Warga Merapi di KRB, tak meriahkan HUT RI
A
A
A
Sindonews.com - Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang ke 68 tak terlihat meriah di Kawasan Rawan Bencana (KRB) lereng Merapi, wilayah Sleman. Bahkan, hanya segelintir rumah milik warga saja yang mengibarkan bendera merah putih.
Kepala Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Suroto mengatakan, sejak dulu, upacara bendera peringatan yang digelar setiap 17 Agustus di wilayahnya yang merupakan KRB, dijadikan satu baik pelajar, warga, maupun perangkat desa di lapangan Argomulyo, Cangkringan.
"Kalau upacara bendera, sejak dulu dijadikan satu di Cangkringan yang bukan KRB," kata dia, Sabtu (17/8) kemarin.
Namun, perbedaannya terlihat setelah wilayahnya ditetapkan sebagai KRB, pada awal 2012 lalu. Sebelumnya, anak-anak, pemuda, sampai Orangtua mengadakan berbedagai perlombaan untuk memeriahkan, saat ini sudah tidak ada lagi.
Bahkan, pada 2011 lalu setelah erupsi, banyak warga biasa yang melakukan upacara HUT RI diatas pasir sisa erupsi 2010, sudah tidak dilakukan lagi.
"2013 ini, tidak ada satu pun (warga KRB) yang memasang bendera. Kami sudah menghimbau, tapi itu kan hak mereka. Mungkin karena keterbatasan ekonomu tidak adanya keputusan yang jelas mengenai status wilayah ini," tuturnya.
Di wilayahnya, terdapat 1194 Kepala Keluarga (KK). 400 KK diantaranya menempati KRB yang biasa warga setempat sebut, 'Kawasan Ra Dibantu' (Kawasan Tidak Dibantu).
Terdapat di tiga dusun, yaitu Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen.
"Kami berharap pemerintah pusat segera memberikan status yang jelas mengenai Living in Harmoni with Disaster Risk (hidup selaras dengan risiko bencana)," ujarnya.
Program itu dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kebencanaan, seperti penderian Early Warning System (EWS), pelebaran atau pembuatan jalan jalur evakuasi, dan lainnya.
Kepala Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, Suroto mengatakan, sejak dulu, upacara bendera peringatan yang digelar setiap 17 Agustus di wilayahnya yang merupakan KRB, dijadikan satu baik pelajar, warga, maupun perangkat desa di lapangan Argomulyo, Cangkringan.
"Kalau upacara bendera, sejak dulu dijadikan satu di Cangkringan yang bukan KRB," kata dia, Sabtu (17/8) kemarin.
Namun, perbedaannya terlihat setelah wilayahnya ditetapkan sebagai KRB, pada awal 2012 lalu. Sebelumnya, anak-anak, pemuda, sampai Orangtua mengadakan berbedagai perlombaan untuk memeriahkan, saat ini sudah tidak ada lagi.
Bahkan, pada 2011 lalu setelah erupsi, banyak warga biasa yang melakukan upacara HUT RI diatas pasir sisa erupsi 2010, sudah tidak dilakukan lagi.
"2013 ini, tidak ada satu pun (warga KRB) yang memasang bendera. Kami sudah menghimbau, tapi itu kan hak mereka. Mungkin karena keterbatasan ekonomu tidak adanya keputusan yang jelas mengenai status wilayah ini," tuturnya.
Di wilayahnya, terdapat 1194 Kepala Keluarga (KK). 400 KK diantaranya menempati KRB yang biasa warga setempat sebut, 'Kawasan Ra Dibantu' (Kawasan Tidak Dibantu).
Terdapat di tiga dusun, yaitu Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen.
"Kami berharap pemerintah pusat segera memberikan status yang jelas mengenai Living in Harmoni with Disaster Risk (hidup selaras dengan risiko bencana)," ujarnya.
Program itu dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kebencanaan, seperti penderian Early Warning System (EWS), pelebaran atau pembuatan jalan jalur evakuasi, dan lainnya.
(lns)