Negara tak boleh kalah melawan teroris
A
A
A
Sindonews.com – Terorisme adalah produk masyarakat. Terorisme bukan hanya masalah hukum dan keamanan, namun merupakan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Kejahatan ini tak boleh hanya dilihat sebagai polisi baku tembak melawan teroris. Penanggulangannya, harus melibatkan semua pihak, tak terkecuali masyarakat. Karena negara tak boleh kalah melawan terorisme.
Data yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak peristiwa pemboman di Indonesia sekira sejak tahun 2000 hingga sekarang, tercatat 900 teroris ditangkap.
600 di antaranya diseret ke meja hijau pengadilan, dan 300 sisanya sudah keluar setelah menjalani hukuman.
Kepala BNPT, Ansyaad Mbai, mengatakan terorisme adalah ancaman terbesar bangsa ini. Hal itu akan semakin bertambah jika teroris menganggap hanya berhadapan dengan polisi, dari BNPT atau Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
“Teroris adalah menggurita di Indonesia. Perlu dipahami bersama bahwa terorisme adalah berbahaya. Saya bicara realita di lapangan. Memang faktanya, tiap teroris yang kami pegang ternyata aktivis masjid, tidak diduga. Ini juga membuat polisi bingung, siapa yang mencekoki seperti itu,” katanya saat menjadi pembicara SEMINAR NASIONAL; Penanggulangan Terorisme Antara Keutuhan NKRI dan Penegakan HAM di Semarang, Kamis (12/9/2013).
Untuk persoalan ini, kata dia, pihaknya sudah membuat berbagai strategi. Mulai dari pencegahan termasuk deradikalisasi, penindakan, kesiapsiagaan hingga menggalang kerjasama internasional.
“Terorisme adalah musuh bersama, bukan hanya polisi. Karena tindakannya mengancam keutuhan NKRI. Masyarakat harus memahami ini. Informasi sekecil apapun sangat berguna bagi kami. Negara tidak boleh kalah melawan terorisme,” tandasnya.
Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Muladi, berargumen akar penyebab terjadinya terorisme adalah radikalisme, ekstremisme atau fundamentalisme, khususnya dengan latar belakang agama.
“Kejahatan semacam ini adalah produk sosial. Kelompok – kelompok teroris mengeksploitasi penderitaan umat manusia dan solidaritas agama dengan berbagai akibat atas tindakan teror itu,” tambahnya.
Namun demikian, kata Muladi, dalam pemberantasannya tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena sudah ada berbagai resolusi internasional terkait ini.
Muladi mencontohkan, adanya Resolusi PBB 1456 tahun 2003, tentang memerangi terorisme harus taat pada kewajiban internasional, HAM dan hukum humaniter.
“Dari sisi hukum pidana internasional juga terdapat 13 konvensi internasional untuk mencegah dan memerangi terorisme. Sering disebut sectoral instruments. Ini tentang pengaturan aspek – aspek khusus terorisme.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM RI, Natalius Pigai, berargumen penindakan terorisme ini seringkali dilakukan dengan cara – cara teror.
Cara – cara polisi langsung menembak mati atau kekerasan lainnya dianggap sama halnya dengan apa yang dilakukan teroris.
“Tentu harus kedepankan azas praduga tak bersalah. Ini belum tersangka, masih dicurigai langsung ditembak. Catatan kami, sejak 2002 hingga sekarang ada 83 tersangka teroris yang mati ditembak aparat,” timpalnya.
Hal itu, kata Pigai, bukan tidak mungkin akan membuat aksi teror terus berlanjut. Karena bukan tidak mungkin, aksi – aksi kekerasan semacam itu memicu aksi balas dendam.
“Sudah sangat banyak laporan yang masuk ke kami. Aduan. Tak terkecuali yang terjadi di Jawa Tengah, khususnya Solo itu sangat banyak. Rata – rata mereka mendapat perlakuan pelanggaran di TKP (Tempat Kejadian Perkara) hingga saat dibawa ke Polda,” tambahnya.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Prof. Ahmad Rofiq, yang juga jadi pembicara seminar, mengatakan problema paham atau aliran yang mengancam nasionalisme adalah munculnya radikalisme ekslusif, merasa benar sendiri dan menyalahkan lainnya.
