Marak, agama sebagai pembenaran tindakan radikal
A
A
A
Sindonews.com - Sejak dulu marak terjadi sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama sebagai pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan.
Para pelakunya merasa menjadi orang paling benar sehingga tidak ada lagi ruang untuk diskusi soal agama.
"Munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama dalam melakukan kekerasan ini tidak hanya terjadi di lingkup nasional namun juga tingkat global. Sebut saja gerakan Islam Syariat yang melakukan kekerasan karena merasa paling benar pemahamannya akan agama," ujar Tokoh Islam Nasional Syafi'i Maarif di Universitas Muhammadiyah Yogyakarata, Kamis (25/7/2023).
Dalam acara bedah buku syariah Reproduksi Ideologi Salafiyah di Indonesia karya Ketua PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir, Syafi'i menuturkan, contoh lain ialah organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) yang saat ini tengah marak diperbincangkan.
Terbukti, kasus bentrok di Kendal yang terjadi beberapa waktu lalu dikarenakan pemahaman agama secara sepihak.
"Ruang diskusi keagamanan seakan tertutup dan tidak dikenal lagi karena pelaku gerakan radikal tersebut menganggap Islam yang mereka anut dianggap paling benar. Di sisi lain, aparat penegak hukum sepertinya tidak berfungsi dengan baik karena tidak dapat menangani kekerasan yang dilakukan," imbuhnya.
Menurut Syafi'i, Islam yang sangat kaku akan menjadi anti ilmu pengetahuan. Padahal Islam seharusnya berkemajuan dan mengikuti perkembangan jaman.
Sementara organisasi Islam lain, menurut pendiri Maarif Institut tersebut, sibuk dengan diri sendiri. Mereka seperti tidak peduli dengan persoalan sosial yang kian marak terjadi itu.
"Jika kondisi ini diteruskan, Islam akan menggali kuburnya sendiri di masa depan," tegasnya.
Sementara itu, Haidar mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia diguncang berbagai aliran ke-Islaman yang diidentifikasikan sebagai gerakan Islam radikal.
Dalam gerakan itu muncul berbagai aliran seperti wahabisme, revivalisme, salafisme dan puritanisme.
"Semuanya seakan berlomba-lomba menawarkan aktivitasnya pada masyarakat Indonesia dengan berbagai metode gerakan yang tidak jarang bertabrakan dengan ormas Islam yang telah mapan dan berlangsung sangat lama di Indonesia," jelasnya.
Haidar mencontohkan, gerakan yang gencar di Indonesia antara lain salafisme yang cenderung politis seperti Islam Hizbut Tahrir Indonesia, Komite Penegakan Syariah Islam, Majlis Mujahiddin dan Forum Ukhuwah Umat Islam.
Gerakan tersebut sudah berkembang di sejumlah kota seperti Jawa Barat, Makassar dan Yogyakarta. Lainnya, gerakan HTI, FUI, MMI dan KPPSI bahkan menawarkan sistem hukum Islam dan bahkan bentuk negara Islam, bukan negara dengan dasar Pancasila dan hukum positif.
"Gerakan dan metodenya bermula dari akar rumput dengan mengerahkan massa di bawah dan membawanya ke level yang lebih tinggi, yakni ke struktur kekuasaan. Mereka bahkan bergerak dari daerah di Indonesia menuju Jakarta sebagai pusat kekuasaan Indonesia. Gerakan yang seperti itu tentu akan merusak hubungan Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini berlangsung sangat baik," tuturnya.
Para pelakunya merasa menjadi orang paling benar sehingga tidak ada lagi ruang untuk diskusi soal agama.
"Munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan agama dalam melakukan kekerasan ini tidak hanya terjadi di lingkup nasional namun juga tingkat global. Sebut saja gerakan Islam Syariat yang melakukan kekerasan karena merasa paling benar pemahamannya akan agama," ujar Tokoh Islam Nasional Syafi'i Maarif di Universitas Muhammadiyah Yogyakarata, Kamis (25/7/2023).
Dalam acara bedah buku syariah Reproduksi Ideologi Salafiyah di Indonesia karya Ketua PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir, Syafi'i menuturkan, contoh lain ialah organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) yang saat ini tengah marak diperbincangkan.
Terbukti, kasus bentrok di Kendal yang terjadi beberapa waktu lalu dikarenakan pemahaman agama secara sepihak.
"Ruang diskusi keagamanan seakan tertutup dan tidak dikenal lagi karena pelaku gerakan radikal tersebut menganggap Islam yang mereka anut dianggap paling benar. Di sisi lain, aparat penegak hukum sepertinya tidak berfungsi dengan baik karena tidak dapat menangani kekerasan yang dilakukan," imbuhnya.
Menurut Syafi'i, Islam yang sangat kaku akan menjadi anti ilmu pengetahuan. Padahal Islam seharusnya berkemajuan dan mengikuti perkembangan jaman.
Sementara organisasi Islam lain, menurut pendiri Maarif Institut tersebut, sibuk dengan diri sendiri. Mereka seperti tidak peduli dengan persoalan sosial yang kian marak terjadi itu.
"Jika kondisi ini diteruskan, Islam akan menggali kuburnya sendiri di masa depan," tegasnya.
Sementara itu, Haidar mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia diguncang berbagai aliran ke-Islaman yang diidentifikasikan sebagai gerakan Islam radikal.
Dalam gerakan itu muncul berbagai aliran seperti wahabisme, revivalisme, salafisme dan puritanisme.
"Semuanya seakan berlomba-lomba menawarkan aktivitasnya pada masyarakat Indonesia dengan berbagai metode gerakan yang tidak jarang bertabrakan dengan ormas Islam yang telah mapan dan berlangsung sangat lama di Indonesia," jelasnya.
Haidar mencontohkan, gerakan yang gencar di Indonesia antara lain salafisme yang cenderung politis seperti Islam Hizbut Tahrir Indonesia, Komite Penegakan Syariah Islam, Majlis Mujahiddin dan Forum Ukhuwah Umat Islam.
Gerakan tersebut sudah berkembang di sejumlah kota seperti Jawa Barat, Makassar dan Yogyakarta. Lainnya, gerakan HTI, FUI, MMI dan KPPSI bahkan menawarkan sistem hukum Islam dan bahkan bentuk negara Islam, bukan negara dengan dasar Pancasila dan hukum positif.
"Gerakan dan metodenya bermula dari akar rumput dengan mengerahkan massa di bawah dan membawanya ke level yang lebih tinggi, yakni ke struktur kekuasaan. Mereka bahkan bergerak dari daerah di Indonesia menuju Jakarta sebagai pusat kekuasaan Indonesia. Gerakan yang seperti itu tentu akan merusak hubungan Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini berlangsung sangat baik," tuturnya.
(lns)