihak sekolah merenovasi bangunan yang tidak layak. Ruangan kelas yang ambruk merupakan salah satu bangunan dari program rehab yang sedang berjalan.
“Beberapa bangunan di sekolah kami sudah tua dan tidak layak untuk digunakan. Sekolah kami merupakan SD Inpres yang didirikan pada tahun 1982 silam. Sejak saat itu, sekolah belum pernah diperbaiki. Upaya perbaikan dilakukan baru-baru ini,” ungkapnya.
Menurut Duloh, upaya perbaikan yang dilakukan bersifat swakelola, yaitu kerja sama antara sekolah dan komite. Setidaknya tiga ruang kelas, yaitu ruang kelas I, II, dan III masuk ke dalam daftar ruangan yang direnovasi.
“Belum sempat diperbaiki, ruangan kelas I sudah ambruk duluan. Padahal, para pekerja masih memperbaiki ruang kelas II dan III,” ucapnya.
Duloh memaparkan, tiga bangunan yang sedang direnovasi, sudah tidak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). Siswa kelas I, II, dan III, ikut menumpang belajar di ruangan kelas IV, V, dan VI karena bangunan kelas mereka sudah tidak layak.
“Kebetulan, ruangan kelas IV, V, dan VI kosong untuk jam belajar pagi. Kakak kelas mereka belajar di siang hari. Jadi sifat pemakaiannya bergantian,” ujarnya.
Selain Sani, ambruknya bangunan ruang kelas I ini setidaknya melukai lima siswa lainnya. Namun karena kelima siswa ini mengalami luka ringan, mereka cukup mendapat perawatan di puskesmas terdekat saja.
(san)