Gugat SK Menhut No.367, petani di Blitar dipukuli

Selasa, 24 September 2013 - 14:46 WIB
Gugat SK Menhut No.367, petani di Blitar dipukuli
Gugat SK Menhut No.367, petani di Blitar dipukuli
A A A
Sindonews.com - Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.367 tahun 2013 yang mengubah kawasan eks perkebunan Gondang Tapen Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar menjadi kawasan hutan, digugat para aktivis tani.

Selain melenyapkan hak 860 orang petani pemohon redistribusi tanah, terbitnya SK menteri diduga hasil persekongkolan jahat antara pihak pemodal dan elit kekuasaan.

Menurut keterangan Juru Bicara Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) Farhan Mahfudzi, 800 hektare tanah perkebunan tersebut disiapkan untuk kebutuhan tukar guling (ruislag) perusahaan semen ternama yang bekerja sama dengan Perum Perhutani.

Ruislag tersebut diamini Pemkab Blitar yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga, sekaligus penyedia lahan pengganti.

"Dengan berstatus kawasan hutan, proses ruislag akan berjalan licin. Dalam kesepakatan tersebut, sejumlah oknum Kabupaten Blitar memperoleh imbalan puluhan hektare tanah," ujar Farhan kepada wartawan, Selasa (24/9/2013).

Dari data yang dihimpun, terbitnya SK Menhut berawal dari kerjasama PT Holcim dengan Perhutani di wilayah Kabupaten Tuban.

Belum diketahui pasti bagaimana alur konspirasinya, PT Holcim yang berkewajiban mengganti lahan ruislag menjatuhkan pilihan pada eks tanah perkebunan Gondang Tapen di Kabupaten Blitar.

Sementara tanah yang terpilih berstatus tanah negara yang tengah diperjuangkan menjadi tanah rakyat. Selain berupa permukiman, tanah yang ada sekaligus menjadi alat produksi warga.

Dengan menjadi kawasan hutan, secara otomatis rakyat akan kehilangan hak hidupnya. "Kami menilai SK Menhut ini sebagai produk hukum yang ngawur. Karenanya kami menuntut untuk dicabut," tegas Farhan.

Informasi lain menyebutkan, bahwa dengan berhasil mengubah permukiman menjadi kawasan hutan, sejumlah oknum Pemkab Blitar memperoleh imbalan (fee) berwujud tanah seluas 70 hektar.

Dengan kondisi yang secara politik dan hukum tidak menguntungkan, sekitar 500 orang petani Blitar turun ke jalan. Mereka mendatangi Kantor DPRD dan Pemkab Blitar. Selain merayakan hari tani, massa juga menuntut konspirasi jahat tersebut diusut tuntas.

"Secara hukum tentu ada unsur gratifikasi (suap) yang membayangi proses itu. Karenanya ini harus diusut tuntas," tandas Farhan.

Selain perkara eks perkebunan Gondang Tapen, para petani juga menuntut percepatan redistribusi 900 hektare tanah di eks perkebunan Gunung Nyamil di wilayah Kecamatan Wonotirto. Petani juga merasakan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan sejumlah oknum TNI kepada masyarakat penggarap lahan.

Seperti diketahui, sengketa yang terjadi di Gunung Nyamil adalah konflik agraria yang menghadapkan masyarakat setempat dengan institusi Puskopad DAM V Brawijaya Jawa Timur.

Versi petani menyebutkan bahwa TNI melakukan pengelolaan tanah tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Karenanya TNI dituntut segera mengeluarkan akta pelepasan tanah dan mengembalikan tanah kepada rakyat.

"Apa yang menjadi hak rakyat harus kembali ke rakyat. Hukum oknum TNI yang telah melakukan pungli ke masyarakat," serunya.

Aksi berlangsung ricuh. Massa mencoba merangsek masuk gedung dewan yang dijaga ketat aparat kepolisian. Adu fisik pun tak terhindarkan. Karena terdesak, massa petani mengubah perlawanan dengan memblokade lalu lintas jalan.

Meski sempat meradang, memaki, termasuk membungkam paksa korlap aksi Jaka Wandira untuk tidak terus berorasi, ketegangan antara massa petani dan aparat polisi berhasil teratasi.

Perwakilan massa diperbolehkan masuk gedung dewan. Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Blitar Endar Soeparno yang menemui perwakilan petani berjanji akan membahas dalam rapat komisi. "Kita akan mengkaji ini dalam rapat komisi," ujarnya.

Hal senada disampaikan Kabag Tata Pemerintahan Pemkab Suhendro Winarso yang meminta waktu tujuh hari untuk mengkaji persoalan yang ada. "Kita meminta waktu untuk mempelajari dan mengkaji masalah yang ada," terangnya.

Seperti diketahui, dari 10 titik wilayah sengketa agraria yang diperjuangkan PPAB, hingga kini masih ada 6 titik yang proses hukumnya masih terkatung-katung.

Dan mengambangnya penyelesaian kasus agraria faktanya lebih banyak dipengaruhi adanya kepentingan politik sejumlah oknum penguasa.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8065 seconds (0.1#10.140)