“Jihad bukan teror, dan tindakan terorisme bukan jihad,” tandasnya.
Kejahatan ini tak boleh hanya dilihat sebagai polisi baku tembak melawan teroris. Penanggulangannya, harus melibatkan semua pihak, tak terkecuali masyarakat. Karena negara tak boleh kalah melawan terorisme.
Data yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sejak peristiwa pemboman di Indonesia sekira sejak tahun 2000 hingga sekarang, tercatat 900 teroris ditangkap.
600 di antaranya diseret ke meja hijau pengadilan, dan 300 sisanya sudah keluar setelah menjalani hukuman.
Kepala BNPT, Ansyaad Mbai, mengatakan terorisme adalah ancaman terbesar bangsa ini. Hal itu akan semakin bertambah jika teroris menganggap hanya berhadapan dengan polisi, dari BNPT atau Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
“Teroris adalah menggurita di Indonesia. Perlu dipahami bersama bahwa terorisme adalah berbahaya. Saya bicara realita di lapangan. Memang faktanya, tiap teroris yang kami pegang ternyata aktivis masjid, tidak diduga. Ini juga membuat polisi bingung, siapa yang mencekoki seperti itu,” katanya saat menjadi pembicara SEMINAR NASIONAL; Penanggulangan Terorisme Antara Keutuhan NKRI dan Penegakan HAM di Semarang, Kamis (12/9/2013).
Untuk persoalan ini, kata dia, pihaknya sudah membuat berbagai strategi. Mulai dari pencegahan termasuk deradikalisasi, penindakan, kesiapsiagaan hingga menggalang kerjasama internasional.
“Terorisme adalah musuh bersama, bukan hanya polisi. Karena tindakannya mengancam keutuhan NKRI. Masyarakat harus memahami ini. Informasi sekecil apapun sangat berguna bagi kami. Negara tidak boleh kalah melawan terorisme,” tandasnya.
Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Muladi, berargumen akar penyebab terjadinya terorisme adalah radikalisme, ekstremisme atau fundamentalisme, khususnya dengan latar belakang agama.
“Kejahatan semacam ini adalah produk sosial. Kelompok – kelompok teroris mengeksploitasi penderitaan umat manusia dan solidaritas agama dengan berbagai akibat atas tindakan teror itu,” tambahnya.
Namun demikian, kata Muladi, dalam pemberantasannya tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena sudah ada berbagai resolusi internasional terkait ini.
Muladi mencontohkan, adanya Resolusi PBB 1456 tahun 2003, tentang memerangi terorisme harus taat pada kewajiban internasional, HAM dan hukum humaniter.
“Dari sisi hukum pidana internasional juga terdapat 13 konvensi internasional untuk mencegah dan memerangi terorisme. Sering disebut sectoral instruments. Ini tentang pengaturan aspek – aspek khusus terorisme.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM, Komnas HAM RI, Natalius Pigai, berargumen penindakan terorisme ini seringkali dilakukan dengan cara – cara teror.
Cara – cara polisi langsung menembak mati atau kekerasan lainnya dianggap sama halnya dengan apa yang dilakukan teroris.
“Tentu harus kedepankan azas praduga tak bersalah. Ini belum tersangka, masih dicurigai langsung ditembak. Catatan kami, sejak 2002 hingga sekarang ada 83 tersangka teroris yang mati ditembak aparat,” timpalnya.
Hal itu, kata Pigai, bukan tidak mungkin akan membuat aksi teror terus berlanjut. Karena bukan tidak mungkin, aksi – aksi kekerasan semacam itu memicu aksi balas dendam.
“Sudah sangat banyak laporan yang masuk ke kami. Aduan. Tak terkecuali yang terjadi di Jawa Tengah, khususnya Solo itu sangat banyak. Rata – rata mereka mendapat perlakuan pelanggaran di TKP (Tempat Kejadian Perkara) hingga saat dibawa ke Polda,” tambahnya.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Prof. Ahmad Rofiq, yang juga jadi pembicara seminar, mengatakan problema paham atau aliran yang mengancam nasionalisme adalah munculnya radikalisme ekslusif, merasa benar sendiri dan menyalahkan lainnya.
“Jihad bukan teror, dan tindakan terorisme bukan jihad,” tandasnya.
(lns)